Entri Populer

Kamis, 30 Oktober 2008

RM I Ampun deh..

RM I


RM I? Ampun deh..


Kalau udah masuk tahap ini, rasanya seperti makan buah simalakama. Aku sendiri juga gak tahu seperti apa bentuk buah simalakama, kata pepatah makan buah simalakama dalam konteks ini berarti; kalau gak ambil pra proposal alias RM I berarti akan menjadi ajudan tetapnya Bapak Soegijapranata, patung pendek yang berdiri tegak didepan Fakultas kami. Dengan kata lain menjadi mahasiswa abadi. Kalau ngambil, tetap aja gak maju-maju banyak rintangan, seperti stress, frustrasi, depressi, insomnia, anemia, bahkan katanya bisa-bisa amnesia itu berarti menjadi tangan kanannya patung sang pahlawan nasional yang setiap saat berdiri disamping kanannya. Sama aja dapat gelar MA (Mahasiswa Abadi). Dua hal penting menurutku, pertama kemampuan intelektual menurut ku menjadi penyebab dasar diikuti poin kedua motivasi diri yang mulai kena dehidrasi sehingga RM gak selesai-selesai dan skripsi gak bisa-bisa maju sidang. Orang pintar tapi kalau mentalnya gak pernah disuntik vitamin gak bisa berkembang sesuai dengan hukum alam. Kok jadi ceramah, ya?

Pagi itu, semua wajah tidak menampilkan senyum, gak kayak kuliahnya Pak Bambang, dosen setengah “gila.” Sepanjang kuliah dia mengocok perut mahasiswa dengan gaya dan guyonannya seperti mata air yang gak kering-kering. “Andara Early”, jadi tema pokok dalam diskusi filsafatnya tentang konsep Estetika. Makhlumlah dosen ini mantan biarawan katolik yang gak mampu jadi romo. Katanya masih nafsu sama cewek. Atau kuliahnya Suster Ninfa, dosen penyabar selalu ceria gak pernah cemberut. Rasanya kalau di dekat dia adem banget. Emang kalau orang yang selalu dekat dengan Tuhan auranya lain; berwarna cerah dan indah bagai pelangi diwaktu hujan rintik-rintik. Di kepalanya terbentuk cahaya berwarna-warni bulat melingkar ala dewa-dewi Yunani kuno. Tetapi yang namanya manusia gak luput dari kekurangan, dosen asal Filipina ini sempat khilaf alias marah. Kalau ini ceritanya nanti aja. Back to the topic.. Tetap donk, kedua dosen ini menjadi warna tersendiri bagi kami.

Kali ini tidak ada pilihan lagi harus mengambil RM 1 (research method 1 / Pra proposal). Susahnya kalau mau jadi sarjana. Digembeleng habis-habis otaknya, meskipun setelah gelar SS nya disandang belum tentu pekerjaan bisa dikantongin. Angkatan kami harus berpisah. Terbagi kedalam dua jurusan. Sastra dan Linguistik. Yang Sastra di bawa koordinasi Bu Ike, ya..Bu Ike..ibu satu ini punya jam terbang cukup tinggi untuk memuaskan hasrat keterpaksaan untuk menjadi mahasiswa jurusan Sastra. Semua sudah berkumpul di selasar fakultas tercinta. Semua muka gak di setrika sama sekali. Nekuk kiri, nekuk kanan. Tatapan mata hampa. Garis kebingungan menggurat semerawut di wajah para mahasiswa ini. Tapi ada juga optimis dengan kepala selalu tegak keatas. Berbagai pikiran tersimpan menumpuk di otak laksana gudang yang menampung barang rongksoan. Kenapa bisa begini? Hari ini adalah saatnya bagi kami untuk mengajukan Novel atau Short story beserta judul sebagai materi dalam pra proposal, padahal sampai saat ini banyak diantara kami belum bisa menemukan yang tepat.

Kali ini mahasiswa yang digolong sebagai kelompok wisatawan berkumpul di tangga. Para mahasiswi ini kalau ke kampus berpenampilan seperti mau ke Mall. Di dalam tasnya lengkap berbagai bahan kecantikan. Tumben mereka sudah datang? Biasanya kalau kelas sudah mulai baru mereka datang. Bak peragawati yang melenggak-lenggok di atas catwalk. Kalau sudah begitu kami kaum lelaki mengambil profesi sebagai pengamat mode professional layaknya pertunjukan Fashion Show di F TV. Mengamati dari mereka muncul sampai dapat tempat duduk sambil geleng-geleng kepala dan pernyataan pun dimuntahkan “Luar biasa!”

Meskipun make-up cukup tebal menghiasi wajah mereka, tapi guratan keragu-ragu masih dikenali. Mereka adalah Veby, Sherly, Mona, dan Evi. Perempuan-perempuan ini menjadi warna tersendiri. Gak bisa kebayang kalau di kelas gak ada mereka. Rasanya sepi dan pingin cepat-cepat pulang. Kenapa bisa begitu? Veby sang idola dengan keindahan tubuhnya membuat mata ini gak mau berkedip sedikit pun, trus Sherly..wow.. luar biasa, Mona dan Evi mereka berdua sih gak dandan tapi cukup dengan keaslian saja bikin hati ini dag..dig..dug.. Dari pakaian mereka yang serba ketat atas dan ketat bawa sehingga setiap lekukan terlihat begitu indah. Pengamat cukup untuk mengatakan, “Uedan mantep Ee!” Meraka adalah icon sosok perempuan sesungguhnya, tentu saja secara fisik kalau intelek nanti dulu deh. Kalau di Sastra ada dua kategori mahasiswi secara fisik pertama murni perempuan dan kedua setengah perempuan setengah laki-laki. Nah untuk menemukan yang pertama itu susahnya minta ampun. Ibarat nyebur ke sawah buat menemukan ikan pari dan anjing laut. Kalau ciri kedua terpampang dimana-mana sampe bosan ngeliatnya. Keempat perempuan ini membahas tentang apalagi kalau bukan RM I.

“Novel mu apa Veb?” Mona rupanya pengin tahu.

“Aku gak pake novel, habis malas mbaca jadi pake cerpen, “Shooting an Eliphant” kan gak begitu banyak!” Sambil cengar cengir dengan gayanya yang begitu feminim.

“Lah..kamu?”

“Aku pake eh..Novel Ratu Calon Arang..gak tebal.” Sambil membetulkan letak soft lensa berwarna coklat sebagai pengganti kaca mata.

“Tapi mumet aku..aku ngerti cerita ne.. tapi bingung nentuin judul le.” Mengerut-ngerut keningya.

“Aku juga masih bingung bahas opone yo? Sambil membuka-buka lembar foto kopian berisi tentang cerita tersebut dengan huruf yang sangat kecil.

Gimana gak mumet. Foto kopiannya aja masih bersih gak ada coret-coretan alias belum pernah dibaca trus sepertinya kertas-kertas ini hasil dari proses kopi generasi ke empat atau lima jadi tulisannya gak jelas. Tampaknya mereka berpusing-pusing ria. Layaknya Shekespier yang sedang kebingungan memikirkan pertunjukan drama malam nanti karena yang hadir adalah sang ratu Inggris yang terkenal sangat egois dan otoriter. Sekali saja pertunjukannya tidak membuat sang Ratu tersenyum maka habis sudah karir nya di dunia hiburan.

Emang dikirain gampang apa ambil jurusan Sastra. Sampai disini argument Vebby tentang enak masuk di Sastra terbantahkan. Pernyataan seperti itu gugur. Ibarat pendapat kaum agamis di Dark Age, kalau matahari mengelilingi bumi dan Copernicus membantah kalau bumi yang berputar-putar mengelilingi matahari. Atau sok tahunya Colombus bahwa daratan yang didatangi setelah berputar-putar samudra nan luas adalah benua Asia. Tanah bagai surga dalam dongeng-dongeng kitab kuno. Ternyata bukan. Daratan itu adalah kumpulan orang-orang yang jauh dari peradaban kemakmuran yang kemudian dikenal dengan Amerika.. Waduh kok jadi ngelantur.. Oke.. Back to the topic.

Ada beberapa kriteria dalam menentukan materi pra proposal. Pertama cari cerpen dalam bahasa Inggris sukur-sukur kalau ada terjemahan Indonesianya. Kedua cari novel yang jumlah halamanya dibawa seratus, kalau lebih dari 100 halaman pastikan bahwa ada terjemahan Indonesiaanya. Dan ketiga cari puisi saja biar lebih gampang. Dengan beberapa kriteria ini maka hari ini, kami hadir disini. Menemui sang jendral, Bu Ike untuk mempertanggungjawabkan tugas yang telah di instruksikan. Dan kelas siap dimulai

Semua duduk menunggu giliran maju untuk berkonsultasi. Seperti mau periksa ke dokter. Harus antri. Layak nya dokter Bu Ike siap menerima pasien, dengan segala keluh kesanya. Hampir semua pasien yang hadir punya gejala; bingung menyebabkan pusing-pusing ditambah mual-mual.

Sambil menarik nafas dalam-dalam,

“Silakan maju satu-satu!” Menatap keseluruh ruangan.

Kami masih saling menatap kira-kira siapa mau jadi pahlawan hari ini. Biasa..kalau masa sulit begini gak ada yang mau maju duluan. Nunggu kalau ada penunjuk jalan. Maka Seto maju sebagai sang hero penunjuk jalan. Novel tipis berjudul Jonathan Seagul di keluarkan. Dan mendiskusikannya dengan Bu Ike. Seperti dokter ahli penyakit dalam Bu Ike begitu serius mendengarkan keluhan sang pasien. Akhirnya sang pengemar berat Jessica Simpson ini pun kembali ke tempat duduknya. Sekarang giliran para anggota mahasiswi wisatawan. Namun sebelumnya,

“Ayo siapa lagi yang belum maju?” Bu Ike sepertinya sudah menunggu pasien selanjutnya. Namun para mahasiwi ini masih berdiskusi membahas siapa yang maju duluan. Mereka gak bisa mengelak. Toh.. sekarang kami semua sudah maju. Akhirnya Mona maju.

“Silakan jelaskan pake novel apa trus apa yang mau dikaji?” Membetulkan letak kacamatanya dan duduk menyandar di punggung kursi. (ekspresi kelelahan)

“Em..novelnya ini bu, Ratu Calon Arang..(diam sebentar) saya mau membahas sisi moralitasnya..tapi sebenarnya saya masih bingung moralitas seperti apa?” Mona mengemukakan keluhannya.

Si ibu mengamati lekat-lekat sambil menganguk-angguk kepala. Dalam hati mungkin dia berfikir. Gawat… ini bukan novel sembarangan. Novel ini karya dari Pramoedya A.Toer, yang menekankan pemikiran feminism. Akhirnya seperti seorang psikater jurus-jurus ilmu sastra di jelaskan.

“Kalau kamu mau menggunakan pendekatan moralitas kamu harus pilih teorinya siapa? Seperti Emanuel Kant, dan lain-lain…..” Belum selesai si ibu bicara, Mona memotong

“Itu teorinya kayak apa bu? Terus cara analisisnya gimana?” Mengerutkan kening

“Ya teori tentang baik buruk dalam suatu masyarakat trus dihubungkan dengan kondisi yang ada di dalam novel. Tapi kamu harus banyak baca buku-buku tentang moral secara umum trus bagaimana hubungan konsep moral itu sendiri dengan sastra.”

“Emang hubungannya kayak apa?”

Bu Ike sudah mulai gak nyaman dengan pertanyaan ini. Pikirnya kalau kayak gini sama aja dengan aku yang ngerjain

“Ya..itu tugas kamu untuk membaca buku-buku itu. Kamu bisa pinjam diperpus. Nah kalau kamu udah baca baru kamu ceritakan pemahaman kamu. Sekarang tugas kamu baca lagi novelnya sama cari buku tentang moral itu.”

“Kok aku jadi pusing ya.!” Sambil memegang kepalanya.

“Pusing?” Bu Ike penasaran.

“Iya bu..aku maunya yang gampang-gampang aja. Gak perlu cari buku-buku seperti siapa tadi bu?..

“Emanuel Kant”

“Iya..ada cara lain gak selain baca buku seperti itu?”

Kali ini Bu Ike membenarkan duduknya. Susunan urat diwajahnya mulai tidak beraturan dalam hati, kalau gak mau susah gak usah kuliah aja. Memang kalau diibaratkan kami adalah mahasiswa yang lahir secara premature dan dituntut harus cepat besar. Sementara susunan saraf di otak belum sepenuhnya mencapai kematangan. Maka jadilah seperti ini. Rupanya Bu Ike mengerti dengan kesulitan mahasiswa yang sedang duduk dengan tatapan hampa di depannya.

