Entri Populer

Rabu, 15 Oktober 2008

BeTe ah...


Bete

Bete..Ah..


Akhirnya kami harus berpisah. Setelah empat semester bersama-sama. Kali ini kami gak punya pilihan lain selain berpisah. Jangan berfikir kalau perpisahan ini berurai air mata dengan diringi lagu “Good bye” nya Krisdayanti bagaikan istri seorang tentara yang ditinggal perang, atau seorang gadis yang diputus pacarnya secara sepihak dengan iringan lagu “Please Remember” by LeAnn Rimes. Atau anak tunggal yang menyingkir ke kota metropolitan untuk mengadu nasib. Tidak..kita hanya pisah jurusan kok. Ada dua jurusan di fakultas ini: Sastra dan Linguistik. Pilihan yang sangat…sangat berat bagi kami. Wajah kebingungan terpampang dimana-mana dari toilet kampus, selasar, tangga belakang Patung Pak Soegijapranata sampai ruangan Bu Heny (Dosen Wali tercinta). Bukan karena kita gak mau pisah, tapi bingung mau ambil jurusan apa? That’s the basic reason. Tinggal milih mau jadi sastrawan stress atau ahli bahasa yang ambruadul. Kalau gak milih kedua-duanya berarti cepat-cepat angkat kaki dari Fakultas ini. Berat..berat… bagaimana tidak prestasi yang kami ukir selama ini tidak sedikit pun mendukung kedua pilihan itu. Prestasi kami adalah bikin semua dosen memegang kepala dan berkata:

“Ampun-ampun.. Kenapa aku harus ngajar mahasiswa kayak gini.*^^$^$#%#%”


Ada dua opini yang berkembang pada waktu itu; pertama milih LinguistiK aja karena kalau Sastra itu isi baca buku melulu terus baca novel lagi, padahal aku kan tidak suka baca novel, bahasa Indonesia aja gak suka apalagi pake bahasa orang bule..please deh.. Argument ini muncul dari si trouble maker asal Pemalang. Sosok unik. Makhluk dari peradaban zaman batu yang terlalu cepat berevolusi ke zaman modern sehingga ada beberapa struktur otaknya yang perlu penyesuaian. Emang kalau Lingustik gak baca buku, apa? Trus opini kedua bagi yang anti Linguistik (matematikanya bahasa kira-kira begitu kalau disederhanakan), Linguistik itu terlalu susah kita harus dipaksa belajar grammar sampai botak ditambah simbol-simbol yang gak bisa dihafal, entar kayak Pak Budi ha..ha..ha.. (emang dosen yang canggih otaknya ini kepalanya kempling buanget no hair, dia terkenal sebagai pakar grammar) padahal otak kita hanya bisa ke pake 10 % aja. Kalau Sastra kan enak, modal ngarang indah semua beres. Demikian pendapat ini di luncurkan oleh si cantik, Febby. Idola kaum lelaki angkatan 2004. Gadis aduhai dengan postur gak tinggi tapi berbadan sintal. Kalau dia lewat atau duduk berhadapan gitu. Waduh pikiran pasti berkeliaran ke daerah-daerah terlarang. Siapa pun yang lihat kalau doyan perempuan pasti mengatakan: “Ya Tuhan sungguh luar biasa karya Mu.” Sambil menatap dalam-dalam ke makhluk indah ini. Kemudian dilanjutkan: “Gimana ya proses pembuatannya sehingga menghasilkan produk seperti itu?” kemudian silakan beropini sendiri-sendiri..karena pikiran itu pintar banget kalau diajak mikiran hal-hal beginian, kalau tugas kuliah, “Waduh.. udah mentok gak kuat lagi, pikiran ku terbatas.”

Sekarang aku baru sadar ternyata kami tersesat. Sama-sama masuk ke tempat gelap..Tapi mau gimana lagi pilihan udah dibuat. Konsekuensi harus ditanggung. Selamat menjadi sastrawan stress dan ahli bahasa yang ambruadul. Kapan ya bangsa ini bangkit dari keterpurukan? Wuedan mikiran bangsa, ngaca donk!

Anak-anak sastra selalu menenteng novel-novel dari Romanticism Era sampai Twenty Century dengan para pengarangnya sudah lebih dulu menghadap Ilahi, dan sekarang sedang berleha-leha diatas sana, menatap kami sambil mengatakan; “Makan tuh karyaku!”

Jangan kira itu bakal dibaca, paling cuma buat gaya aja biar dibilang anak Sastra Inggris. Sebua status sosial dikalangan mahasiswa yang sangat prestious. Kalau anak linguistic di tas nya penuh dengan buku-buku aneh.. Pragmatics, Sociolinguistics, Psycholinguistics, Second Language Acu…(aku lupa nulisnya kayak apa), trus buku-buku lain yang berasal dari planet sebrang sana. Dibaca kata pengantarnya aja, asap udah nyembul diubun-ubun trus urat-urat didahi berkerut sambil mata melotot trus pasti kata-kata keluar dari mulut:

“Ini makanan apaan sih kok belum pernah dengar ya?.” Buku-buku alien ini pun jangan pikir dibaca, paling buat menuh-menuhin tas. Kalau dikost-kost atau rumah, ada teman yang datang trus kekurangan bantal pasti dipake buat bantalan, besok kalau mau kuliah masukin ke tas lagi.

