Entri Populer

Senin, 13 Oktober 2008

Angkatan Brengsek




Tiba-tiba aku sadar dari mimpi indah bersama bidadari Limbukku..gak tau kenapa akhir-akhir ini aku selalu memimpikan dirinya. Meski arena mimpiku slalu gak cukup luas menampung bayangannya. Tapi tetap aja dia maksa masuk. Dasar Limbuk..
“Sial.. ada ujian hari ini!” gerutuku.. belum sepenuhnya sadar. Seperempat nyawa baru hadir. Tangan meraba-raba handphone, apalagi yang dilakukan kalau bukan lihat jam. Mastiin aja. Kalau jamnya masih bisa diajak kompromi. Jam 09.00. ternyata kali ini jam sedikit pengertian.
“Ah baru jam sembilan kuliah jam 09.30 tidur lagi ah..” perlahan-lahan aku berpetualang lagi memasuki alam para bidadari. Tiba-tiba..
“Bangun ndes! Ujian..gdebuk (pintu kamar digebuk) sudah jam setengah sepuluh ini.” Suara siapa lagi kalau bukan si pengemar berbagai aktris cantik dari Hollywood itu, Seto.
“Aduh..baru aja lelap sedikit udah mau bangun.” Biasa.. mengeluh kalau kenikmatannya terhambat.
“Gak mau ikut ujian? Gak juga gak apa-apa masih ada tahun depan?” Sindirannya cukup untuk membuat ku loncat dari tempat tidur tanpa kompromi.
Terpaksa. tanpa pikir panjang lagi. Langsung menuju kamar mandi. Tidak perlu mandi cukup cuci muka saja. Lari dengan kecepatan tinggi sudah jadi tradisi. Salip kiri, salip kanan akhirnya sampe juga di Fakultas tercinta, Sastra.

Dengan penuh kepercayaan diri aku dan Seto menaiki anak tangga, langkah kaki tidak beraturan. Maklum sudah terlambat, walaupun suasana hati tidak setegang kalau yang ngajar Bu Wur alias Bu Jambul. Kali ini Ibu Ike dosen berpenampilan seadanya, cuek, kadang kalau ngajar sandalnya ditinggal di kantor. 100% terbalik dengan sosok Bu Wur. Kalau ongomongin masalah disiplin waktu, waduh.. saingan sama mahasiswanya alias suka terlambat. Tapi kali ini lain karena hari ini “UJIAN”. Makanya Susana hati berbeda. seperti biasa disambut Bapak Soegijapranata, berdiri tegak di atas tangga tanpa ekspresi, mata tetap menyorot ke satu arah, mengenakan kaca mata tapi gak ada kacamatanya (frame nya aja) Berjubah kebesaran berwarna hitam ala seorang uskup dengan kalung salib melingkari lehernya semua berwarna hitam termasuk kulitnya. Pikirnya mungkin seperti ini:

“Gimana masa depan bangsa ini kalau generasi bangsa kayak mereka. Mereka tidak tahu kalau masa perang dulu saya berjuang setengah mati. Gak tidur..gak makan.. hanya untuk membebaskan negri ini dari tangan penjajah. Tapi sekarang apa yang mereka perbuat..kuliah terlambat terus.gak pintar-pintar, slalu bikin masalah. Malu aku, namaku dipake buat kampus ini.” Kira-kira begitu kalau patung cebol nan gagah perkasa ini bisa bersuara.
“Jangan kuatir pak, walaupun mahasiswa kayak gini. Suatu saat kami bisa bikin jantung bapak berdetak dan bergerak dari tempat keabadian itu.” Aku beroptimis. Selanjutnya adalah suasana berubah. Teman-teman berdiri melingkar di depan pintu tata usaha, wajah mereka begitu serius. Kedatangan kami tidak dihiraukan. Aku berusaha mendekat. Dan dengan senyum kelegaan Febe nyengir kearahku.