“Baiklah Mona, kamu bisa pake pendekatan Formalistik aja.”

“Itu kayak apa bu?” Sambil mata nya melongoh. Layaknya bayi yang keheranan. Baru tahu kalau ada makhluk lain seperti bapaknya. Yang dia tahu selama ini cuma ibunya.

“Formalistik itu..em (menarik nafas dalam-dalam sambil terseyum).” Kali ini si ibu harus menjelaskan kembali teory satu ini yang pernah dipelajari oleh kami selama satu semester. Tapi disini si ibu di uji kesabarannya.

“Kamu nanti mengkaji Plot, Theme, Settings, Character, point of view, dan lain-lain.. tapi kamu harus baca tentang teori formalistic.”

“O gitu ya.. lebih mudah ya, bu?

Di tembak dengan pertanyaan seperti ini Bu Ike diam dulu. Kemudian

“Ya.. gak ada yang mudah Mon, cuma kalau formalistic kamu gak perlu menganalis psikologi, sosiologi, moral, dan lain-lain. Kamu hanya berkutat dengan novel itu.

“Aku bingung bu Formalistic itu gimana cara menerapkannya?”

Sampai disini Bu Ike harus menjelaskan kembali.. dan dia sendiri bingung harus mulai dari mana. Karena saking bingungnya. Terpaksa dia mencari perantara untuk memberikan pengertian. Tiba-tiba aku yang dipanggil.

“Donatus!”

Waduh gawat kenapa lagi? Pikirku dalam hati. Apa aku ada salah? Seperti wajah orang bloon aku mendekati bu Ike.

“Iya bu..ada apa bu?” Sedikit nyengir dan ragu-ragu juga.

“Tolong kamu jelasin ke Mona! Formalistic itu apa?”

Mampus aku ..Aku sendiri masih gak yakin dengan instruksi ini. Kenapa harus aku? Kan kami makhluk yang sama-sama tersesat dari awal. Tapi mau gimana. Aku harus mengambil tindakan. Memberikan penjelasan kepada teman ku yang sedang kebingungan. Wajah bingung ku mulai ku uraikan menjadi wajah yang penuh dengan kepercayaan diri. Ibarat salesman yang meskipun gak pernah merasakan manfaat product yang dijual harus berusaha meyakinkan pelangannya biar laku. Jurus-jurus dilancarkan. Meskipun sampai saat ini aku yakin kalau Mona tambah bingung dengan penjelasanku. Alasannya satu; orang buta menuntun orang buta. Kaum tersesat mengiring orang yang lagi buntuh jalannya. Adegan rancu ini berakhir.

Bagaimana kaum Linguistik? Kita lihat saja. Tiba-tiba kelas bubar dan keroyokan para calon ahli bahasa ini keluar. Mereka masih mendiskusikan topic-topik yang akan ditulis nanti. Kerena hujan rintik-rintik terpaksa kami semua berkumpul dulu di selasar. Dan mulailah si trouble maker asal pemalang angkat bicara tanpa peduli ada orang dibelakang.

“Sebenarnya kita bisa nentuin topiknya tapi tetap aja ditentang mentah-mentah.” Suaranya mengumandang. Kemudian entah kenapa tangannya dilempar kebelakang.

“Plok” Aku yang saat itu berdiri di belakangnya gak tau apa-apa terpaksa korban tangan gajahnya.

“Aduh.. matanya itu loh di pake! Gak lihat apa orang sebesar ini?” kalau ngomong sama orang ini gak perlu halus-halus. Percuma.

“Oh..ono menungso toh?” Tampang tanpa salahnya di pajang besar-besar sambil cengengesan dan berlanjut. Dasar…

“Sebenarnya kita bisa.. Tapi gara-gara Si Ninik tambah si kecil, Heny itu yang bikin kita jadi bingung. Tekok e sing macam-macam. Di kirain gampang apa nyari topik.” Sambil wajahnya ditekuk-tekuk. Selanjutnya kami tidak perhatikan lagi apa yang dia bicarakan. Mendengar tapi tidak nguping. Ada obyek menarik bagi kami yang cukup bikin sock si gajah gemuk ini.

Serentak kami semua tertawa. Di belakang dia persis telah berdiri dua orang dosen khusus Linguistik yang telah disebut namanya dengan tidak sopan. Tentu saja mereka dengar sangat..sangat jelas sekali. Kemudian

“Apa Yudh? Kamu habis bilang apa?” Bu Ninik berjalan kedepan sambil memegang lengannya Yudha.

“Oh ada ibu toh?” Aduh saya minta maaf bu.!” Kedua tangannya dikatupkan dan sedikit menunduk seperti seorang pendoa yang memohon kepada para dewa-dewi untuk mengabulkan permintaanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana suasana hati makhluk satu ini. Seperti pencopet yang ketahuan dan digebuk habis-habisan. Remuk redam. Belum selesai berurusan dengan Bu Ninik tiba-tiba muncul satu lagi.

“Berapa NIM kamu Yudh?” Bu Heny muncul di belakang Bu Ninik.

“Waduh..mampus ada Bu Heny toh? Aduh maaf-maaf saya gak sopan. Maaf..maaf..maaf sekali bu saya sudah gak sopan” Sambil kedua tangannya yang terkatup diangat naik turun layak orang melakukan Ciam Sie di Klenteng. Untuk mencari angka penentu nasib. Benar-benar sial nasib mu Yudh. Kira-kira begitu kalau Dewa nasib melihat makhluk satu ini. Kalau sudah begini kami semua pasti tertawa sekeras-kerasnya dan mengluarkan mantra ampuh, “Sukurin makan tuh!”

“Kamu mau lulus tahun berapa Yudh, 2010?” Bu Ninik melanjutkan

“Aduh jangan bu kalau bisa secepatnya.” Posisi tangan tetap. Gerakan tangan tetap. Ekspresi wajah seperti pengemis yang minta dikasihani. Kedua dosen ini pun berlalu masuk lagi ke ruangan sepertinya ada urusan yang lebih penting dari pada sekedar meladeni giant baby ini.

Kok ora ono sing ngomong toh?” Biasa mencari kesalahan orang lain, sambil melihat kami yang masih tertawa dengan kelakuan dia.

“Oh ngono..lihat temannya susah malah ketawa.”

“Belaskasihan sama kamu itu percuma Yudh,..makanya jangan asal nyeplas-nyeplos.” Igor angkat bicara sambil tertawa.

Seketika Agung mendekati dengan wajah serius dan memberikan ucapan selamat kepada trouble maker ini.

“Selamat bro, jadi Ajudan nya Pak Soegijapranata. Sekarang silakan berdiri di sampingnya!” Sambil menunjuk ke patung yang ada didepan kami persis.

Yudha tidak terima sambil ngomel-ngomel dan menendang pantatnya si Apank alias Agung.


Sabtu, 25 Oktober 2008

Pasar Morphology


Pasar Morphology

Pasar Morphology


Ruangan sudah penuh. Tempat yang dikhususkan hanya untuk paling banyak 45 orang terpaksa di isi 60 orang. Fantastik bukan? Sepertinya pertunjukan hari ini menarik untuk disimak. Sementara sang pemain belum tiba, kami sudah menunggu kurang lebih 20 menit. Tapi rupanya para manusia yang hadir tidak risau. Asyik bergumul dengan obrolannya. Kami tetap duduk berdesak-desakan. Seperti penumpang kereta api kelas ekonomi disaat arus balik Lebaran. Tapi tunggu dulu! Jangan membayangkan ini adalah ruangan theater untuk pertunjukan Sendra Tari Ramayana, pemutaran film The Day After Tomorrow atau Memory of Geisha, bukan juga drama monolog dengan menghadirkan sastrawan seperti; Taufik Ismail atau Butet Kertaraharja tapi drama monolog versi Bu Ninik atau Mak Nik dengan matakuliah kebanggaannya Morphology. Kami adalah mahasiswa, mulai dari angkatan atas yang gak lulus-lulus kelas ini dan terpaksa ambil lagi..ambil lagi dan ambil lagi, kemudin angkatan kami baik Linguistics maupun Literatur ditambah adik angkatan yang sedang kejar kelulusan, maklum kuliah di sini semakin tahun biaya SKS semakin melambung tinggi, jadi satu-satunya solusi adalah lulus dengan cepat. Maka jumlahnya sangat banyak untuk ukuran fakultas kecil ini. Kenapa kami tetap setia menuggu? Alasannya cuma satu Mak Nik suka terlambat, makhlum dosen satu ini punya banyak sekali urusan mulai dari beli cabe di pasar, buang sampah, antar anak kesekolah, bayar listrik dan PAM, guru private sampe jadi seksi konsumi atau bendahara di setiap kegiatan yang diadakan Fakultas Sastra, sehingga wajar kalau dia telat.


Suasana mulai tidak terkendali seperti di pasar tradisional, semua sibuk untuk membahas persoalanya masing-masing, tawar-menawar barang, bertemu teman lama, marah dengan tukang becak, dan penjual sibuk dengan barang daganganya, kuli barang asyik dengan barang bawaanya sambil berteriak; Minggir..minggir! Ya..seperti ini lah suasana kalau kelas raksasa gak ada bedanya sama masuk pasar. Teriakan, tertawa cekikian menggema memenuhi ruangan ini, membuat tempat ini semakin sumpek. Tapi sepertinya kami menikmati. Kalau anak SD masih bisa diatur, sedikit bentakan mereka sudah kapok tapi ini mahasiswa. Tiba-tiba sang lakon datang, dengan tas besarnya layaknya Backpeker, tersenyum sedikit nyengir dan kalau ekspresinya seperti ini maka; bola matanya tidak kelihatan dengan giginya berbaris seperti iklan pepsodent.

“Sorry, I’m late” Sambil meletakan tumpukan buku diatas meja. Kemudian kami semua bersorak,

“Gak apa-apa bu, sudah biasa.” Ya.. kalimat ini punya makna; Sindiran, Pemakluman, dan Ucapan selamat datang. Yang ditanggapi hanya tersenyum. Pertemuan setingkat dengan rapat DPR ini siap dimulai (kan sama aja kalau DPR lagi rapat ada yang molor, telpon-telponan, ngobrol sama tetangganya gak peduli sama agenda yang diraptkan) Dengan jumlah manusia begini banyak perlu alat bantu kalau mau bicara. Speaker dinyalakan.

“Tes..tes.. Ok.let’s begin our meeting today!” Kalimat yang bermakna menyadarkan mahasiswa untuk kembali ke fungsi mereka; “Mendengarkan apa yang dibicarakan dosen.” Tentu saja mahasiswa dibelakang masih sibuk sendiri. Seperti domba berada ditengah kawanan, para mahasiswa dibelakang sibuk melahap rumput disekitarnya. Gak urusan sang gembala didepan sedang berteriak-teriak. But show must go on.


Lembaran transpransi dipasang diatas OHP dan disorotkan ke dinding, sang wonder woman mulai aksinya. Menjelasakan setiap permasalahan yang tercantum di transparansi. Mahasiswa yang didepan memperhatikan dengan serius sekali-kali merasa terganggu. Ini adalah kumpulan mahasiswa yang merasa sudah kelelahan mengambil mata kuliah ini alias mahasiswa yang mengulang. Lebih tegasnya lagi sadar untuk tidak mau ngulang lagi tahun depan “Ssssst..brisik” gak tahu ini suara dari siapa.

Dan Mak Nik sudah merasa terganggu dengan kegaduan para mahasiswa. Kemudian beliau diam sebentar. Mungkin dia berpikir. Dasar manusia dari Zaman Barbar tidak bisa menghargai orang. Semaunya sendiri. Untuk menangani masalah ini, Mak Nik harus berdiri dibelakang. Dan untuk beberapa saat cara ini cukup ampuh. Seketika kegaduan berhenti. Dan penjelasan dilanjutkan. Beberapa saat kemudian. Kawasan didepan kelas mulai beraksi. Berawal dari bisik-bisik meningkat menjadi oboralan yang semakin kedengaran. Kondisi masih ditolerir. Namun suara tertawa cukup membuat Si Ibu berjalan ke depan kelas. Kemudian ekpresi ketidakpuasan tergambar diwajahnya.

