Entri Populer

Selasa, 21 Oktober 2008

Si Ganteng vs Sepatu Buntut


Si Ganteng vs Sepatu Buntut

Suatu kebiasaan bagi kami untuk nongkrong di selasar Fakultas, belakang Patung Bapak Soegijapranata. Tempat ini sangat efektif. Alasananya; bisa melihat kebawa dengan leluasa. Tangga-tangga tersusun rapi kebawa. Sehingga kalau kami naik menuju ke fakultas serasa seperti menaiki podium laksana Barack Obama yang sedang menaiki panggung dan memberikan pidato andalannya sementara dibawa semua simpatisan berteriak histeris, menuggu sang idola berdeklamasi. Kira-kira begitu.. Terus terang kami sangat bangga dengan letak Fakultas Sastra. Di tambah Patung Pak Soegijapranata berdiri di tengah-tengah tangga naik menambah kesan elegan atau anggun.
Sebelum pulang kami menghabiskan waktu disini sekedar merenggangkan saraf-saraf, bercerita tentang hal-hal yang penting sampai hal-hal yang gak penting. Tiba-tiba suasana diam, di antara mahasiswi seperti Deedee, (aku naksir dengan badannya proposional gitu, tapi kalau muka nanti dulu deh..) Metta (kalau yang ini.. Wow.. kata si Seto sanguhne akeh alias banyak bekalnya, silakan terjemahkan sendiri). Dan teman-teman mahasiswi lainya, mata mereka memandang di belakang ku. Aku curiga sepertinya ada obyek yang menarik. Sampai-sampai wajah para mahasiswi ini begitu terpesona. Mata melotot, mulut setengah terbuka kedua tangan menempel dipipi dan berbisik-bisik. Gak jelas apa yang mereka omongin. Terpaksa ku balik belakang kerena penasaran. Dan…
“Hello, Good Afternoon” Senyum khas nangkring di bibirnya.
Seperti di komando gaya militer, mereka semua bersorak,
“Good afternoon, Sir?” tentu saja wajah mereka masih melongoh. Mengikuti sosok yang lewat begitu saja dan menghilang menuju ke sarangnya. Dan.. Tidak peduli dengan topik sebelumnya. Tanpa persetujuan kami, para kaum hawa ini asyik sendiri dengan reaksi kimia yang timbul akibat dari efek indra penglihatan.
Dengan menepuk-nepuk pipi Si Deedee bereaksi,
“Aduh gantengnya.. Pak Adhy kau memang ganteng” Di tambah ekspresi tambahan seperti mata kelilipan mengedip-ngedip dan bibir atas dan bawa di kulum-kulum. Dan…ekspresi kaum hawa superaktif ini pun berlanjut., sekarang topik mereka adalah Pak Adhy. Sampe disini aku pikir Pak Adhy punya bakat untuk jadi Hypnotist. Bagaimana tidak, hanya denagn sedikit senyum saja, para mahasiswi ini melemah kesadaranya tanpa harus beraksi layaknya Tommy Rafael atau Deddy Cobuzer. Selanjutnya, teman-teman mahasiswi ini membentuk forum diskusi sendiri layaknya mahasiswa yang sedang mengatur strategi untuk demo di Gubernuran, minta turunkan harga BBM atau demo dikampus minta turun biaya SKS.
“Ganteng ih..”
“Tapi sayang sudah punya istri.”
“Gak apa-apa aku mau kok jadi simpanannya.”
“Em..kencan sama dia sejam aja, rasanya fantastik..”
“Yang penting ada pemandangan di Sastra dari pada gak. Habis gak ada yang ganteng sih di Sastra..”Sambil merapatkan gigi dan meremas-remas jari para perempuan yang habis kena anak panah Dewa Aphrodite ini asyik dengan obyek barunya.

Aku mulai menyimpulkan bahwa; ternyata Perempuan dan laki-laki di Fakultas ini sama saja dalam hal menikmati objek lawan jenis (tentu saja ada pengecualian buat Tedjo) kalau ekspresi anak laki-laki 2004 melihat Veby, Sherly, dan kawan-kawan.
“Wuedan ayu nee.” Terus mulai spesifik
“Badannya mantap ya..Yahut” Semakin spesifik lagi
“Bokong e.. ndes.. wuhui..siiip..” Semakin ..semakin spesifik lagi (silakan terusin sendiri, entar cerita ini dianggap cerita porno, bisa-bisa di gebukin sama FPI dan kawan-kawan kayak kasus Playboy Magazine).