“Itu Dona baru datang.” Mungkin pikirnya. Sang hero sudah datang. Semua akan dapat diatasi. Walaupun pahlawan kesiangan karena emang gak bisa bangun pagi. Dengan wajah yang tenang seperti biasa aku sok jadi penyelesai masalah, problem solver. Kira-kira gitu istilah kerennya.
“Ada apa?” Suara tenang, sedikit bingung tapi tetap santai.
“Tadi Bu Ike marah..marah sampai bilangin angkatan kita itu brengsek habis itu dia gak mau ngasih ujian hari ini..aduh..Bang.. padahal kitakan udah susah..susah buat susah..susah nyari di internet, malam sampe ngelembur, masa disuruh bikin ulang lagi. Padahal itu kan belum tentu salah kita. Kamu udah ngumpulin?” Seperti peluru dari senjata automatic, kata-kata meluncur tanpa henti dari mulut Febe. Tidak ada koma titik atau tanda baca lainya.
“Sebentar-sebentar aku gak ngerti ada apa toh?” Sekilas aku melihat kewajah temanku sang pengidola Sania Twain itu. Ya..bisa ditebak wajahnya bingung dan membingungkan. Itu sudah jadi karakter dari wajahnya.

“Iya..Be kamu ceritaiin dong, kronologinya! Kok.. Bu Ike bisa marah-marah kayak gitu” Si Yuli angkat bicara. Ternyata dia juga gak ngerti permasalahan utamanya apa. rasa penasaran dan kebingungan terpampang jelas.
“Gini loh tadi aku sama Tia ngumpulin paper Romantism trus Bu Ike dengan wajah jengkel, sedikit kaget ngomentar; Kok baru ngumpulin sekarang! Aku jawab;
Kan ujiannya hari ini jadi ngumpulnya hari ini. Bu Ike malahan kayak marah gitu, Kalian itu gak tau diri ya.. sekarang itu ujian oral. Paper itu harus di kumpulin 3 hari sebelum ujian oral. Dan itu ada pengumumannya. Aku tanya jadi gimana bu? Bu Ike gak jawab terus keluar ruangan sambil nekuk wajah gitu. Aku juga ikut keluar. Habis itu Rachel sama teman-teman lain dengan pedenya ketemu Bu Ike di pintu situ (sambil menunjuk ke pintu dekat ruang dosen) terus ongomong sama Bu Ike, Bu mau ngumpulin paper. Nah Bu Ike langsung bentak; Kalian itu punya mata, punya kuping kenapa tidak mau dipake saya sudah bilang di kelas waktu pertemuan terakhir kalau paper tugas akhir dikumpul 3 hari sebelum ujian dan saya juga tempel pengumuman di papan. Kalian memang angkatan brengsek lebih brengsek dari yang lain. Pokoknya saya tidak mau terima paper kalian. Terus ya udah kita keluar. Habis Bu Ike nya udah marah-marah gitu. Cukup jelas Febe mendeskripsikan dengan mimic seorang Bu Ike beserta intonasinya. Sebelum aku bicara tiba-tiba Bu Ike keluar sambil mukul pintu..keluar dari Tata Usaha, sepertinya dia dengar obrolan kami yang kebingungan, kecewa, sakit hati, merasa tolol dan seribu perasaan lainya.