“Maunya kalian apa toh? Aku berdiri didepan..dibelakang ribut pindah belakang depan ribut..ya udah aku berdiri di tengah saja.” Dengan mic sedikit menempel kebibir Si Ibu berbicara sambil memutar-mutar badanya kekiri..kanan..depan..belakang.. Sampai disini semua berjalan lancar. Kemudian soal latihan mulai diberikan

“Baiklah saya sudah menjelaskan panjang lebar sekarang latihan!” Sambil meletakan mic diatas meja.

Suasana berubah, yang gak punya kertas mulai meminjam teman disebelahnya.

“Minta kertas donk!”

“Wes..wes..rak mutu tenan kuliah rak ndue kertas.” Tetap aja kertasnya di kasih juga. Habis itu sudah dapat dibayangkan kumpulan mahasiswa yang datang sebagai pelengkap meletakan kertas diatas kursi dan menunggu jawaban dari semua arah. Seperti harimau yang tiduran sambil matanya mengintai kesekeliling menunggu mangsa yang bisa di lahap. Yang gak dengar instruksi mulai beraksi

“Ngapain toh?”

“Suruh ngerjaiin latihan.. Itu soalnya!” Ini yang mendengarkan.

Nah.. Untuk kelas ini ada tiga tipe mahasiswa. Satu, datang dan mendengarkan apa yang dibicarakan dosen, sesekali bertanya, nah ini golongan mahasiswa serius, dan sadar kalau gak lulus berarti ngulang. Dua, datang dan mendengarkan gak peduli ngerti apa gak, itu urusan nanti. Kalau disuruh nyatat, ya..nyatat kalau gak duduk diam sambil menghayal, “Kapan ya kelas ini bisa berakhir?” aku kan mau shopping, mau makan gule and bla..bla…(gak bakalan berakhir kalau omongin hayalan). Tiga, datang, gak mau mendengarkan tapi sibuk ngobrol, kalau ditegur diam sebentar habis itu brisik lagi. Habis itu setelah selesai kuliah nanya, “ada tugas gak?” Kemudian, “Pinjam catatannya donk!” Bisa ditebak mungkin hanya empat atau lima mahasiswa yang termasuk kategori pertama, sisanya menyebar ke bagian kedua dan ketiga. Dan parahnya kategori ketiga mendominasi kelas ini


Saatnya adegan penghakiman, nama para terdakwa dipanggil untuk maju dan membuktikan diri kalau dari tadi mengerti dengan penjelasan sang lakon. Mak Nik mengamati wajah-wajah para makhluk yang menjadi penghuni ruangan ini. Tentu saja sasaranya adalah para biak kerok keributan dan dianggap pasti gak bisa menyelesaikan soal yang diberikan. Ini saatnya untuk menyembunyikan wajah. Yang merasa kalau gak ngerti sama sekali, menyembunyikan wajahnya dibelakang punggung teman yang ada didepanya. Sangat beruntung kalau duduknya dibelakang mahasiswa yang kelebihan lemak, pasti gak kelihatan. Dan nama pertama muncul juga. meskipun adegan penyembunyian telah dilakukan. Siapa terdakwa pertama?


“Yudha..maju nomor satu dan dua!” Sambil nyengir Si Ibu melontarkan nama yang cukup untuk diragukan.

Bisa dibayangkan bagaimana wajah sang terdakwa ini. Nomor satu aja belum tentu bisa pake dikasih nomor dua lagi. Suasan mulai riuh. Yang disebut adalah Yudha..maskot keributan dalam kelas akibat tertawanya yang gak kira-kira setiap kalau ada kelas yang dianggab santai, contohnya kelasnya Mak Nik ini. Dan apa aksi selanjutnya sebelum maju dan berdiri didepan papan?

“Kon.. ngompo ndes?” Wajahnya mulai panik. Meskipun gak diadili hukuman cambuk, penggal, penjara beberapa bulan atau penjara seumur hidup atau hukuman tembak ditempat, tapi tetap saja ini pertarungan harga diri. Tentu saja kalau gak bisa apa-apa satu perasaan mucul dan cukup untuk menghantam mental, apalagi kalau “Malu” karena dianggap goblok.

“Padahal aku wes ngumpet.”

“Ya…ketahuan lah.. duduk mu dibelakang Andrie.. “ Si Metta berkomentar.

Pernyatan ini cukup masuk akal bagaimana tidak Andrie, gadis berbadan mungil bagai sebatang lidi padahal dia seperti gajah kegemukan. Ya jelas ketahuan. Apalagi sepanjang kelas dia selalu tertawa lantang, cukup untuk dimintai pertanggungjwabannya.

“Nomor satu opo ndes?” Sambil menunduk bertanya ke Aming alias Andrean. Jawabanya sudah jelas, kan mereka satu kawanan atau perguruan,

“Lah mboh…aku wae rak ngerti.” Sambil nyegir mengejek. Kebingungan menjadi-jadi. Apa yang mau ditulis didepan kalau gak ada bahan? Masa soalnya ditulis lagi. Kalau ujian tertulis sih gampang tinggal nyalin soal habis itu gak urusan. Dosennya mau ngasi nilai berapa kek, itu gak penting. Tapi ini dihadapan tujuh puluh orang yang akan memperhatikanya menulis satu demi satu huruf untuk merangkai kata dan kalimat..Waduh gak kebayang deh.. Tangan nya mulai mengusap-usap wajah. Siapa tahu setelah diusap pandangan mata jadi lebih jelas untuk melihat siapa sang penyelamat. Semua perhatian mengarah ke makhluk Zaman Peradaban Batu ini, yang terlalu cepat berevolusi di abad sekarang. Kertas ditangannya masih kosong, mungkin udah dari tadi kertas itu menertawakan dan menghujat-hujatnya. Avu yang duduk disampingnya mengingatkan. Dia mungkin berfikir kalau Yudha gak maju, bisa-bisa nama dia yang dipanggil untuk menggantikan posisi Yudha.

“Ayo Yudh maju!” Tetap menyembunyikan wajah dibelakang Metta.

“Maju Pie..Gak tahu mau nulis apa.” Masih kebingungan.. Kali ini yang diusap-usap adalah kertas polos ditangannya, layaknya Aladin yang mengosok-gosok lampu ajaibnya berharap sang jin keluar untuk memenuhi permintaanya. Tapi sayang, sang jin sudah hijarah ke negri Utopia. Jadi gak mungkin bisa datang ke kelas Morphology. Kemudian..

“Yudha..kamu masih disitu? Maju sekarang!” Kali ini sudah mantap bagi Bu Ninik kalau mahasiswanya ini gak ngerti dengan penjelasannya dari tadi ongomong sampai mulutnya berbusa-busa.

“Masih bu.” Jawab Yudha seadanya.


Suasana kelas mulai riuh. Ketakutan mulai merambah para mahasiswa yang tergolong kategori tiga. Bagi kategori satu, suasana tetap damai. Jawaban sudah ada di atas kertas tinggal maju dan menulisnya. Dan tiba-tiba ada yang baik hati memberikan kertas dengan jawaban nomor satu dan dua. Seperti menemukan kembali permata yang hilang si giant baby maju dengan penuh kepercayaan diri untuk menjalankan amanat yang telah dilimpahkan kepadanya. Semua mata memperhatikan, kedepan. Seperti peserta symposium yang mengamati persentasi penemuan suatu teori baru dalam kanca ilmu pengetahuan.

Sipidol diambil dan ditulis dengan sedikit ragu-ragu, karena tulisan dikertas itu kurang jelas. Pada akhirnya penderitaan ini berakhir dan kembali ketempat duduk. Si Ibu mengamati sebentar jawaban yang ada di papan tulis. Dan..

“Salah semua.” Suaranya santai. Seketika juga sorak riuh

“Uh..Sui.. Salah sisan..”

“Sopo toh sing ngei jawaban..?” Si Yudha gak terima. Bukannya nyadar diri malah nyari kambing hitam, siapa yang ngasih jawaban.Dasar manusia tidak tahu berterimakasih. Kira-kira orang yang ngasih jawaban berpikir seperti itu. Tentu saja gak ada yang ngaku. Dan penyebutan nama berlanjut, kali ini Mak Nik tidak perlu mencari lebih jauh lagi.


“Nomor tiga dan empat, Metta.”

Kali ini Yudha cengar-cengir terus. Seolah-olah dia punya teman dalam penderitaan menanggung malu.

“Saya bu?”

“Ya kamu..nama kamu Metta kan?” Kali ini Si Ibu tidak ada senyum lagi. Wajahnya menunjukan keseriusan dan bercampur aduk dengan jengkel dan kecewa. Yang disebut namanya ekpresinya gak jauh berbeda dengan terdakwa nomor satu.

“Dee..jawabane opo?” Sambil matanya melahap kertas yang ada di depan sohibnya itu.

“He..aku juga gak tahu. Pank..jawabane opo? Meskipun dia gak tahu untuk membantu sahabat karibnya ini Deedee meminta bantuan Apank alias Agung. Rupanya kali ini struktur otaknya lagi gak konslet sehingga dia mampu mengikuti proses pembedahan jenis tanaman aneh bernama Morphology ini. Dan tindakan humanis pun diambil Apank, membantu semua makhluk.

“Nih..tapi gak tahu benar apa gak.? Sambil menyodorkan selembar kertas yang berisi jawaban dari latihan ini.

“Gak apa-apa..salah benar urusan nanti yang penting maju dulu.” Sambil mengambil kertas ditangan Si Agung tentu saja dengan sembunyi-sembunyi dan memberikannya kepada Metta, si bunder seperti gentong air pun maju. Sampai disini aku mengerti kenapa namanya Avu gak disebut sama si jaksa penuntut umum, soalnya dia terdampar dibalik gentong air ini. Spidol mulai menari-nari diatas papan seperti pelukis, Metta merangkai dengan jelas jawaban yang di instruksikan. Dan berakhir juga. Selanjutnya kembali kehabitat.

Si ibu mengamati lagi..sambil mengeleng-geleng kepala. Kali ini tidak hanya Metta yang merasa malu tapi juga sang pencipta gagasan yang baru saja dipaparkan didepan, siapa lagi kalau Agung. Ternyata..

“Nomor tiga setengah benar..tapi nomor empat salah.”

Ya..lumayan dari pada pertama salah semua. Yudha merasa kalah. Tiba-tiba dia diam tidak lagi cengar-cengir disaat Metta maju dan menulis di papan tadi. Sekarang Metta tersenyum lega meskipun bukan punya dia tapi kan sebagian mahasiswa di kelas itu tahu kalau dia yang maju. Si Apank diam saja. Pikirnya ya..gak apa lah namanya juga manusia gak sempurna. Emang sih, tapi kok lebih banyak gak sempurnanya ya?

Soal selanjutnya tidak dilanjutkan menurut pertimbang si ibu. Soal yang gampang saja gak bisa pada hal soal selanjutnya sedikit susah. Kemudian mic di ambil lagi.

“Baiklah saya akan mengulang penjelasan bagian pertama..karena kalau ini saja kalian tidak bisa maka selanjutnya gak bisa.”


Semua kepala yang dari tadi menunduk dibalik punggung teman-temannya naik lagi laksana kepala kura-kura yang keluar dari cangkangnya karena merasa sudah aman alias tidak ada pemangsa disekitarnya. Tidak ada penyebutan nama lagi. Berarti para mahasiswa ini bebas berekspresi lagi. Wajah kelegaan tergambar, tapi suasana masih tetap terkendali. Mungkin emosi ketakutan masih gentayangan di dalam makhluk-makhluk ini. Dengan Bahasa Inggris berbalut Indonesia gado-gado Bahasa Jawa khas Semarangan, Si Ibu menjabarkan konsep-konsep tentang materi Morphology. Bla..bla…bla…bla…bla..bla…

Kemudian keributan mulai muncul kembali. Strategi pengamanan tetap seperti pola pertama berjalan kebelakang..kemudian kedepan setelah itu berdiri ditengah berputar ke kiri..ke kanan..ke depan…ke belakang seperti para penganut salah satu ajaran di India kuno yang wajib melakukan ritual untuk penghormatan kepada leluhur dengan berputar-putar menghadap ke empat arah mata angina sambil mengucapkan mantra-mantra suci. Demikian juga Mak Nik, Sambil berbicara dengan nada suara yang naik turun sampe mulutnya berbusa-busa. Kemudian si ibu kelelahan juga.

“Kesel aku..lunggo yo.” Sambil membawa mic yang terus menempel dibibirnya. (kayaknya perlu adanya sarung sekali pake untuk membungkus kepala mic..).