Pak Adhy..ya.. Dosen dengan penampilan selalu rapi, tinggi standart, badan gagah didukung dengan muka tampan. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya, kalau berpapasan dengan siapapun. Kalau marah expresinya tidak seekspresif Bu Ike atau Bu Ninik. Tatap matanya tidak setajam Bu Wur. Kalau bicara kata-katanya dirangkai dengan halus dengan intonasi nada yang mantap tapi cukup untuk menghantam ke ulu hati. Bapak satu ini layak dijuliki: “Dosen Aristokrat.” Bapak tampan ini (versinya mahasiswi) adalah dosen kami para mahasiswa dan mahasiswi jurusan Sastra (Literature). Kami akan selalu bertemu dengan beliau. Sekarang aku baru sadar kenapa para mahasiswi ini selalu hadir kalau mata kuliahnya Pak Adhy, ternyata mereka datang khusus untuk menikmati drama monolog yang dipentaskan. Gak peduli mengerti atau tidak apa yang dibicarakan.
Suatu kewajiban untuk mengambil matakuliah aneh ini; “Critical Theory” pertama kali dengar istilah ini. Wajah merenggut, trus dahi berkerut, trus tangan garuk-garuk kepala. Kira-kira apa ya.. yang akan dipelajari nanti?

“Em..kita lihat saja..” Pikir ku dalam hati. Nolak gak mungkin ini sudah jadi kewajiban kalau mau ngedapat ada singkatan SS dibelakang nama sendiri ya..harus ambil.
Hari pertama menyantap menu aneh ini. Semua mahasiswa Sastra lengkap hadir alias gak ada yang bolos. Dan di depan sudah berdiri Si bapak tampan, dengan senyum khasnya. Penjelasan dimulai. Dan aku mengakui benar-benar dosen satu ini sangat elegant tidak hanya secara fisik tapi intelek juga. Sampai-sampai saking high classnya Bahasa Inggris yang dipake, aku gak ngerti sama sekali. Aku hanya bisa nggaruk-nggaruk kepala sambil nyegir kesamping. Mastiin apakah di samping ku paham juga. Kebetulan yang duduk di sampingku adalah Andhini.
“Aku juga gak ngerti Don, Pak Adhy ngomong apaan.”
“Tapi kok kelihatan kamu serius amat?” Aku penasaran.
“He..he..habis Pak Adhy tampan sih. Apalagi kalau dilagi ngomong sexy banget.” Matanya melotot kedepan sambil kedua tangannya menahan dagunya posisi siku menumpuk pada kursi. “Dasar.. Perempuan..bukannya mikirin penjelasan malah menikmati Pak Adhy. Aku tidak putus asa mencari pendukung. Pada tahap ini jika seorang berada dalam ketidakmampuan maka dia akan mencari pendukung untuk sama-sama menderita dalam ketidaktahuan. aku balik belakang, disana si Hino sedang berpusing-pusing ria. Kacamatanya sudah mulai digerak-gerakin keatas dan kebawa. Tanpa kuduga di mendekatkan kepalanya dan berbisik;
“Kamu ngerti, Don apa yang dijelasin Pak Adhy?” Wajah si calon frater ini sangat serius ini sudah jadi karakternya.

“He..he..gak” Kayaknya cukup untuk membuktikan bahwa sejak dari tadi kami yang duduk dibarisan sebelah kanan gak ngerti ide pokok yang keluar dari mulut Pak Adhy dengan perantaraan bahasa yang sangat halus sampai gak bisa dideteksi. Di satu sisi teman-teman lain di barisan sebrang sana sangat berusaha untuk memahami. Aku tidak menyerah. Aksi pertama Keep concentration, kedua pusatkan kesadaran pada indra pendengaran; istilah-istilah seperti; Post modernism, post colonialism, structuralism, deconstruction itu yang bisa ku tangkap. Sisanya? Gone with the wind.
“Gila..gila..itu Bahasa Inggris dari daerah mana ya?” Suara hatiku merintih. Cukup sudah aku gak bisa nangkap. Mendingan aku disuruh menangkap belut disawah dari pada menangkap omongannya Pak Adhy. Sangat licin. Tentu saja hal ini juga disebabkan oleh tingkat kecerdasan atau IQ. Dan..