“Kalian dengar tidak kalau pertemuan terakhir kemarin saya umumkan untuk mengumpulkan paper 3 hari sebelum ujian? Tau tujuannya apa?” Kami masih kebingungan untuk menjawab. Dan Si ibu yang lagi syndrome high blood melanjutkan semprotannya.
“Supaya saya punya waktu untuk baca tulisan kalian yang bikin pusing itu.” Matanya melotot dan sudah pasti letak kacamatanya sudah tidak normal agak miring ke kiri. Wajahnya memerah seperti habis dijemur dimatahari sehari di Pantai Marina. Teman-teman memolototiku. Lagi-lagi isyarat mata itu menghendaki aku angkat bicara. Baru mau buka mulut Bu Ike meluncur lagi bagai pesawat jet lepas landas. Wush..
“Siapa yang dengar pengumuman saya? Kalau tidak ada berarti saya yang salah.” Sepertinya dia mau cari bukti sebenarnya kesalahan ada dipihak mana. Tiba-tiba si kupret bicara
“Saya Bu..saya sama Dani..dan kita udah ungumpulin 3 hari yang lalu.” Si Igor dengan jujur menaggapi. Tidak pikir dia kalau jawabannya bisa bikin satu angkatan gak bisa ikut ujian hari ini. Karena Bu Ike mengangap kegobolokan ada di pihak kami.
“Sial” Pikirku. Tiba-tiba aku yang disodorkan pertanyaan
“Donatus, kamu dengar tidak?”
“Tidak bu.” Jawabku. Karena memang aku gak tahu ada pengumuman kayak gitu.
“Okey saya tidak mau ambil pusing saya mau ujian oral kalau kalian bikin paper yang baru titik tidak ada alasan lagi.” Pernyataan itu jelas, menghantam dan mengecewakaan bagai pasien sakit jantung masuk stadium tiga. Dag..dig..dug.. there’s no other choice except find a new topic. “Gila..gila.. bikin setengah mampus gak di kasih nilai.” Gumamku dalam hati. Setelah kepergian Bu Ike dengan pernyataannya setajam pisau, sekeras batu, dan sepanas bara api semua kecewa.
“Ayo kita harus gimana ini? Masa kita harus buat lagi..Igor sih?” Febe melototin Igor yang berdiri dengan percaya diri disampingnya.
“Ya bukan aku dong ya salah..memang waktu itu kita dengar kok.” Igor membela diri. Dengan wajah agresifnya, keningnya dikerut-kerutkan.
“Tuh..Dona aja gak dengar apa-apa.” Febe gak mau kala Aku pikir-pikir lagi. Emang sudah jadi tradisi kalau ada tugas mesti pada nanya ke aku. Walaupun seringkali aku sok tahu. Tapi kok kali ini aku gak tau ya..O..ya…

“Aku gak masuk ada rapat pas kuliah terakhir kemarin.” Aku sadar sekarang. Tapi apa yang mesti dilakukan ya.. Harusnya aku nanya.harusnya aku bisa nebak..dan harusnya bla..bla..bla… biasa penyesalan selalu datang terlambat.. kalau datang duluan bukan penyesalan namanya.
“Ok. Sekarang kita temuin Bu Ike mungkin dia bisa ngerti, siapa tau.” Ku coba untuk berharap. Meski teman-teman sudah pada ikhlas. Ikhlas buat ngambil aja lagi tahun depan, gitu maksudnya. Tapi mereka juga masih berharap, terlihat dari wajah-wajah bingung itu. Tapi kenapa seorang Bu Ike bisa sampai marah seperti itu? Ya.. mungkin udah capek menghadapi mahasiswa dablek kayak kami. Itu kejadian kedua sebelumnya adalah. Kuliah Extensive Reading. Seperti biasa kita dikasih novel dan puisi masing-masing dibatasi sesuai dengan tebal tipisnya novel dan banyak sedikitnya puisi. Saatnya maju ujian. Semua berbaris laksana pasukan Garuda yang dikirim ke Timur Tengah atau seperti warga yang antri sembako. Kali ini kumpulan puisi yang harus kami jelaskan ke Bu Ike. Sudah dipastikan setiap anak menenteng fotokopian dengan puisi buah karya para penyair Romanticm Era sampai abad dua satu. Pintu lab dibuka, dan maju satu-satu.

Dan setelah beberapa saat bu dosen yang mengenakan daster ini keluar wajahnya merah membara. Korban pertama adalah pintu. Kasihan pintu, coba kalau dia bisa ngomong, kenapa ya aku yang slalu digebukin. Perasaan aku gak salah apa-apa..
“Cklek..Gdebuk..Bum….” Semua kaget dan memandang kearah pintu sang wonder women berbadan dua mengenakan daster motif bunga-bunga berdiri disana dengan tangan kanan menenteng fotokopian kumpulan puisi dan tangan kirinya baru saja menghantam pintu. Gila.. coba kalau tangan itu di tempeleng ke muka pasti tambah hancur wajahku.. berantakan dan berserakan kemana-mana.