“Iya bu..entar ibu farisesan.” Pernyataan ini jelas dari sohibnya si gentong.

Dan duduklah ia setelah melakukan ritual penyembahan, agar supaya suasana kelas menjadi kondusif. Dan jangan pikir praktek transaksi di Pasar Johar ini telah berakhir. Tidak.. setelah sang lakon duduk. Semua mahasiswa dibelakang sepertinya satu orang memiliki lebih dari dua mulut dan peternak lebah yang selalu membawa ternaknya kemana-mana. Tetap saja Si Ibu melaju, gak peduli para mahasiswa itu memperhatikan atau tidak. Waktu untuk menghuni ruangan bagai pasar ini segera berakhir dan Jaksa penuntut umum sekaligus hakim mengambil keputusan.

“Minggu depan quis.”

“Waduh.. bu jangan minggu depan..donk.”

“I don’t care tetap quis. Dan akan saya nilai.” Pernyataan tanpa kompromi.

“Tapi kan penjelasannya belum selesai” Semua mulai kebingungan. Gak tahu apa-apa tiba-tiba quis padahal dalam pengaturan jadwal minggu depan-depannya lagi.

“Makanya dengarin kalau dosen lagi bicara” Nada kekecewaan. Mungkin kalau aku mendiskripsikan, suasana kegundahan Bu Ninik adalah seperti berikut: Hancur hatiku remuk redam kalian semua tak berperasaan, aku tidak dihargai sama sekali.Aku sudah berjuang demi kalian,hiks..hiks..hiks.. Tapi itu gak mungkin. karena Bu Ninik bukan manusia berhati melankolis tapi berhati baja yang digunakan sebagai bahan pembuatan Luku oleh petani untuk membajak sawah.

“Bu mau tanya tentang…..” Belum selesai Si Mella berbicara tiba-tiba di selah sama si Ibu.

“Pokoknya I don’t care. Gak ada penjelasan lagi.” Sambil memasukan buku kedalam tasnya. Dan meninggalkan rungan. Tetap saja dia tersenyum.

Yang punya perasaan akan merasa jengkel dengan temannya, gak enak sama Bu Ninik. Kok quisnya awal banget. Kalau gak punya perasaan ya..berpendapat; bodoh amat. Kalau quis kan tinggal nyonto, tolong digaris bawah ini mahasiswa kategori ketiga. Sebelum meninggalkan kelas, Si Yudha bersabda kepada pujaan hatinya yang lagi kebingungan belum sempat nanya, Bu Ninik keburu kabur.

“Gak apa-apa kan masih minggu depan.”

“Minggu depan mu..Kamu tuh ribut dibelakang sampe Bu Ninik jengkel!.” Sambil wajahnya ditekuk, bibirnya maju beberapa senti.

“Kok aku toh..”Sambil menggoda idola hatinya. Kemudian mereka berdua berlalu. Selanjutnya berhamburan keluar para pedagang dan pembeli. Pasar Morphology telah bubar.


Selasa, 21 Oktober 2008

Si Ganteng vs Sepatu Buntut


Si Ganteng vs Sepatu Buntut

Suatu kebiasaan bagi kami untuk nongkrong di selasar Fakultas, belakang Patung Bapak Soegijapranata. Tempat ini sangat efektif. Alasananya; bisa melihat kebawa dengan leluasa. Tangga-tangga tersusun rapi kebawa. Sehingga kalau kami naik menuju ke fakultas serasa seperti menaiki podium laksana Barack Obama yang sedang menaiki panggung dan memberikan pidato andalannya sementara dibawa semua simpatisan berteriak histeris, menuggu sang idola berdeklamasi. Kira-kira begitu.. Terus terang kami sangat bangga dengan letak Fakultas Sastra. Di tambah Patung Pak Soegijapranata berdiri di tengah-tengah tangga naik menambah kesan elegan atau anggun.
Sebelum pulang kami menghabiskan waktu disini sekedar merenggangkan saraf-saraf, bercerita tentang hal-hal yang penting sampai hal-hal yang gak penting. Tiba-tiba suasana diam, di antara mahasiswi seperti Deedee, (aku naksir dengan badannya proposional gitu, tapi kalau muka nanti dulu deh..) Metta (kalau yang ini.. Wow.. kata si Seto sanguhne akeh alias banyak bekalnya, silakan terjemahkan sendiri). Dan teman-teman mahasiswi lainya, mata mereka memandang di belakang ku. Aku curiga sepertinya ada obyek yang menarik. Sampai-sampai wajah para mahasiswi ini begitu terpesona. Mata melotot, mulut setengah terbuka kedua tangan menempel dipipi dan berbisik-bisik. Gak jelas apa yang mereka omongin. Terpaksa ku balik belakang kerena penasaran. Dan…
“Hello, Good Afternoon” Senyum khas nangkring di bibirnya.
Seperti di komando gaya militer, mereka semua bersorak,
“Good afternoon, Sir?” tentu saja wajah mereka masih melongoh. Mengikuti sosok yang lewat begitu saja dan menghilang menuju ke sarangnya. Dan.. Tidak peduli dengan topik sebelumnya. Tanpa persetujuan kami, para kaum hawa ini asyik sendiri dengan reaksi kimia yang timbul akibat dari efek indra penglihatan.
Dengan menepuk-nepuk pipi Si Deedee bereaksi,
“Aduh gantengnya.. Pak Adhy kau memang ganteng” Di tambah ekspresi tambahan seperti mata kelilipan mengedip-ngedip dan bibir atas dan bawa di kulum-kulum. Dan…ekspresi kaum hawa superaktif ini pun berlanjut., sekarang topik mereka adalah Pak Adhy. Sampe disini aku pikir Pak Adhy punya bakat untuk jadi Hypnotist. Bagaimana tidak, hanya denagn sedikit senyum saja, para mahasiswi ini melemah kesadaranya tanpa harus beraksi layaknya Tommy Rafael atau Deddy Cobuzer. Selanjutnya, teman-teman mahasiswi ini membentuk forum diskusi sendiri layaknya mahasiswa yang sedang mengatur strategi untuk demo di Gubernuran, minta turunkan harga BBM atau demo dikampus minta turun biaya SKS.
“Ganteng ih..”
“Tapi sayang sudah punya istri.”
“Gak apa-apa aku mau kok jadi simpanannya.”
“Em..kencan sama dia sejam aja, rasanya fantastik..”
“Yang penting ada pemandangan di Sastra dari pada gak. Habis gak ada yang ganteng sih di Sastra..”Sambil merapatkan gigi dan meremas-remas jari para perempuan yang habis kena anak panah Dewa Aphrodite ini asyik dengan obyek barunya.

Aku mulai menyimpulkan bahwa; ternyata Perempuan dan laki-laki di Fakultas ini sama saja dalam hal menikmati objek lawan jenis (tentu saja ada pengecualian buat Tedjo) kalau ekspresi anak laki-laki 2004 melihat Veby, Sherly, dan kawan-kawan.
“Wuedan ayu nee.” Terus mulai spesifik
“Badannya mantap ya..Yahut” Semakin spesifik lagi
“Bokong e.. ndes.. wuhui..siiip..” Semakin ..semakin spesifik lagi (silakan terusin sendiri, entar cerita ini dianggap cerita porno, bisa-bisa di gebukin sama FPI dan kawan-kawan kayak kasus Playboy Magazine).

Pak Adhy..ya.. Dosen dengan penampilan selalu rapi, tinggi standart, badan gagah didukung dengan muka tampan. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya, kalau berpapasan dengan siapapun. Kalau marah expresinya tidak seekspresif Bu Ike atau Bu Ninik. Tatap matanya tidak setajam Bu Wur. Kalau bicara kata-katanya dirangkai dengan halus dengan intonasi nada yang mantap tapi cukup untuk menghantam ke ulu hati. Bapak satu ini layak dijuliki: “Dosen Aristokrat.” Bapak tampan ini (versinya mahasiswi) adalah dosen kami para mahasiswa dan mahasiswi jurusan Sastra (Literature). Kami akan selalu bertemu dengan beliau. Sekarang aku baru sadar kenapa para mahasiswi ini selalu hadir kalau mata kuliahnya Pak Adhy, ternyata mereka datang khusus untuk menikmati drama monolog yang dipentaskan. Gak peduli mengerti atau tidak apa yang dibicarakan.
Suatu kewajiban untuk mengambil matakuliah aneh ini; “Critical Theory” pertama kali dengar istilah ini. Wajah merenggut, trus dahi berkerut, trus tangan garuk-garuk kepala. Kira-kira apa ya.. yang akan dipelajari nanti?

“Em..kita lihat saja..” Pikir ku dalam hati. Nolak gak mungkin ini sudah jadi kewajiban kalau mau ngedapat ada singkatan SS dibelakang nama sendiri ya..harus ambil.
Hari pertama menyantap menu aneh ini. Semua mahasiswa Sastra lengkap hadir alias gak ada yang bolos. Dan di depan sudah berdiri Si bapak tampan, dengan senyum khasnya. Penjelasan dimulai. Dan aku mengakui benar-benar dosen satu ini sangat elegant tidak hanya secara fisik tapi intelek juga. Sampai-sampai saking high classnya Bahasa Inggris yang dipake, aku gak ngerti sama sekali. Aku hanya bisa nggaruk-nggaruk kepala sambil nyegir kesamping. Mastiin apakah di samping ku paham juga. Kebetulan yang duduk di sampingku adalah Andhini.
“Aku juga gak ngerti Don, Pak Adhy ngomong apaan.”
“Tapi kok kelihatan kamu serius amat?” Aku penasaran.
“He..he..habis Pak Adhy tampan sih. Apalagi kalau dilagi ngomong sexy banget.” Matanya melotot kedepan sambil kedua tangannya menahan dagunya posisi siku menumpuk pada kursi. “Dasar.. Perempuan..bukannya mikirin penjelasan malah menikmati Pak Adhy. Aku tidak putus asa mencari pendukung. Pada tahap ini jika seorang berada dalam ketidakmampuan maka dia akan mencari pendukung untuk sama-sama menderita dalam ketidaktahuan. aku balik belakang, disana si Hino sedang berpusing-pusing ria. Kacamatanya sudah mulai digerak-gerakin keatas dan kebawa. Tanpa kuduga di mendekatkan kepalanya dan berbisik;
“Kamu ngerti, Don apa yang dijelasin Pak Adhy?” Wajah si calon frater ini sangat serius ini sudah jadi karakternya.

“He..he..gak” Kayaknya cukup untuk membuktikan bahwa sejak dari tadi kami yang duduk dibarisan sebelah kanan gak ngerti ide pokok yang keluar dari mulut Pak Adhy dengan perantaraan bahasa yang sangat halus sampai gak bisa dideteksi. Di satu sisi teman-teman lain di barisan sebrang sana sangat berusaha untuk memahami. Aku tidak menyerah. Aksi pertama Keep concentration, kedua pusatkan kesadaran pada indra pendengaran; istilah-istilah seperti; Post modernism, post colonialism, structuralism, deconstruction itu yang bisa ku tangkap. Sisanya? Gone with the wind.
“Gila..gila..itu Bahasa Inggris dari daerah mana ya?” Suara hatiku merintih. Cukup sudah aku gak bisa nangkap. Mendingan aku disuruh menangkap belut disawah dari pada menangkap omongannya Pak Adhy. Sangat licin. Tentu saja hal ini juga disebabkan oleh tingkat kecerdasan atau IQ. Dan..

Sepertinya Pak Adhy sadar kalau sorot mata dan gerak-gerik wajah para mahasiswanya hanya kamuflase. Pertanyaan meluncur:
“Do you understand?” Keningnya sedikit berkerut.
Serampak kami bersorak:
“No, sir!” Sambil cengar-cengir (menertawakan ketidakmampuan kami).
Si Tampan diam. Mungkin dia berfikir, ternyata saya omong dari tadi sampai air liur ditelan berkali-kali gak ada yang ngerti. Padahal sudah 30 menit berlalu. Akhirnya beliau memutuskan untuk memakai Bahasa Indonesia. Beban sedikit berkurang meskipun sari pati dari pembahasan ini cukup berat; pemikiran Derida dan kawan-kawan sebagai alat untuk mengkritik karya sastra. Ternyata selanjutnya urat-urat di kening masih belepotan tak karuan sampai kelas sophisticated ini pun berakhir. Sudah dibayangkan eksprsi para mahasiswa calon sastrawan ini. Menarik nafas dalam-dalam dan menghebuskannya. Akhirnya berakhir juga kami bermukim di negri para Dewa yang memusingkan ini.