Selanjutnya kuliah menjadi rutinitas seperti biasa, bukan semakin pintar tapi semakin hancur. Siang yang sangat melelahkan, aku memutuskan untuk menemui dosen wali ku yang imut, terkenal penyabar dan baik hati, makhluk setengah malaikat (makhluk setengah dewi entar ada yang tersinggung, didemo lagi kayak Iwan Fals) Gak tau kenapa aku mau menemui dia padahal gak ada urusan. Berjalan pelan-pelan mendekati pintu kaca. Dibalik pintu ini our cute mom sedang menjalankan tugas-tugas nya sebagai pengajar, dosen wali, dan dekan. Tidak lupa aku mengetuk pintu. Begitu beliau melihat aku,

“Don, masuk aja!” Sambil kepalanya sedikit mengalihkan pandangan dari layar ajaib didepannya.

“Enggak ganggu ya..Bu?” He..he biasa basah basi. Kayaknya pertanyaan itu gak penting banget, kan udah di suruh masuk.

“Enggak kok, duduk aja.” Bu Heny berdiri dan menatapku. Wajahnya seperti orang patah semangat, sepertinya sayap-sayap indah dipunggungnya terluka dan kayaknya dia mau mengatakan sesuatu. Dan sebelum dia menginjak gas aku salip duluan,

“Ibu gak ngajar ya?” menatap dalam-dalam ke Bu Heny.

“Itu dia Don, yang mau aku ceritakan ke kamu.” Expresinya lepas seperti orang yang melepaskan karung beras dipundaknya. Dan meletakan diatas lantai.

“Maksudnya, bu?” Aku bingung

“Begini..aku itu sudah bete banget sama teman-teman kamu. Aku harus gimana coba? Aku sudah mengajar dengan semua kemampuanku. Tapi mereka itu gak ngerti-ngerti. Ini khusus untuk anak-anak Linguistik.” Kali ini aku sedikit tersenyum yang disebut Linguistik, bukan Sastra. Aman..aman. pikirku dalam hati. Walaupun faktanya gak jauh beda, toh dari awal, kita adalah makhluk yang tersesat. Tersesat dalam dua pilihan yang sama-sama berat. Ibarat disuruh nyebur ke kolam lumpur tempat nongkrong kerbau atau mandi air comberan. Kemudian si ibu melanjutkan.

“Kalau aku ngajar kelas Linguistik persis memasuki kuburan ditengah padang gurun. Suasana kelas sepi dari awal sampai akhir. Aku seperti ngomong sama kursi dan meja. Bukan gak ada orangnya? Ada penguninya disitu.tapi semuanya diam dari awal sampai akhir. Dan aku lihat wajah mereka itu seperti kebingungan, melongoh, ada beberapa yang mengangguk-angguk tapi itu tindakan yang misterius. Kalau aku keluar sebentar, waduh.. persis kayak ngelepas kerbau ditengah pasar, Ramee.” Wajah Bu Heny menggambarkan kelelahan sangat berat. Kali ini nurani kemanusian ku muncul, meskipun dalam hati aku cuma mengatakan; Kasihan Bu Heny harus menanggung penderitaan ini. Tapi gak apa-apa bu, masih berat Salibnya Yesus kok.

“Kalau di Sastra gimana, Don? Jangan-jangan sama juga” Bu Heny melontarkan pertanyaan yang gak ku duga sebelumnya. Mikir sebentar..Kalau aku bilang sama aja nanti Si Ibu tambah stress, kalau bilang gak baik-baik aja ya..bohong donk namanya. Tumben otak ku masih bisa berfikir tentang kebohongan. Kemudian otak ku mengembara mengingat kembli dan ketemu, ya.. kelas nya Pak Retang, Prose Analysis. Waktu itu kita gak mau keluar kelas meskipun jam nya udah berakhir alias dead kita tetap ngotot gara-gara ngedebat masalah konsep Ketuhanan. Ada dua kubu waktu itu para Theologist dipimpin Hino, calon frater (mau jadi pastor) dan Kaum Atheist, Agnostic dan Non-theist dipimpin Seto, calon Bhikku ( ada keinginan mau jadi Bhikku katanya) perdebatan itu sangat seru. Sampai Pak Retang harus angkat bicara:

“Cukup dulu! Diskusinya nanti kita sambung lagi di lain kesempatan.” Sambil melihat jam tangan yang sudah kelewatan 20 menit. Jadi dengan bangga aku mengatakan;

“Gak bu, kita itu kalau di kelas sering diskusi dan debat kok jadi kelas gak pernah sepi” Walaupun cuma kelas itu aja sih, tapi kan aku gak bohong.

