Entri Populer

Sabtu, 22 November 2008

Tuhan Dimanakah Kau?



Tuhan dimanakah Kau

Tuhan dimanakah Kau?

“Siapa lagi yang masih mempertanyakan tentang Tuhan?” Suara Pak Anton terdengar tegas dan lantang. Dosen yang miskin rambut ini sangat religus. Salah satu aktifitasnya adalah mengajar Bahasa Inggris di sebua biara tempat pendidikan para calon pastor. Selain itu aktifitas gereja adalah hal terpenting selain mengajar kami. Hal ini membuat ia sangat taat kepada ajaran kitab suci. Atau mungkin karena ketaatannya terhadap kitab suci yang membuat gaya hidupnya seperti ini? ah..gak pasti. Toh segala sesuatu membawa akibat dan sebab yang baru. Rupanya Vina barus saja di tembak habis-habisan sama si bapak.

“Seto pak!!” sambil menunjuk ke sosok yang baru saja muncul di ruangan dosen. Bisa ditebak, Seto kebingungan, gak tahu apa-apa langsung di tunjuk. Urat dahinya mengkerut dan..

“Ada apa toh?”

“Tuh, kamu dipanggil sama Pak Anton.” Vina tersenyum. Dalam hati dia pikir. Selamat menikmati perdebatan sama si bapak religius.

“Oh ternyata kamu juga.” Sambil geleng-geleng kepala.

“Silahkan duduk!”

Tanpa banyak bertanya Seto mengambil tempat duduk di depan si bapak. Wajahnya masih bingung. Dalam hati pasti ada yang gak beres ini. siap-siap aja. Tanpa ada basa-basi. Gaya dosen satu ini gak pernah berputar-putar tapi langsung pada pokok permasalahan.

“Kamu masih mencari Tuhan?” sambil memandang si tersangka di depannya lekat-lekat. Belum dijawab pertanyaan lanjutan muncul juga.

“Sudah kau temukan Tuhan ada dimana?”

Tanpa pikir panjang Seto langsung jawab.

“Belum Pak. Saya masih proses mencari.” Sedikit senyum. Pikir Seto ini pertanyan lucu. Tiba-tiba kok nanya beginian. Ah..paling juga si bapak ngelawak.

“Jadi kamu masih mencari? Tuhan itu gak perlu di cari. Kalau kamu bertanya secara logika tidak akan ketemu.. Jalankan saja perintah Tuhan maka hidupmu akan tenang. Tapi tentu saja perintah yang mengandung cintakasih.” Si bapak berceramah panjang lebar.

“Tapi ini kita bicara konsep pak, menurut saya Tuhan itu gak ada. Karena manusia yang menciptakan itu.” Bantah seto.

“Itu pendapat dari mana? Atau kamu jadi bagian dari kelompok atheis? Orang yang gak percaya sama Tuhan itu sama aja dengan manusia yang susah hidupnya. Karena dia ragu. Nah hal pertama itu kita harus percaya.

“Tapi kita tidak harus percaya membabi buta tanpa harus tahu, pak.” Seto gak mau nyerah begitu aja.

“Kalau dalam konteks iman kepada Tuhan itu wajib “yakin.” Kalau kita gak yakin sama aja kita ragu dengan keberadaan Tuhan, itu berarti gak jauh beda dengan orang-orang yang gak beragama, atau beragama tapi perilakunya gak manusiawi. Atau kamu jadi pegikut aliran kepercayaan baru?” Susah kalau bicara masalah Tuhan sama orang yang benar-benar “religius” apa pun pendapat mu bakal di mentahkan

“Gak, pak. Bukan itu persoalannya. Menurut saya konsep tentang ketuhaan itu justru membuat hidup orang beragama menjadi rancu. Selalu memuja Tuhan biar dapat pahala. Kan sama aja dengan nyogok pak. Baik-baikan sama orangnya biar entar kita minta bantuan apa aja dikasih. Terus kalau bencana alam, itu hukuman dari Tuhan. Katanya Tuhan maha pengampun kok manusia dihukum. Trus satu lagi pak, berperang untuk membela Tuhan. Kok bisa Tuhan maha kuasa kok harus dibela-belain. Itu konyol pak.” Rupanya Seto udah gak tahan lagi kemudian membalas tembakan.