Rupanya beberapa dari kami masih penasaran. Pak Adhy terpaksa buka kelas tambahan diluar. Si Hino secapat kilat menghampiri dan terpaksa dosen aristocrat ini nongkrong di tangga, ala Socrates memberikan penjelasan dengan bahasa yang lebih sederhana kepada murid-muridnya.
Kembali ke sepatu buntut, Pagi yang indah tetapi tetap saja kelabu. Harus bangun pagi. Kali ini adalah ujian. Bangku kelas sudah diatur sedemikian rupa dengan jarak yang agak jauh untuk menghindari kecurangan. Tahu sendiri kalau kepepet cara apapun ditempuh. Kali ini perjuangan yang cukup untuk mengasah nalar dan nurani. Pertarungan nasib siap dimulai. Pak Adhy sudah siap dengan tumpukan soal di tangannya. Tanpa komando, kami mengambil tempat duduk. Untuk menentukan posisi duduk ada beberapa syarat: pertama Ada siapa disamping kiri, kanan, depan, dan belakang yang bisa diandalkan. Kedua, apakah tempat duduk itu cukup aman untuk membuka catatan, contekan, celipan, atau kitab-kitab lainya, jika syarat pertama gagal. Ketiga bagi yang yakin bahwa dewi fortuna berpihak kepadanya, duduk dimana saja tidak jadi masalah. Dengan perhitungan tepat ala Suhu Feng-Sui atau Paranormal spesialis arsitek sebelum mendirikan bangunan atau mengatur ruangan agar “Chi” yang masuk adalah positif dan mendatangkan rejeki bagi penghuninya, kami pun duduk. Tibalah pertempuran itu.
Aku sibuk bercengerama dengan otak ku, mengingat kembali apa yang sudah dipelajari. Si Tampan masih berdiri didepan kelas. Sorot matanya memandang satu persatu mahasiswa yang ada diruangan kelas. Aku tidak peduli, kali ini soal yang ada di depan ku jauh lebih menarik bagiku.

Tiba-tiba Pak Adhy menghampiriku dan meletakan sepotong kertas yang sisi sebelah atasnya masih berwarna putih tepat disamping lembar jawaban ku. Aku menatap kertas itu dengan kening sedikit berkerut. Kira-kira apa ya? He..he.. otak ku menduga. Biasa manusia mau nya mental enak, jangan-jangan dibalik ini jawaban? Ah gak mungkin, mana ada dosen yang menulis jawaban buat mahasiswanya. Kalau pun mau pasti dia cuma ngasi bocoran soal. Tapi itu bukan tipe dosen sastra banget. Apalagi si ganteng ini. Atau mungkin ada pesan rahasia, perasaan aku bukan anggota Badan Intelejen Nasional. Ah.. buka aja dari pada penasaran. Sebelumnya ku palingkan muka ku menatap ke wajah sosok yang tepat berdiri disamping ku. Sudah dipastikan, beliau tersenyum, tapi aneh senyumnya kali ini penuh misteri (sedikit sindiran begitu). Tanpa menunggu waktu ku buka dan.. aku kaget dan tersipu malu. Disitu tertulis:

“YOU LOOK HANDSOME IF WEAR SHOES!” Kalimat yang cukup jelas dan tidak ada hubungannya dengan soal-soal itu maupun kepentingan darurat lainya. Tentu saja aku mau mencari supporter, mata ku berkelana ke setiap kaki yang ada dibawa kursi, Sial..teman-teman semua pake sepatu. Berarti cuma aku saja yang pake sandal jepit., kok kompak ya mereka?..Mikir sebentar. Hem..Untuk kelas Pak Adhy ada dua aturan yang gak bisa diganggu gugat: Pertama, pakai sepatu meskipun sepatunya jelek. Kedua, pake kemeja atau baju berkerah walaupun cuma punya satu potong. Aku berjanji pada diriku sendiri, setiap pelajarannya dia tidak ada lagi acara lupa pake sepatu.

Aku menulis satu kata pada jadwal mata kuliah Pak Adhy; “Sepatu” itu adalah satu-satunya cara untuk membuat kesadaranku berfungsi sebagaimana mestinya. Sepatu ku cuma ada satu pasang. Itu pun pemberian teman, warna hitam merek spotec dengan bahan dasar kain yang sebelah kiri sudah ada sobekan bagian atas sehingga spongs nogol ke ata seperti lidah anjing yang sedang kelelahan. Sejak saat itu ketika nama Pak Adhy terdengar bayangan yang timbul di pikiran ku adalah sepatu buntut ku.. he..he.. padahal teman-teman mahasiswi akan membayangkan sosok seperti: Brad Pitt, Leonardo de Caprio, Anjasmara, dan kawan-kawan. Pokoknya bayangan yang membuat mereka dag..dig..dug.. dan melayang-layang ke negri antabranta, hayalan mereka.

Rabu, 15 Oktober 2008

BeTe ah...


Bete

Bete..Ah..


Akhirnya kami harus berpisah. Setelah empat semester bersama-sama. Kali ini kami gak punya pilihan lain selain berpisah. Jangan berfikir kalau perpisahan ini berurai air mata dengan diringi lagu “Good bye” nya Krisdayanti bagaikan istri seorang tentara yang ditinggal perang, atau seorang gadis yang diputus pacarnya secara sepihak dengan iringan lagu “Please Remember” by LeAnn Rimes. Atau anak tunggal yang menyingkir ke kota metropolitan untuk mengadu nasib. Tidak..kita hanya pisah jurusan kok. Ada dua jurusan di fakultas ini: Sastra dan Linguistik. Pilihan yang sangat…sangat berat bagi kami. Wajah kebingungan terpampang dimana-mana dari toilet kampus, selasar, tangga belakang Patung Pak Soegijapranata sampai ruangan Bu Heny (Dosen Wali tercinta). Bukan karena kita gak mau pisah, tapi bingung mau ambil jurusan apa? That’s the basic reason. Tinggal milih mau jadi sastrawan stress atau ahli bahasa yang ambruadul. Kalau gak milih kedua-duanya berarti cepat-cepat angkat kaki dari Fakultas ini. Berat..berat… bagaimana tidak prestasi yang kami ukir selama ini tidak sedikit pun mendukung kedua pilihan itu. Prestasi kami adalah bikin semua dosen memegang kepala dan berkata:

“Ampun-ampun.. Kenapa aku harus ngajar mahasiswa kayak gini.*^^$^$#%#%”


Ada dua opini yang berkembang pada waktu itu; pertama milih LinguistiK aja karena kalau Sastra itu isi baca buku melulu terus baca novel lagi, padahal aku kan tidak suka baca novel, bahasa Indonesia aja gak suka apalagi pake bahasa orang bule..please deh.. Argument ini muncul dari si trouble maker asal Pemalang. Sosok unik. Makhluk dari peradaban zaman batu yang terlalu cepat berevolusi ke zaman modern sehingga ada beberapa struktur otaknya yang perlu penyesuaian. Emang kalau Lingustik gak baca buku, apa? Trus opini kedua bagi yang anti Linguistik (matematikanya bahasa kira-kira begitu kalau disederhanakan), Linguistik itu terlalu susah kita harus dipaksa belajar grammar sampai botak ditambah simbol-simbol yang gak bisa dihafal, entar kayak Pak Budi ha..ha..ha.. (emang dosen yang canggih otaknya ini kepalanya kempling buanget no hair, dia terkenal sebagai pakar grammar) padahal otak kita hanya bisa ke pake 10 % aja. Kalau Sastra kan enak, modal ngarang indah semua beres. Demikian pendapat ini di luncurkan oleh si cantik, Febby. Idola kaum lelaki angkatan 2004. Gadis aduhai dengan postur gak tinggi tapi berbadan sintal. Kalau dia lewat atau duduk berhadapan gitu. Waduh pikiran pasti berkeliaran ke daerah-daerah terlarang. Siapa pun yang lihat kalau doyan perempuan pasti mengatakan: “Ya Tuhan sungguh luar biasa karya Mu.” Sambil menatap dalam-dalam ke makhluk indah ini. Kemudian dilanjutkan: “Gimana ya proses pembuatannya sehingga menghasilkan produk seperti itu?” kemudian silakan beropini sendiri-sendiri..karena pikiran itu pintar banget kalau diajak mikiran hal-hal beginian, kalau tugas kuliah, “Waduh.. udah mentok gak kuat lagi, pikiran ku terbatas.”

Sekarang aku baru sadar ternyata kami tersesat. Sama-sama masuk ke tempat gelap..Tapi mau gimana lagi pilihan udah dibuat. Konsekuensi harus ditanggung. Selamat menjadi sastrawan stress dan ahli bahasa yang ambruadul. Kapan ya bangsa ini bangkit dari keterpurukan? Wuedan mikiran bangsa, ngaca donk!

Anak-anak sastra selalu menenteng novel-novel dari Romanticism Era sampai Twenty Century dengan para pengarangnya sudah lebih dulu menghadap Ilahi, dan sekarang sedang berleha-leha diatas sana, menatap kami sambil mengatakan; “Makan tuh karyaku!”

Jangan kira itu bakal dibaca, paling cuma buat gaya aja biar dibilang anak Sastra Inggris. Sebua status sosial dikalangan mahasiswa yang sangat prestious. Kalau anak linguistic di tas nya penuh dengan buku-buku aneh.. Pragmatics, Sociolinguistics, Psycholinguistics, Second Language Acu…(aku lupa nulisnya kayak apa), trus buku-buku lain yang berasal dari planet sebrang sana. Dibaca kata pengantarnya aja, asap udah nyembul diubun-ubun trus urat-urat didahi berkerut sambil mata melotot trus pasti kata-kata keluar dari mulut:

“Ini makanan apaan sih kok belum pernah dengar ya?.” Buku-buku alien ini pun jangan pikir dibaca, paling buat menuh-menuhin tas. Kalau dikost-kost atau rumah, ada teman yang datang trus kekurangan bantal pasti dipake buat bantalan, besok kalau mau kuliah masukin ke tas lagi.

Selanjutnya kuliah menjadi rutinitas seperti biasa, bukan semakin pintar tapi semakin hancur. Siang yang sangat melelahkan, aku memutuskan untuk menemui dosen wali ku yang imut, terkenal penyabar dan baik hati, makhluk setengah malaikat (makhluk setengah dewi entar ada yang tersinggung, didemo lagi kayak Iwan Fals) Gak tau kenapa aku mau menemui dia padahal gak ada urusan. Berjalan pelan-pelan mendekati pintu kaca. Dibalik pintu ini our cute mom sedang menjalankan tugas-tugas nya sebagai pengajar, dosen wali, dan dekan. Tidak lupa aku mengetuk pintu. Begitu beliau melihat aku,

“Don, masuk aja!” Sambil kepalanya sedikit mengalihkan pandangan dari layar ajaib didepannya.

“Enggak ganggu ya..Bu?” He..he biasa basah basi. Kayaknya pertanyaan itu gak penting banget, kan udah di suruh masuk.

“Enggak kok, duduk aja.” Bu Heny berdiri dan menatapku. Wajahnya seperti orang patah semangat, sepertinya sayap-sayap indah dipunggungnya terluka dan kayaknya dia mau mengatakan sesuatu. Dan sebelum dia menginjak gas aku salip duluan,

“Ibu gak ngajar ya?” menatap dalam-dalam ke Bu Heny.

“Itu dia Don, yang mau aku ceritakan ke kamu.” Expresinya lepas seperti orang yang melepaskan karung beras dipundaknya. Dan meletakan diatas lantai.

“Maksudnya, bu?” Aku bingung

“Begini..aku itu sudah bete banget sama teman-teman kamu. Aku harus gimana coba? Aku sudah mengajar dengan semua kemampuanku. Tapi mereka itu gak ngerti-ngerti. Ini khusus untuk anak-anak Linguistik.” Kali ini aku sedikit tersenyum yang disebut Linguistik, bukan Sastra. Aman..aman. pikirku dalam hati. Walaupun faktanya gak jauh beda, toh dari awal, kita adalah makhluk yang tersesat. Tersesat dalam dua pilihan yang sama-sama berat. Ibarat disuruh nyebur ke kolam lumpur tempat nongkrong kerbau atau mandi air comberan. Kemudian si ibu melanjutkan.