“Kalian itu saya sudah kasih waktu selama dua minggu untuk baca teks ini..@$%#*$&^)(*&..” Suaranya merambat naik, urat nadi di lehernya seolah-olah mau meloncat keluar, seperti ular yang kepanasan menggeliat keluar liangnya. Kedua kaki menumpu kuat menahan berat badannya yang over karena ada seorang penghuni yang bertenggger didalam perutnya. Kemudian adegan pembentakan berlanjut.
“Kalian pikir saya ini teman kalian yang bisa kalian perlakukan seenaknya.” Sampai disini aku masih bingung. Kupandang wajah teman-teman disekitar tempat itu. Semua wajah kebingungan ada yang melongoh, menunduk, dan melotot karena kaget. Kalau ada yang sakit jantung mungkin shock di tempat.

“Dari tadi saya tanya tidak ada yang bisa jawab, sudah 6 orang. Kalau pun ada yang jawab itu ngelantur kemana-mana.. masa diawal katanya characternya sudah mati kok di belakang bisa hidup lagi.” Sambil mengibas-ngibas teks yang ada ditangannya. Bola matanya melotot seolah-olah kedua matanya mau melompat keluar dari kacamata yang ada didepan seperti bola golf yang meloncat-loncat mencari hole. Aku dan beberapa teman disitu sedikit tersenyum ada yang kelepasan tertawa, saat itu mungkin kami pikir bisa saja tokoh itu punya ilmu sihir atau bisa bermuzijat kayak David Copperfield atau seperti Yesus yang bisa membangkitkan orang mati, atau mungkin karakter itu pengikut Yesus. Kemudian,

“Kalian jangan tertawa!..paling juga sama saja denagan teman-teman kalian yang sudah maju.. Sekarang saya gak mau nguji lagi..kalian baca saja dulu puisinya kalau sudah siap baru kasih tau saya.” Bu Ike langsung menyingkir menuju kantor dengan sandal setengah sepatu yang diseret-seret. Karena makenya gak pas gitu. Semua wajah mengambarkan rasa bersalah tapi prosentasenya lebih besar perasaan puas karena gak ujian hari ini. Akhirnya ujian ditundah.. See you next time Bu Ike.
Kembali ke permasalahan semula, sekarang adalah kejadian kedua, sudah pasti pertama aja kayak gitu apa lagi adegan selanjutnya jauh lebih dasyat dan bombastis kalau kasarnya sih jauh lebih sadis. Semua bicara sendiri-sendiri, belum siap untuk menghadap Bu Ike yang sedang nongkrong di tata usaha dengan aura wajah yang sangat pekat.. sampai-sampai gak ada satu pun lalat yang berani nangkring di dedapannya. Saat itu kami tidak berani menatap wajah Bu Ike sama sekali. Ngeri takut ketularan darah tinggi atau jadi sasaran tembak peluru terpedo. Dan entah kenapa kobaran api sepertinya telah padam. Tidak ada dua tanduk yang bertengger di kepalanya, tidak ada lagi tombak tajam yang siap menghunus. Tidak menggelegar seperti guntur atau meletik-letik seperti petir atau menggemuru seperti deru ombak Si ibu berbadan dua ini keluar, kali ini wajahnya tersenyum, langkah kakinya lebih tenang. Aku kaget bukan main malaikat dari surga tingkat berapa yang merasukinya? Ibarat nya kalau ku gambarkan. Dia keluar dengan baju putih-putih, gak ada tanduk dikepalanya tapi mahkota yang blink-blink, bukan tombak bermata tiga tapi tongkat licin berkepala bintang gejora di tangannya.

“Baiklah sekarang saya maafkan kalian, tapi lain kali jangan sepelehkan dosen yang ngasih tugas, harusnya kalian bisa mengerti.. kan kalian sudah dewasa. Sekarang maju satu-satu ke ruangan saya.” Kali ini bukan Lusifer tapi Gabriel atau Jibril, pembawa berita yang mendamaikan hati kami. Seperti di sihir Suasana menjadi sumringah, kebahagian setengah ketidakpercayaan menepuk-nepuk wajah kami. Terimakasih Bu Ike kamu memang baik, kira-kira itu yang kami pikirkan. Tentu saja Si Febe terseyum kegirangan sambil meluapkan kata-kata:
“Yes,,gak jadi bikin ulang” Tangannya laksana tangan kuli bangunan di ayun keatas kemudian dibanting kebawa.