“Nah kalau kamu melihat sisi itu. Itu manusianya bukan Tuhan. Banyak sekali orang yang merasa tangan kanan Tuhan. Ada nabi-nabi palsu, terus sekarang banyak teroris yang merasa membawa amanat Tuhan dengan membunuh manusia-manusia tidak berdosa. Itu sebenarnya sudah tercatat dalam alkitab. Ini gejala-gejala akhir zaman. Makanya untuk memperpanjang akhir zaman kita harus yakin akan kasih Tuhan dalam hidup kita.”

Sampai tahap ini Seto bingung. Kenapa jadi panjang lebar begini. Mana aku urusan sama alkitab cs apalagi tentang ramalan akhir zaman. Sadar gak bakal ada titik temu kali ini dia mau cari teman.

“Itu pak, Donatus juga.”

Aku yang duduk membelakangi mereka dari tadi sibuk dengan computer, sedikit siap-siap kalau si bapak melemparkan pertanyaan.

“Oh..jadi kamu juga, Don? Masih mencari Tuhan juga?”

Biasa nya manusia belajar dari pengalaman orang lain. Tanpa ragu lagi aku mulai berspekulasi.

“Kalau menurut saya Tuhan ada didalam hati pak gak perlu dicari diluar sana. Itu sama aja dengan memindahkan air laut ke dalam sebua lubang kecil.” Siap menunggu tanggapan. Meskipun aku paham apa maksud Seto. Mengingat si bapak make sudut pandang berbeda, maka aku banting setir ikut jalan si bapak

“Iya benar itu.”

Aku terseyum kecil melihat wajah Seto. Dalam hati dia pikir. Dasar pengkianat. Dia juga yang sering ngomong beginian. Bukannya bantuin jelasin. Malah nyari titik aman. Selanjutnya si bapak melanjutkan ceramah agamanya dan Seto diam mendengarkan.

“Bla..bla…bla…bla..and bla…bla.. Sekarang kamu paham?”

Gak perlu pikir panjang lagi, kan percuma juga kalau bantah. Dari pada pusing-pusing.

“Iya pak” Seto menanggapi kemudian meninggalkan ruangan.



Cikal bakal keresahan ini adalah munculnya kaum “Meragukan konsep Tuhan.” Aku sendiri bagian dari komunitas ini. Aku yang boleh dibilang sedikit murtad mencoba memahami agama dan ketuhanan menurut pikiranku. Pada dasarnya manusia adalah makluk social jadi dia butuh orang lain. Awalnya aku dan Seto sering diskusi tentang hal ini. Kemudian bertambah dan bertambah. Ternyata banyak anak-anak Sastra yang tertarik dengan diskusi seperti ini. Diam-diam Vina dan mahasiswa seangkatannya, Aku, Seto, dan teman-teman 2004 lain menambah suasana baru sebagai komunitas yang di cap kaum atheist.

Pada waktu itu, aku jadi anggota senat mahasiswa, tugas ku adalah menyerap aspirasi dari teman-teman mahasiswa. Dan tanpa ku duga aspirasi tertulis disitu seperti berikut;

“Buat Komunitas diskusi tentang Agama”

“Bikin UKM Spiritual dan Meditasi

“Ayo teman-teman kita bikin kelompok Yoga”

Dan ternyata ada yang lebih ekstrim lagi,

“Hidup kaum atheist! Mari kita bawah pencerahan bagi orang-orang yang berada dalam penjara iman yang membabi buta”

Kemudian ada juga lembaran kertas lainnya yang gak mau kala.

“Selamat kan mahasiswa Sastra dari kesesatan!”

“Wahai mahasiswa akhir zaman sudah dekat, sekarang banyak sekali pengikut Lucifer berkeliaran.”

“Teman-teman ku peliharalah imanmu!”