“Kalau aku ngajar kelas Linguistik persis memasuki kuburan ditengah padang gurun. Suasana kelas sepi dari awal sampai akhir. Aku seperti ngomong sama kursi dan meja. Bukan gak ada orangnya? Ada penguninya disitu.tapi semuanya diam dari awal sampai akhir. Dan aku lihat wajah mereka itu seperti kebingungan, melongoh, ada beberapa yang mengangguk-angguk tapi itu tindakan yang misterius. Kalau aku keluar sebentar, waduh.. persis kayak ngelepas kerbau ditengah pasar, Ramee.” Wajah Bu Heny menggambarkan kelelahan sangat berat. Kali ini nurani kemanusian ku muncul, meskipun dalam hati aku cuma mengatakan; Kasihan Bu Heny harus menanggung penderitaan ini. Tapi gak apa-apa bu, masih berat Salibnya Yesus kok.

“Kalau di Sastra gimana, Don? Jangan-jangan sama juga” Bu Heny melontarkan pertanyaan yang gak ku duga sebelumnya. Mikir sebentar..Kalau aku bilang sama aja nanti Si Ibu tambah stress, kalau bilang gak baik-baik aja ya..bohong donk namanya. Tumben otak ku masih bisa berfikir tentang kebohongan. Kemudian otak ku mengembara mengingat kembli dan ketemu, ya.. kelas nya Pak Retang, Prose Analysis. Waktu itu kita gak mau keluar kelas meskipun jam nya udah berakhir alias dead kita tetap ngotot gara-gara ngedebat masalah konsep Ketuhanan. Ada dua kubu waktu itu para Theologist dipimpin Hino, calon frater (mau jadi pastor) dan Kaum Atheist, Agnostic dan Non-theist dipimpin Seto, calon Bhikku ( ada keinginan mau jadi Bhikku katanya) perdebatan itu sangat seru. Sampai Pak Retang harus angkat bicara:

“Cukup dulu! Diskusinya nanti kita sambung lagi di lain kesempatan.” Sambil melihat jam tangan yang sudah kelewatan 20 menit. Jadi dengan bangga aku mengatakan;

“Gak bu, kita itu kalau di kelas sering diskusi dan debat kok jadi kelas gak pernah sepi” Walaupun cuma kelas itu aja sih, tapi kan aku gak bohong.

“Oh gitu ya..” Bu Heny terseyum. Mungkin dia berfikir beban ku sedikit berkurang.


Tiba-tiba Bu Ike masuk, sudah bisa ditebak kalau melihat langkah kakinya yang tergesa-gesa sambil mengeser pintu, Krek.. kacamatanya sedikit miring kemudian dia menarik nafas dalam-dalam, pasti ada masalah yang sangat penting. Sambil menatap Bu Heny kemudian aku yang sedang duduk di depan meja Bu Heny. Dengan wajah give-up nya sambil mengeleng-geleng kepala.

“Aku harus melakukan apa lagi Bu? (Sambil melihat ke Bu Heny) Aku sudah kasih kesempatan biar mereka bisa nyontek atau nanya teman tapi tetap aja mereka gak melakukan, padahal aku lihat lembar jawaban mereka itu warnanya masih putih semua gak ada coretannya sama sekali.” Diam sebentar sambil menatap aku. Tentu saja gaya bercerita bu Ike sangat ekspresif dari Bu Heny, kedua tangannya bergerak bagai seorang dirijen yang sedang memimpin sebua konser spektakuler atau seorang pemimpin pemandu sorak yang terus mendukung para pamain idolnya di lapangan basket ball, Intonasi suaranya bergerak naik turun seperti tangga lagu musik complicated jazz dan mimik wajahnya seperti artis Meriam Belina dalam senetron “Cahaya” kemudian drama monolog ini pun berlanjut;

“Aku sudah gak ngawasin mereka lagi, aku sengaja duduk didepan sambil baca koran, dan muka ku sengaja ku tutup dengan koran. Tadinya aku pikir mungkin kepala ku masih kelihatan. Jadi korannya aku angkat lagi sampai aku kelelep dan aku yakin pasti kalau dari depan itu semua kepala ku tidak kelihatan sama sekali. Tapi..tetap saja lembar jawaban kosong melompong. Jadi dari pada Bete didalam aku keluar saja. Padahal ini sudah setengah jam.” Bu Ike berjalan menuju dispenser sambil meneguk cairan pelega dahaga.

“Itu Don, kenapa aku gak masuk kelas hari ini. Aku sudah capek..bete..dan give-up. Kamu dengar sendirikan ceritanya Bu Ike?.” Bu Heny meyakinkan aku. Dengan suaranya yang lembut.

“Iya, Bu..” Jawab ku seadaanya, dalam hati aku berbisik “Gila..parah juga ternyata.” Kali ini benar-benar tersesat. Pikiran ku mulai berpetualang siapa-siapa saja mahasiswa yang ada didalam kelas itu. Pertama tanpa di komando, sosok Giant Baby dari Pemalang muncul. Iya..bagaimana tampang manusia satu ini? Pasti dia gak bisa bergerak, semalam aja gak belajar katanya gak punya catatan. Apalagi makhluk andalanya seperti Mella, pujaan hatinya juga gak bisa jawab, pasti dia akan mengumpulkan lembar jawaban hanya bertuliskan nama dan judul mata kuliah. Sepanjang waktu dia pasti gelisah dan menunggu miracle. Kemudian ke Penggemar Maria Ozawa, Agung alias Apang, Makhluk yang pintar dan pantas untuk lahir di abad ini, tapi karena proses evolusi yang mengalami stagnansi sehingga struktur otaknya sering konslet. Dia pasti mengerutkan kening sambil cengar-cengir dan memegang kepalanya, mengacak-acak rambutnya dan mengelus-elus tompelnya.

Keributan menggemah sampai ke ruangan Bu Heny. Pasti kelasnya sudah selesai. Sudah diduga semua berteriak seperti pemandu sorak;

“Pasti kita dapat nilai A : Ambil lagi tahun depan!” Suara si Yudha terdengar menggemah. Emang kalau bersuara dia paling lantang, singkron dengan fisiknya. Aku memutuskan untuk keluar ruangan Bu Heny. Menemui Si Tompel

“Gimana bro berhasil?”

“(Nyengir dulu sambil geleng-geleng kepala) Berhasil apanya gak bisa jawab semua. Mau nyontek gak ada catatan nanya yang lain gak tahu semua ya udah terpaksa nomor satu sampai sepuluh mengarang indah.”

Benginilah sekelumit potret buram generasi bangsa ini..hiks..hiks..hikss… moga-moga adik angkatan kami gak seperti ini. Sehingga masa depan Faklutas Sastra dan negri ini sedikit bercahaya. He..he.. sok heroic pada hal sama aja udah punya gelar SS tapi bukan Sarjana Sastra tapi Sarjana Stress atau Sinting.

Senin, 13 Oktober 2008

Angkatan Brengsek




Tiba-tiba aku sadar dari mimpi indah bersama bidadari Limbukku..gak tau kenapa akhir-akhir ini aku selalu memimpikan dirinya. Meski arena mimpiku slalu gak cukup luas menampung bayangannya. Tapi tetap aja dia maksa masuk. Dasar Limbuk..
“Sial.. ada ujian hari ini!” gerutuku.. belum sepenuhnya sadar. Seperempat nyawa baru hadir. Tangan meraba-raba handphone, apalagi yang dilakukan kalau bukan lihat jam. Mastiin aja. Kalau jamnya masih bisa diajak kompromi. Jam 09.00. ternyata kali ini jam sedikit pengertian.
“Ah baru jam sembilan kuliah jam 09.30 tidur lagi ah..” perlahan-lahan aku berpetualang lagi memasuki alam para bidadari. Tiba-tiba..
“Bangun ndes! Ujian..gdebuk (pintu kamar digebuk) sudah jam setengah sepuluh ini.” Suara siapa lagi kalau bukan si pengemar berbagai aktris cantik dari Hollywood itu, Seto.
“Aduh..baru aja lelap sedikit udah mau bangun.” Biasa.. mengeluh kalau kenikmatannya terhambat.
“Gak mau ikut ujian? Gak juga gak apa-apa masih ada tahun depan?” Sindirannya cukup untuk membuat ku loncat dari tempat tidur tanpa kompromi.
Terpaksa. tanpa pikir panjang lagi. Langsung menuju kamar mandi. Tidak perlu mandi cukup cuci muka saja. Lari dengan kecepatan tinggi sudah jadi tradisi. Salip kiri, salip kanan akhirnya sampe juga di Fakultas tercinta, Sastra.

Dengan penuh kepercayaan diri aku dan Seto menaiki anak tangga, langkah kaki tidak beraturan. Maklum sudah terlambat, walaupun suasana hati tidak setegang kalau yang ngajar Bu Wur alias Bu Jambul. Kali ini Ibu Ike dosen berpenampilan seadanya, cuek, kadang kalau ngajar sandalnya ditinggal di kantor. 100% terbalik dengan sosok Bu Wur. Kalau ongomongin masalah disiplin waktu, waduh.. saingan sama mahasiswanya alias suka terlambat. Tapi kali ini lain karena hari ini “UJIAN”. Makanya Susana hati berbeda. seperti biasa disambut Bapak Soegijapranata, berdiri tegak di atas tangga tanpa ekspresi, mata tetap menyorot ke satu arah, mengenakan kaca mata tapi gak ada kacamatanya (frame nya aja) Berjubah kebesaran berwarna hitam ala seorang uskup dengan kalung salib melingkari lehernya semua berwarna hitam termasuk kulitnya. Pikirnya mungkin seperti ini:

“Gimana masa depan bangsa ini kalau generasi bangsa kayak mereka. Mereka tidak tahu kalau masa perang dulu saya berjuang setengah mati. Gak tidur..gak makan.. hanya untuk membebaskan negri ini dari tangan penjajah. Tapi sekarang apa yang mereka perbuat..kuliah terlambat terus.gak pintar-pintar, slalu bikin masalah. Malu aku, namaku dipake buat kampus ini.” Kira-kira begitu kalau patung cebol nan gagah perkasa ini bisa bersuara.
“Jangan kuatir pak, walaupun mahasiswa kayak gini. Suatu saat kami bisa bikin jantung bapak berdetak dan bergerak dari tempat keabadian itu.” Aku beroptimis. Selanjutnya adalah suasana berubah. Teman-teman berdiri melingkar di depan pintu tata usaha, wajah mereka begitu serius. Kedatangan kami tidak dihiraukan. Aku berusaha mendekat. Dan dengan senyum kelegaan Febe nyengir kearahku.

“Itu Dona baru datang.” Mungkin pikirnya. Sang hero sudah datang. Semua akan dapat diatasi. Walaupun pahlawan kesiangan karena emang gak bisa bangun pagi. Dengan wajah yang tenang seperti biasa aku sok jadi penyelesai masalah, problem solver. Kira-kira gitu istilah kerennya.
“Ada apa?” Suara tenang, sedikit bingung tapi tetap santai.
“Tadi Bu Ike marah..marah sampai bilangin angkatan kita itu brengsek habis itu dia gak mau ngasih ujian hari ini..aduh..Bang.. padahal kitakan udah susah..susah buat susah..susah nyari di internet, malam sampe ngelembur, masa disuruh bikin ulang lagi. Padahal itu kan belum tentu salah kita. Kamu udah ngumpulin?” Seperti peluru dari senjata automatic, kata-kata meluncur tanpa henti dari mulut Febe. Tidak ada koma titik atau tanda baca lainya.
“Sebentar-sebentar aku gak ngerti ada apa toh?” Sekilas aku melihat kewajah temanku sang pengidola Sania Twain itu. Ya..bisa ditebak wajahnya bingung dan membingungkan. Itu sudah jadi karakter dari wajahnya.