“Oh gitu ya..” Bu Heny terseyum. Mungkin dia berfikir beban ku sedikit berkurang.


Tiba-tiba Bu Ike masuk, sudah bisa ditebak kalau melihat langkah kakinya yang tergesa-gesa sambil mengeser pintu, Krek.. kacamatanya sedikit miring kemudian dia menarik nafas dalam-dalam, pasti ada masalah yang sangat penting. Sambil menatap Bu Heny kemudian aku yang sedang duduk di depan meja Bu Heny. Dengan wajah give-up nya sambil mengeleng-geleng kepala.

“Aku harus melakukan apa lagi Bu? (Sambil melihat ke Bu Heny) Aku sudah kasih kesempatan biar mereka bisa nyontek atau nanya teman tapi tetap aja mereka gak melakukan, padahal aku lihat lembar jawaban mereka itu warnanya masih putih semua gak ada coretannya sama sekali.” Diam sebentar sambil menatap aku. Tentu saja gaya bercerita bu Ike sangat ekspresif dari Bu Heny, kedua tangannya bergerak bagai seorang dirijen yang sedang memimpin sebua konser spektakuler atau seorang pemimpin pemandu sorak yang terus mendukung para pamain idolnya di lapangan basket ball, Intonasi suaranya bergerak naik turun seperti tangga lagu musik complicated jazz dan mimik wajahnya seperti artis Meriam Belina dalam senetron “Cahaya” kemudian drama monolog ini pun berlanjut;

“Aku sudah gak ngawasin mereka lagi, aku sengaja duduk didepan sambil baca koran, dan muka ku sengaja ku tutup dengan koran. Tadinya aku pikir mungkin kepala ku masih kelihatan. Jadi korannya aku angkat lagi sampai aku kelelep dan aku yakin pasti kalau dari depan itu semua kepala ku tidak kelihatan sama sekali. Tapi..tetap saja lembar jawaban kosong melompong. Jadi dari pada Bete didalam aku keluar saja. Padahal ini sudah setengah jam.” Bu Ike berjalan menuju dispenser sambil meneguk cairan pelega dahaga.

“Itu Don, kenapa aku gak masuk kelas hari ini. Aku sudah capek..bete..dan give-up. Kamu dengar sendirikan ceritanya Bu Ike?.” Bu Heny meyakinkan aku. Dengan suaranya yang lembut.

“Iya, Bu..” Jawab ku seadaanya, dalam hati aku berbisik “Gila..parah juga ternyata.” Kali ini benar-benar tersesat. Pikiran ku mulai berpetualang siapa-siapa saja mahasiswa yang ada didalam kelas itu. Pertama tanpa di komando, sosok Giant Baby dari Pemalang muncul. Iya..bagaimana tampang manusia satu ini? Pasti dia gak bisa bergerak, semalam aja gak belajar katanya gak punya catatan. Apalagi makhluk andalanya seperti Mella, pujaan hatinya juga gak bisa jawab, pasti dia akan mengumpulkan lembar jawaban hanya bertuliskan nama dan judul mata kuliah. Sepanjang waktu dia pasti gelisah dan menunggu miracle. Kemudian ke Penggemar Maria Ozawa, Agung alias Apang, Makhluk yang pintar dan pantas untuk lahir di abad ini, tapi karena proses evolusi yang mengalami stagnansi sehingga struktur otaknya sering konslet. Dia pasti mengerutkan kening sambil cengar-cengir dan memegang kepalanya, mengacak-acak rambutnya dan mengelus-elus tompelnya.

Keributan menggemah sampai ke ruangan Bu Heny. Pasti kelasnya sudah selesai. Sudah diduga semua berteriak seperti pemandu sorak;

“Pasti kita dapat nilai A : Ambil lagi tahun depan!” Suara si Yudha terdengar menggemah. Emang kalau bersuara dia paling lantang, singkron dengan fisiknya. Aku memutuskan untuk keluar ruangan Bu Heny. Menemui Si Tompel

“Gimana bro berhasil?”

“(Nyengir dulu sambil geleng-geleng kepala) Berhasil apanya gak bisa jawab semua. Mau nyontek gak ada catatan nanya yang lain gak tahu semua ya udah terpaksa nomor satu sampai sepuluh mengarang indah.”

Benginilah sekelumit potret buram generasi bangsa ini..hiks..hiks..hikss… moga-moga adik angkatan kami gak seperti ini. Sehingga masa depan Faklutas Sastra dan negri ini sedikit bercahaya. He..he.. sok heroic pada hal sama aja udah punya gelar SS tapi bukan Sarjana Sastra tapi Sarjana Stress atau Sinting.