Disamping aspirasi lain tentang akademik dan sarana kuliah. Kelompok aspirasi ini cukup membuat ku diam sesaat. Gila..kayaknya ada perang dingin. Diam-diam kedua kubu bergentayangan. Kaum Theist sama Non-Theist lebih ekstrim atheist. Meskipun kami sendiri punya konsep sendiri Agnostic-humanitarian adalah pas buat kami. Dan parahnya lagi kami gak peduli tetap saja berjalan seperti apa adanya. Ya mau gabung silahkan, gak silahkan. Setiap manusia punya hak kok. Perang dingin tetap jalan. Tibalah kegerahan dari salah satu pihak, aku diundang dalam pertemuan secara empat mata,

“Don..kami dari Perkumpulan Doa, mau mengadakan kegiatan reat-reat, saya harap kamu sama teman-teman bisa ikut.” Wajahnya serius. Sepertinya ada persoalan berat. Pertemuan ini justru bagi dia adalah sebua perjuangan.

“Ya..kalau saya sih sepertinya gak bisa, tapi teman-teman lain mungkin bisa. Kenapa gak ditempelkan aja pengumumannya biar teman-teman tahu kalau ada kegiatan seperti ini?” Aku masih belum maksud dengan arah pembicaraan ini.

“Kita sudah pasang pengumuman kok..tapi sorry ya..”

“Maksudnya?”

“Kamu paham lah..kalau selama ini aktifitas berbau keagamaan kurang eksis di Sastra, jadi saya dan teman-teman mengharapkan peran serta kalian semua. Dan kamu cukup vocal di Sastra jadi saya mohon bantuannya untuk menggerakan anak-anak disini. Begitu maksudnya.” Sedikit tersenyum

“Kalau itu aku gak bisa jamin. Soalnya teman-teman punya pilihan sendiri.” Sebenarnya sih aku sungguh-sungguh gak tertarik dengan kegiatan semacam ini. Ini dipengaruhi dengan kemuakan yang muncul di otak ku.

“Selama ini saya tahu kok siapa kamu? Dan bagaimana pemikiran kamu? Khusunya tentang agama. Sampai-sampai teman-teman banyak yang ikut kamu. Makanya kamu yang harus saya ajak bicara.”

Waduh..kayaknya arah pembicaraan menuju pada kami kelompok kamu atheist. Dan sepertinya dalam pikiran mereka aku lah sumber persoalan ini. Cara berpolitik. Menemukan kepalanya terus pegang kalau kepalanya bisa digiring berarti bawah-bawahnya ikut juga. Tapi sayang aku punya prinsip.

“Maaf sebelumnya, aku merasa bahwa segala sesuatunya terjadi begitu saja. Aku sendiri gak punya pikiran untuk mempengaruhi teman-teman. Sebenarnya mereka selama ini merasakan hal yang sama. Kemuakan dengan ritual agama dan konsep ketuhanan yang rancu cuma mereka gak berani bicara. Nah begitu ada orang yang berani bersuara maka mereka semua merasa punya teman.”

“Ya mungkin seperti itu. Makanya saya mengharapkan peran serta kamu dan teman-teman. Gak perlu dijawab sekarang mungkin kesempatan lain. Terus terang saya mengharapkan kamu ikut kalau teman-teman lain belum sempat.. Toh Tuhan pasti tahu jalan yang terbaik.”

Aku hanya menganguk. Dalam hati, iya Tuhan lagi.. aku berusaha untuk membuat lawan bicara ku bisa mengerti.

“Ya..kalian juga harap bisa mengerti bahwa setiap orang punya fase masing-masing. Ini pun dalam hubungan dengan iman. Masing-masing orang punya pengalaman spiritual sendiri. Mungkin tahap seperti kami ini harus dilewati. Jadi gak usah kuatir.”

“Mudah-mudahan kembali kejalan yang sesungguhnya.” Senyum sedikit.

Ternyata dimata kelompok kaum agamis kami adalah orang-orang yang tersesat. Dan mereka mengharapkan kami untuk kembali kejalan yang benar.. Atau justru sebaliknya? Ah pahami sendiri lah!

Sementara mereka punya lentera Tuhan yang selalu menerangi jalan hidup dan menganggap kami gak punya. Padahal kami punya lampu senter yang kami bawa masing-masing untuk bisa menerangi jalan kami.