“Iya..Be kamu ceritaiin dong, kronologinya! Kok.. Bu Ike bisa marah-marah kayak gitu” Si Yuli angkat bicara. Ternyata dia juga gak ngerti permasalahan utamanya apa. rasa penasaran dan kebingungan terpampang jelas.
“Gini loh tadi aku sama Tia ngumpulin paper Romantism trus Bu Ike dengan wajah jengkel, sedikit kaget ngomentar; Kok baru ngumpulin sekarang! Aku jawab;
Kan ujiannya hari ini jadi ngumpulnya hari ini. Bu Ike malahan kayak marah gitu, Kalian itu gak tau diri ya.. sekarang itu ujian oral. Paper itu harus di kumpulin 3 hari sebelum ujian oral. Dan itu ada pengumumannya. Aku tanya jadi gimana bu? Bu Ike gak jawab terus keluar ruangan sambil nekuk wajah gitu. Aku juga ikut keluar. Habis itu Rachel sama teman-teman lain dengan pedenya ketemu Bu Ike di pintu situ (sambil menunjuk ke pintu dekat ruang dosen) terus ongomong sama Bu Ike, Bu mau ngumpulin paper. Nah Bu Ike langsung bentak; Kalian itu punya mata, punya kuping kenapa tidak mau dipake saya sudah bilang di kelas waktu pertemuan terakhir kalau paper tugas akhir dikumpul 3 hari sebelum ujian dan saya juga tempel pengumuman di papan. Kalian memang angkatan brengsek lebih brengsek dari yang lain. Pokoknya saya tidak mau terima paper kalian. Terus ya udah kita keluar. Habis Bu Ike nya udah marah-marah gitu. Cukup jelas Febe mendeskripsikan dengan mimic seorang Bu Ike beserta intonasinya. Sebelum aku bicara tiba-tiba Bu Ike keluar sambil mukul pintu..keluar dari Tata Usaha, sepertinya dia dengar obrolan kami yang kebingungan, kecewa, sakit hati, merasa tolol dan seribu perasaan lainya.

“Kalian dengar tidak kalau pertemuan terakhir kemarin saya umumkan untuk mengumpulkan paper 3 hari sebelum ujian? Tau tujuannya apa?” Kami masih kebingungan untuk menjawab. Dan Si ibu yang lagi syndrome high blood melanjutkan semprotannya.
“Supaya saya punya waktu untuk baca tulisan kalian yang bikin pusing itu.” Matanya melotot dan sudah pasti letak kacamatanya sudah tidak normal agak miring ke kiri. Wajahnya memerah seperti habis dijemur dimatahari sehari di Pantai Marina. Teman-teman memolototiku. Lagi-lagi isyarat mata itu menghendaki aku angkat bicara. Baru mau buka mulut Bu Ike meluncur lagi bagai pesawat jet lepas landas. Wush..
“Siapa yang dengar pengumuman saya? Kalau tidak ada berarti saya yang salah.” Sepertinya dia mau cari bukti sebenarnya kesalahan ada dipihak mana. Tiba-tiba si kupret bicara
“Saya Bu..saya sama Dani..dan kita udah ungumpulin 3 hari yang lalu.” Si Igor dengan jujur menaggapi. Tidak pikir dia kalau jawabannya bisa bikin satu angkatan gak bisa ikut ujian hari ini. Karena Bu Ike mengangap kegobolokan ada di pihak kami.
“Sial” Pikirku. Tiba-tiba aku yang disodorkan pertanyaan
“Donatus, kamu dengar tidak?”
“Tidak bu.” Jawabku. Karena memang aku gak tahu ada pengumuman kayak gitu.
“Okey saya tidak mau ambil pusing saya mau ujian oral kalau kalian bikin paper yang baru titik tidak ada alasan lagi.” Pernyataan itu jelas, menghantam dan mengecewakaan bagai pasien sakit jantung masuk stadium tiga. Dag..dig..dug.. there’s no other choice except find a new topic. “Gila..gila.. bikin setengah mampus gak di kasih nilai.” Gumamku dalam hati. Setelah kepergian Bu Ike dengan pernyataannya setajam pisau, sekeras batu, dan sepanas bara api semua kecewa.
“Ayo kita harus gimana ini? Masa kita harus buat lagi..Igor sih?” Febe melototin Igor yang berdiri dengan percaya diri disampingnya.
“Ya bukan aku dong ya salah..memang waktu itu kita dengar kok.” Igor membela diri. Dengan wajah agresifnya, keningnya dikerut-kerutkan.
“Tuh..Dona aja gak dengar apa-apa.” Febe gak mau kala Aku pikir-pikir lagi. Emang sudah jadi tradisi kalau ada tugas mesti pada nanya ke aku. Walaupun seringkali aku sok tahu. Tapi kok kali ini aku gak tau ya..O..ya…

“Aku gak masuk ada rapat pas kuliah terakhir kemarin.” Aku sadar sekarang. Tapi apa yang mesti dilakukan ya.. Harusnya aku nanya.harusnya aku bisa nebak..dan harusnya bla..bla..bla… biasa penyesalan selalu datang terlambat.. kalau datang duluan bukan penyesalan namanya.
“Ok. Sekarang kita temuin Bu Ike mungkin dia bisa ngerti, siapa tau.” Ku coba untuk berharap. Meski teman-teman sudah pada ikhlas. Ikhlas buat ngambil aja lagi tahun depan, gitu maksudnya. Tapi mereka juga masih berharap, terlihat dari wajah-wajah bingung itu. Tapi kenapa seorang Bu Ike bisa sampai marah seperti itu? Ya.. mungkin udah capek menghadapi mahasiswa dablek kayak kami. Itu kejadian kedua sebelumnya adalah. Kuliah Extensive Reading. Seperti biasa kita dikasih novel dan puisi masing-masing dibatasi sesuai dengan tebal tipisnya novel dan banyak sedikitnya puisi. Saatnya maju ujian. Semua berbaris laksana pasukan Garuda yang dikirim ke Timur Tengah atau seperti warga yang antri sembako. Kali ini kumpulan puisi yang harus kami jelaskan ke Bu Ike. Sudah dipastikan setiap anak menenteng fotokopian dengan puisi buah karya para penyair Romanticm Era sampai abad dua satu. Pintu lab dibuka, dan maju satu-satu.

Dan setelah beberapa saat bu dosen yang mengenakan daster ini keluar wajahnya merah membara. Korban pertama adalah pintu. Kasihan pintu, coba kalau dia bisa ngomong, kenapa ya aku yang slalu digebukin. Perasaan aku gak salah apa-apa..
“Cklek..Gdebuk..Bum….” Semua kaget dan memandang kearah pintu sang wonder women berbadan dua mengenakan daster motif bunga-bunga berdiri disana dengan tangan kanan menenteng fotokopian kumpulan puisi dan tangan kirinya baru saja menghantam pintu. Gila.. coba kalau tangan itu di tempeleng ke muka pasti tambah hancur wajahku.. berantakan dan berserakan kemana-mana.

“Kalian itu saya sudah kasih waktu selama dua minggu untuk baca teks ini..@$%#*$&^)(*&..” Suaranya merambat naik, urat nadi di lehernya seolah-olah mau meloncat keluar, seperti ular yang kepanasan menggeliat keluar liangnya. Kedua kaki menumpu kuat menahan berat badannya yang over karena ada seorang penghuni yang bertenggger didalam perutnya. Kemudian adegan pembentakan berlanjut.
“Kalian pikir saya ini teman kalian yang bisa kalian perlakukan seenaknya.” Sampai disini aku masih bingung. Kupandang wajah teman-teman disekitar tempat itu. Semua wajah kebingungan ada yang melongoh, menunduk, dan melotot karena kaget. Kalau ada yang sakit jantung mungkin shock di tempat.

“Dari tadi saya tanya tidak ada yang bisa jawab, sudah 6 orang. Kalau pun ada yang jawab itu ngelantur kemana-mana.. masa diawal katanya characternya sudah mati kok di belakang bisa hidup lagi.” Sambil mengibas-ngibas teks yang ada ditangannya. Bola matanya melotot seolah-olah kedua matanya mau melompat keluar dari kacamata yang ada didepan seperti bola golf yang meloncat-loncat mencari hole. Aku dan beberapa teman disitu sedikit tersenyum ada yang kelepasan tertawa, saat itu mungkin kami pikir bisa saja tokoh itu punya ilmu sihir atau bisa bermuzijat kayak David Copperfield atau seperti Yesus yang bisa membangkitkan orang mati, atau mungkin karakter itu pengikut Yesus. Kemudian,

“Kalian jangan tertawa!..paling juga sama saja denagan teman-teman kalian yang sudah maju.. Sekarang saya gak mau nguji lagi..kalian baca saja dulu puisinya kalau sudah siap baru kasih tau saya.” Bu Ike langsung menyingkir menuju kantor dengan sandal setengah sepatu yang diseret-seret. Karena makenya gak pas gitu. Semua wajah mengambarkan rasa bersalah tapi prosentasenya lebih besar perasaan puas karena gak ujian hari ini. Akhirnya ujian ditundah.. See you next time Bu Ike.
Kembali ke permasalahan semula, sekarang adalah kejadian kedua, sudah pasti pertama aja kayak gitu apa lagi adegan selanjutnya jauh lebih dasyat dan bombastis kalau kasarnya sih jauh lebih sadis. Semua bicara sendiri-sendiri, belum siap untuk menghadap Bu Ike yang sedang nongkrong di tata usaha dengan aura wajah yang sangat pekat.. sampai-sampai gak ada satu pun lalat yang berani nangkring di dedapannya. Saat itu kami tidak berani menatap wajah Bu Ike sama sekali. Ngeri takut ketularan darah tinggi atau jadi sasaran tembak peluru terpedo. Dan entah kenapa kobaran api sepertinya telah padam. Tidak ada dua tanduk yang bertengger di kepalanya, tidak ada lagi tombak tajam yang siap menghunus. Tidak menggelegar seperti guntur atau meletik-letik seperti petir atau menggemuru seperti deru ombak Si ibu berbadan dua ini keluar, kali ini wajahnya tersenyum, langkah kakinya lebih tenang. Aku kaget bukan main malaikat dari surga tingkat berapa yang merasukinya? Ibarat nya kalau ku gambarkan. Dia keluar dengan baju putih-putih, gak ada tanduk dikepalanya tapi mahkota yang blink-blink, bukan tombak bermata tiga tapi tongkat licin berkepala bintang gejora di tangannya.

“Baiklah sekarang saya maafkan kalian, tapi lain kali jangan sepelehkan dosen yang ngasih tugas, harusnya kalian bisa mengerti.. kan kalian sudah dewasa. Sekarang maju satu-satu ke ruangan saya.” Kali ini bukan Lusifer tapi Gabriel atau Jibril, pembawa berita yang mendamaikan hati kami. Seperti di sihir Suasana menjadi sumringah, kebahagian setengah ketidakpercayaan menepuk-nepuk wajah kami. Terimakasih Bu Ike kamu memang baik, kira-kira itu yang kami pikirkan. Tentu saja Si Febe terseyum kegirangan sambil meluapkan kata-kata:
“Yes,,gak jadi bikin ulang” Tangannya laksana tangan kuli bangunan di ayun keatas kemudian dibanting kebawa.

Sabtu, 11 Oktober 2008

I'm Sorry Mum


Kuliah pagi..paling malas. Jam 7.30 harus sudah dikampus. Kalau kelasnya Bu Ike and Bu Ninik gak masalah. Ini kelasnya Bu Wur. Dosennya terkenal strik, killer tidak kenal kompromi Harus on time jam 7.45 lebih pintu ditutup. Walaupun setelah itu aku sadar kalau dosen satu ini baik hati, sampai pas aku gak ada uang buat urunan beli kenangan-kenangan buat Fakultas. Dia bawa aku ke kantor nya dan mengeluarkan lembaran 50 ribuan buat aku. Tapi kalau dalam hal kuliah lain cerita. Apapun alasan kalau telat gak boleh masuk. Terlambat adalah budaya bagi kami. Bu Wur seperti apa orangnya? Penampilan selalu elegant, yang bikin beliau unik adalah punya jambul laksana kepala ayam jantan atau burung kakatua. Walaupun dia terbaring dirumah sakit jambulnya gak pernah rusak. Teman-teman sering tanya kok bisa ya? Sakit masih ngurusin jambul. Ya. Mungkin itu jimatnya.

Nah.. mahasiswa harus on time tapi kuliahnya selalu jam 7.30. ini masalah besar buat kami. Terkenal angkatan 2004 pasti terlambat. Apa lagi “Rombongan Wisatawan.” Mereka kalau masuk kelas selalu keroyokan. Jadi Bu Wur harus berhenti bicara. Semua mata keranjang pasti melahap kearah mereka laksana mata burung elang yang menatap penuh gairah kearah mangsa-mangsanya dari ujung rambut sampai unjung kepala. Apalagi kami penikmati keindahan. Disini kadang aku tidak bisa membedahkan unsur gairah keindahan dan gairah birahi. Sangat transparan. Tatapan mata pasti berhenti lebih lama di dua area. Dada dan Paha. Kalau pasukan mereka lewat semua aktifitas berhenti; “Cut..cut…iklan-iklan dulu!!!” Sudah gitu.. mata mengantuk jadi pulih. pikiran yang masih gentayangan di kasur, secepat kilat kembali ke saat ini. Ya..di kelas ini dengan obyek yang memikat. Habis itu Bu Jambul pasti memberikan ceramah.

“Saya mohon supaya jangan terlambat terus ya. Ini menggangu konsentrasi saya.” Suaranya datar, tegas dengan sorot mata mantap. Yang di nasehati gak peduli sibuk nyari tempat duduk.

Krek..krek..pletak. kursi-kursi diseret merapat. Para mahasiswi wisatawan ini gak mau kalau duduk terpisah. Slalu saja berusaha biar duduknya bareng. Sepertinya kalau misah kekuatan ajaib mereka tidak berfungsi. Dan itu berpengaruh dalam menyerap pelajaran.

“Geeser donk!”

Tradisi mahasiswa di kampus ini adalah sebagai berikut: yang datang awal pasti duduk di paling belakang, dan tengah. Kalau duduk didepan berarti itu mahasiswa yang tergolong “sadar” Sadar kalau duduk dibelakang pasti disuruh jawab pertanyaan, atau maju kedepan buat nulis jawaban atau jadi obyek teguran dosen atau dibelakang gak dengar apa-apa.

“Tolong ya! kalau saya lagi ngomong didengar!” Suaranya agak meninggi, kesan killernya terasa. Yang belum dapat tempat duduk terpaksa berdiri dan melihat ke Bu Jambul agak menunduk karena malu.

“Yang belum dapat tempat duduk sekarang duduk!”

“Ini soalnya dibagikan kebelakang!” Bu Wur dengan jambul bak makhota kebanggannya memberikan tumpukan soal ditangannya ke mahasiswa yang duduk paling depan. Aku terjebak paling belakang bersama sang penggemar bintang holywood itu, Seto, dan Andini. Aku duduk ditengah diantara mereka tentu saja. Tibalah saat yang dinanti-nantikan. Dengan serius soal dibaca satu persatu mana yang lebih mudah. Da ternyata, Oh my God, sepuluh soal yang ada tidak bisa semua. Mampus… masa gak diisi. Kalau gak licik bukan mahasiswa namaya. Ada dua rencana utama, Satu tengok kiri dan kanan. Tanpa berpikir panjang lagi mataku melotot seperti teropong bintang focus ke lembar jawaban Andini.

“Din nomor satu jawabanya apa?” Tentu saja berbisik kalau kedengaran Bu Jambul langsug disuruh keluar ruangan. Tapi aku tidak melihat jawaban apa pun dikertasnya. Yang ada tulisan nomor satu kemudian salinan soal dilangkah beberapa baris kemudian nomor dua, tulisan soal dan seterusnyanya. Aku mulai panik. Biasanya paling gak tiga atau empat soal yang aku yakin bisa, tapi sekarang gak tahu sama sekali. Selanjutnya tengok kanan.

“Man, nomor satu dua dan seterusnya sampai sepuluh jawabanya apa?” belum sempat dia komentar, mata ku langsung melahap seluruh isi lembar jawabannya dan ternyata yang ada hanyalah tulisan nama, mata ujian, tandatangan dan pada baris pertama angka satu yang dibulat-bulat. Ternyata, rencana A gagal. Masuk keaksi berikutnya buka buku ajaib yang tersimpan dalam tas. Ini adalah kitab yang bisa menjawab semua teka-teki ini. Kalau diumpakan, seperti kitab suci yang mampu mengetahui apa kehendak Tuhan. Tanpa bertele-tele tangan kiriku merogo-rogo tas yang ada dibawa kaki. Tiba-tiba.

“Yuli, keep your eyes on the paper!” Aku gak bisa membayangkan bagaimana wajahnya Yuli, merah merona bagai wajah lawan yang kena pukulan telak Make Tyson. Tangan kiri yang masih dalam tas secepat kilat langsung kucabut keluar dan kembali keposisi semula. Setelah itu mata Bu Wur mulai menjelajahi seluruh ruangan laksana tatapan mata Ratu Elisabet di Era Victorian, tegas, cepat, dan tentu saja killer. Kegelisahanku mulai meningkat beberapa persen dari sebelumnya. Diam dan pura-pura nulis agar tidak dicurigai. Setelah beberapa saat, tangan kiriku beraksi lagi tatapan mata tetap kedepan. Tangan kiri bekerja super keras sambil pikiran ku mengira-ngira kira-kira yang mana catatannya. Sudah sekian lama aku tidak menemukan yang dicari. Kali ini aku ragu dengan indera perabaku terpaksa mata ku melongo kedalam tas yang sudah terbuka dan saat itu tanpa ku duga.

“Donatus, Just write your answer!” Mampus, aku kaget bukan main setengah tidak percaya kalau aku ketahuan. Aku sesaat bengong, yang disebut bukan Yuli, Yudha, Andini atau Seto tapi Donatus, iya namaku. Rupanya Bu Wur punya mata yang sangat lihai bagai kucing yang duduk diatas genteng tapi tahu kalau ada tikus yang lagi sibuk mengobrak-abrik sampah di pinggir jalan. Kali ini aku yang kena tembakan cukup untuk melumpuhkan kesadaran dan kegoblokan ku. Seketika itu semua ribut dan menatap aku yang kebingungan, malu, dan salah tingkah.

“Iya Bu.” Jawab ku seadanya. Posisi duduk dirapikan lagi. Kali ini benar-benar bahaya. Musuh sudah tahu gerak-gerik ku dan sempat melontarkan tembakan. Akhirnya ambil langkah preventif. Posisi duduk tegak kepala menunduk menatap lembaran kosong yang sedang tertawa mengejek, mungkin kalau kertas ini bisa bicara sudah dari tidak aku digoblok-goblokin. Tangan kanan memegang pulpen. Dan pura-pura menulis. Pikiran ku berkeliaran menyusuri jejak-jejak dimana catatan beserta foto kopian ku? Apa mungkin tidak ada didalam tas? Seperti kesetrum aku sadar kali ini aku benar-benar kala dan harus ambil lagi tahun depan, kitab ajaib andalanku tertinggal di tempat tidur. Gara-gara tadi bangun terlambat. Tidak ada harapan lagi. Kali ini menunggu mujizat siapa tahu ada yang baik hati melemparkan Jawaban dari nomor satu sampai sepuluh. Aku terus mengamati teman-teman yang sedang menyontek ada yang memutar lembar jawaban teman di sebelahnya. Aktifitas mereka begitu rapi sampai sang penembak jitu yang duduk mengawasi di depan tidak mengetahui aksi bulus mereka. Aku masih terus menunggu dan menunggu. Sudah tidak ada harapan lagi.

Tiba-tiba seperti menemukan oase di padang gurun aku bahagia bukan main. Seto memegang sebua kertas besar seukuran lembar jawaban yang dilipat seadanya. Dalam kepalaku sebua angan-angan. Pasti semua jawaban ada dikertas ini. Semuanya.. Setelah Seto menyalin dan giliranku. Aku benar-benar bahagia. akhirnya penderitaanku berakhir. Kali ini Seto yang mengalami ketegangan. Seperti seorang pencopet di kreta api, dia membuka pelan-pelan kertas itu, matanya tetap mengarah ke depan. Takut kalau hantaman cock telak dari Susi Susanti mengenainya.

Akhirnya kertas penyelamat itu berhasil dibuka. Aku kaget bukan main tanpa terkendali, aku tertawa. Andini yang ternyata sedang menunggu peta harta karun itu dibuka ikut tertawa. Bukan semua jawaban yang ada disitu tapi hanya ada tulisan nomor 6 yang dibundar besar-besar. Diikuti satu kalimat yang terdiri dari 4 kata. Yang ditulis besar-besar juga. Parahnya lagi aku tidak bisa mengerti apa yang ditulis disitu. Tentu saja Susana ini adalah bentuk kebodohan kami.

“Donatus, Andini. What happen? Kalian sudah bikin suasana tidak kondusif. Saya minta tolong kerjakan soal anda,a kalau tidak bisa tinggalkan saja.” Kali ini benar-benar sekarat. Semua kelas bersorak riuh.

“Huh..donatus lagi…donatus lagi…”

“He..he…he..” Aku hanya bisa nyegir dan menatap Bu Wur yang sedang mengeleng-geleng kepala. Mungkin dia marah atau kasihan.. ekspresinya susah ditebak kali ini. Saking geroginya aku. Keputusan harus diambil dari permainan ini. Aku kalah dan tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain mencorat-coret lembar jawaban itu sehingga kelihatan penuh dengan tulisan. Jika seorang mahasiswa sudah tidak bisa apa-apa lagi dalam mengerjakan soal maka langkah yang paling darurat adalah memenuhi lembar jawaban dengan salinan soal dan dicampur dengan aksi mengarang indah. Dalam rasa bersalahku Ratu Elisabeth ini menembak lagi

“Donatus, Andhini, Seto setelah ini menghadap saya.” Tegas, mantap, tidak perlu penjelasan tambahan, dan tidak ada kompromi. Kita bertiga nyengir-nyegir sendiri. Aku kasihan sama Seto. Dia yang tetap tenang walaupun garis-garis kebingungan terangkai berantakan diwajahnya, harus terlibat. Gara-gara keteledoranku. Tapi bukan namanya 2004 kalau gak jadi trouble maker.

“Silakan duduk!”

Aku deg-degan… kira-kira apa yang akan dikatakan oleh ibu bermakhota ini ya? Yang jelas ceramah. Apa aku tidak diluluskan? Ah..dengarkan saja.

“Terus terang saya kecewa dengan anda bertiga” Suaranya merendah bagai seorang ibu yang menyesali kenakalan anak-anaknya. Kami masih diam sambil menatap Bu Wur.

“Kalian adalah orang-orang yang dianggap mampu menjadi pemimpin bagi teman-teman mahasiswa lainya.” Diam dan menarik nafas.

“Tapi tindakan kalian tadi sangat tidak layak.” Sorot matanya sangat lembut menyentuh hati kami yang paling dalam. Kami menyesal. Sesaat diam aku menunduk. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Tadi seharusnya aku tidak seperti itu. Seharusnya aku belajar, seharusnya aku simpan catatan itu di tas..dan seharusnya..seharusnya.. kemudian Bu Wur melanjutkan.

“Saya tahu kalian tidak menyontek. Teman-teman kalian itu hampir semua menyontek. Tapi sikap kalian itu tidak menghargai ujian ini.” Aku sedikit kaget dan menatap Bu Wur. Ternyata dia tahu juga semua yang terjadi. Hebat-hebat. Seharusnya kamu jadi intel, snapper, pengamat politik, bukan dosen bu. Andini terlihat berkaca-kaca. Emang kalau perempuan dengan perempuan itu lebih saling memahami. Rupanya dia tahu betul perasaan Bu Wur akhirnya ia buka mulut.

“Kami minta maaf yang sedalam-dalamnya, bu. Kami tidak akan mengulang lagi. Terimaksih atas perhatian ibu kepada kami. Untuk kedepannya kami akan lebih peka terhadap kondisi yang ada.” Pasti meminta maaf dan merasa bahwa ini adalah kekhilafan. Ya..namanya juga maling kalau tidak ketahuan dia cengengesan dan basok maling lagi, tapi kalau ketahuan dia pasti mengatakan, aku khilaf. Besok aku tidak akan mencuri lagi. Dan Bu Wur melanjutkan;

“Kalian adalah harapan kami khususnya saya, kalau kami butuh bantuan pasti lewat kalian. Kami menganggap kalian adalah orang yang bisa diandalkan di Fakultas ini. Kalau jadi pemimpin harus bisa memberi contoh. Jadi kalian tahu kenapa saya panggil kalian bertiga? Baiklah saya maafkan kalian, tapi lain kali jangan mengulang lagi.” Intonasi suaranya begitu menyentuh dengan tatapan mata menyimpan harapan yang sangat tulus. Dibalik sosok Ratu Elisabeth ternyata terdapat pribadi Bunda Theresia yang lemah lembut.

“Terimakasih bu, kami tidak akan mengulang lagi.” Rasa bersalah bercampur dengan semangat untuk tidak melakukan tindakan itu lagi. Kemudian sedikit bangga dengan ucapan Bu Wur bahwa kami adalah mahasiswa yang menjadi tangan kanannya dan dosen lainya. Akhirnya dengan sikap yang agak malu-malu kami meninggalkan Bunda Theresia itu. Terimakasih bu semoga kami jadi mahasiswa yang benar-benar berguna.