Semangat untuk terus mempertanyakan Tuhan sebagai esensi dan konsep serta tradisi agama membara dalam diri kami yang sudah dicap oleh teman-teman penganut setia agama tertentu sebagai kaum sesat. Dan tanpa diduga kami mengambil kelas yang sama. Cukup untuk membuat kami tersenyum dan berkata dalam hati

“Sepertinya ini kelas mengasykan”

Matakuliah AGAMA. Gak pernah kelas ini sepi. Bagaimana tidak mahasiswanya seperti kami. Dalam matakuliah ini ada dua kategori mahasiswa. Pertama, Ikut saja yang penting bisa lulus. Dalam kelas diam dan mendengarkan adalah cara terbaik sambil melihat jam trus berpikir kapan pulang ya? Kedua, mahasiswa yang bersemangat sekali gak pernah bolos, gak pernah terlambat, kerena ini adalah momentum untuk membantah sang dosen. Sepanjang jam kuliah gak pernah diam selalu menguasai keadaan. Dan kelompok kedua ini lah yang mendominasi kelas ini.

Sudah dapat dibayangkan dosen agama kami tercinta yang sehari-harinya mengajar agama di SMA-SMA elit di Kota Semarang sering diam. Sekali dia mengeluarkan pernyataan. Maka seperti bola tanggapan dan sanggahan dari kami membentur kesana kemari. Sampai sang pendidik ini diam sesaat untuk memikir kira-kira bicara apa. Karena setiap pernyataan akan membuka pertanyaan atau pernyataan baru yang berlawanan.

“Awalnya saya pikir kelas ini pasti seperti sebelumnya. Mahasiswanya hanya diam dan mencatat tapi ternyata saya keliru. Kalian semua kritis sekali. Sepertinya saya harus lebih mempersiapkan diri.” Si bapak yang dikategorikan sebagai dosen tamu ini berkomentar. Dalam hati, belum tahu dia..ini baru permulaan pak.. jadi silabus yang bapak pake hanya buat symbol saja. Karena kami akan selalu membawa topik-topik yang selama ini kami diskusikan diluar untuk mengharapkan tanggapan bapak. Maklum namanya juga mahasiswa. Idealismenya masih dipegang kuat, darah muda nya selalu mengelora. Tapi lain cerita kalau sudah gak mahasiswa lagi. Apalagi nyari uang susah ya..luntur juga idealismennya.

“Baiklah karena kalian kritis dalam hal ini maka saya berikan tugas untuk membuat makala tentang sekilas ajaran pokok agamanya masing-masing Dan jangan lupa minta tanggapan dari masing-masing tokoh agama.”

Tiba-tiba vina nyeletuk,

“Maksudnya agama yang di KTP, pak?”

“Kok begitu? Memang agama anda ada berapa?” Si Bapak bingung kok bisa muncul pertanyaan seperti ini.

“Justru itu pak..saya sendiri gak punya. Punyanya yang di KTP.”

“Oh kalau masalahnya begitu. Menurut kamu selama ini kamu menjalankan ajaran agama seperti apa itu yang kamu buat.” Si bapak memberikan tanggapan. Rupanya dia paham sedang menghadapi mahasiswa setengah atheist

“Kayaknya gak perlu pake tanggapan tokoh agama pak. Paling juga pendapat mereka sama.” Aku memberikan masukan.

“Iya pak” yang lain bersorak.

“Tidak bisa. Karena pendapat kalian itu harus didukung oleh tokoh masyarakat. Hal itu menunjukan kalau bisa dipertanggungjawabkan.”

Akhirnya kami sepakat ikut saja maksud sang bapak. Lagi-lagi teman-teman yang tergolong kaum abangan (agama hanya KTP) kebingungan. Tokoh siapa yang bisa dimintai komentar? Karena pasti kami akan memakni konsep Tuhan dan ajaran agama sesuai dengan pemahaman kami. Satu-satunya cara adalah mengarang sendiri nama dan tanggapan sang tokoh. Dan tibalah hari pengumpulan tugas.

“Donatus..Kesini sebentar.” Si bapak serius sekali membuka setiap lembar makala yang dipegang. Matanya melotot diatas frame kacamatanya. Karena kacamatanya sedikit diturunkan. Aku pun maju dengan percaya diri. Siap-siap..

“Ada apa pak?”

“Kamu..buat tentang Agama Buddha..Memang agama kamu Buddha toh? bukan Katolik?”

Diam sesaat..berfikir kira-kira kata-kata apa yang bisa diucapkan.

“Secara turun temurun Katolik pak Tapi saya tertarik dengan Ajaran Buddha.”

“Kenapa kamu tidak bahas tentang Katolik saja?”

“Tadinya saya mau bahas tentang Katolik tapi saya pikir bapak juga Katolik banyak teman-teman disini bakal bahasa Katolik jadi saya bahas Ajaran Buddha saja. Toh ini bisa jadi materi yang menarik” Aku sedikit berspekulasi. Menunggu tanggapan dari si bapak.

Sambil melihat-lihat makala ku dan mengangguk-nganguk, “Bagus..ternyata kamu tahu banyak tentang ajaran Buddha. Kamu punya buku? Ya..yang dasar-dasar saja tentang Ajaran Buddha.” Menatap ku yang duduk di depannya.

“Oh.gak banyak pak saya juga masih belajar kok. Kalau masalah buku nanti saya bawakan, pak” Senyum sedikit

“Silahkan kembali ke tempat duduk anda!”

“Terimakasih pak.”

.Kemudian seperti biasa kelas ini menjadi kelas yang penuh dengan perdebatan. Dan ujian akhir. Kami tergolong kaum Atheist dan setengah atheist ternyata dapat nilai A. kemudian sambil menikmati nilai yang memuaskan ini, Vina mendekati;

“Don tahu gak kenapa kok kita dapat A padahal kita selalu bantah dengan perkataan bapak agama?”

“Gak tahu”

“Karena kalau dia ngasih kita B atau C kita bakalan ngulang dan itu bikin dia tambah pusing. Makanya dia ngasih A biar kita gak ngambil lagi kan dia bisa bebas.”

“Masuk akal juga sih.”



Lagi-lagi Seto terlibat dengan perdebatan tentang Tuhan. Gara-gara di lembar ucapan terimakasih bendel skripsinya bukannya kata ‘Yesus’ duluan yang ditulis, Justru ‘Buddha Gautama’. Kali ini Bu Rosa yang satu perguruan dengan Pak Anton alias dosen agamais merasa ada yang gak beres. Maklum si ibu gak tahu kalau Seto bagian dari komunitas setengah atheist. Sebenarnya mereka berdialog pake Bahasa Inggris, tapi dari pada diterjemahkan lagi pake Bahasa Indonesia saja.

“Seto..kenapa kamu justru menulis nama Yesus dibelakang?”

“Menurut saya Yesus dan Buddha Gautama adalah guru saya.”

“Tapi seharusnya kamu tulis Yesus duluan kerena dia itu Tuhan tidak sekedar guru. Posisi itu yang membedakan dia dari yang lain.”

Gawat… Seto harus siap-siap lagi. Rupanya si ibu serius omongin masalah ini. Padahal perasaan gak ada hubunganya sama ujian skripsi deh.. tapi ya sudah. Api sudah dinyalakan, layani saja.

“Kalau dalam padangan saya bu, Buddha Gautama merupakan sosok yang patut saya ucapkan terimakasih kerena ajarannya telah mengubah hidup saya menjadi lebih baik. Kemudian Yesus dengan ajaran cinta kasihnya, sosok yang membuatku lebih peduli dengan orang lain.. keduanya adalah guru tidak lebih dan sama.”

“Seto, kamu harus tahu Yesus itu Tuhan..”

“Sepertinya kita punya sudut pandang yang berbeda bu, saya tidak bisa memaksakan konsep saya ke ibu atau sebaliknya.”

“Ini hanya masukan Seto”

“Baik bu, terimakasih atas masukannya.”






1 komentar:

Anonim mengatakan...

uhaahahha, maknyus ceritane

maen ke blogku lah

http://kebhoganteng.wordpress.com
http://kebho-doohan.blogspot.com