Sepertinya Pak Adhy sadar kalau sorot mata dan gerak-gerik wajah para mahasiswanya hanya kamuflase. Pertanyaan meluncur:
“Do you understand?” Keningnya sedikit berkerut.
Serampak kami bersorak:
“No, sir!” Sambil cengar-cengir (menertawakan ketidakmampuan kami).
Si Tampan diam. Mungkin dia berfikir, ternyata saya omong dari tadi sampai air liur ditelan berkali-kali gak ada yang ngerti. Padahal sudah 30 menit berlalu. Akhirnya beliau memutuskan untuk memakai Bahasa Indonesia. Beban sedikit berkurang meskipun sari pati dari pembahasan ini cukup berat; pemikiran Derida dan kawan-kawan sebagai alat untuk mengkritik karya sastra. Ternyata selanjutnya urat-urat di kening masih belepotan tak karuan sampai kelas sophisticated ini pun berakhir. Sudah dibayangkan eksprsi para mahasiswa calon sastrawan ini. Menarik nafas dalam-dalam dan menghebuskannya. Akhirnya berakhir juga kami bermukim di negri para Dewa yang memusingkan ini.

Rupanya beberapa dari kami masih penasaran. Pak Adhy terpaksa buka kelas tambahan diluar. Si Hino secapat kilat menghampiri dan terpaksa dosen aristocrat ini nongkrong di tangga, ala Socrates memberikan penjelasan dengan bahasa yang lebih sederhana kepada murid-muridnya.
Kembali ke sepatu buntut, Pagi yang indah tetapi tetap saja kelabu. Harus bangun pagi. Kali ini adalah ujian. Bangku kelas sudah diatur sedemikian rupa dengan jarak yang agak jauh untuk menghindari kecurangan. Tahu sendiri kalau kepepet cara apapun ditempuh. Kali ini perjuangan yang cukup untuk mengasah nalar dan nurani. Pertarungan nasib siap dimulai. Pak Adhy sudah siap dengan tumpukan soal di tangannya. Tanpa komando, kami mengambil tempat duduk. Untuk menentukan posisi duduk ada beberapa syarat: pertama Ada siapa disamping kiri, kanan, depan, dan belakang yang bisa diandalkan. Kedua, apakah tempat duduk itu cukup aman untuk membuka catatan, contekan, celipan, atau kitab-kitab lainya, jika syarat pertama gagal. Ketiga bagi yang yakin bahwa dewi fortuna berpihak kepadanya, duduk dimana saja tidak jadi masalah. Dengan perhitungan tepat ala Suhu Feng-Sui atau Paranormal spesialis arsitek sebelum mendirikan bangunan atau mengatur ruangan agar “Chi” yang masuk adalah positif dan mendatangkan rejeki bagi penghuninya, kami pun duduk. Tibalah pertempuran itu.
Aku sibuk bercengerama dengan otak ku, mengingat kembali apa yang sudah dipelajari. Si Tampan masih berdiri didepan kelas. Sorot matanya memandang satu persatu mahasiswa yang ada diruangan kelas. Aku tidak peduli, kali ini soal yang ada di depan ku jauh lebih menarik bagiku.

Tiba-tiba Pak Adhy menghampiriku dan meletakan sepotong kertas yang sisi sebelah atasnya masih berwarna putih tepat disamping lembar jawaban ku. Aku menatap kertas itu dengan kening sedikit berkerut. Kira-kira apa ya? He..he.. otak ku menduga. Biasa manusia mau nya mental enak, jangan-jangan dibalik ini jawaban? Ah gak mungkin, mana ada dosen yang menulis jawaban buat mahasiswanya. Kalau pun mau pasti dia cuma ngasi bocoran soal. Tapi itu bukan tipe dosen sastra banget. Apalagi si ganteng ini. Atau mungkin ada pesan rahasia, perasaan aku bukan anggota Badan Intelejen Nasional. Ah.. buka aja dari pada penasaran. Sebelumnya ku palingkan muka ku menatap ke wajah sosok yang tepat berdiri disamping ku. Sudah dipastikan, beliau tersenyum, tapi aneh senyumnya kali ini penuh misteri (sedikit sindiran begitu). Tanpa menunggu waktu ku buka dan.. aku kaget dan tersipu malu. Disitu tertulis:

“YOU LOOK HANDSOME IF WEAR SHOES!” Kalimat yang cukup jelas dan tidak ada hubungannya dengan soal-soal itu maupun kepentingan darurat lainya. Tentu saja aku mau mencari supporter, mata ku berkelana ke setiap kaki yang ada dibawa kursi, Sial..teman-teman semua pake sepatu. Berarti cuma aku saja yang pake sandal jepit., kok kompak ya mereka?..Mikir sebentar. Hem..Untuk kelas Pak Adhy ada dua aturan yang gak bisa diganggu gugat: Pertama, pakai sepatu meskipun sepatunya jelek. Kedua, pake kemeja atau baju berkerah walaupun cuma punya satu potong. Aku berjanji pada diriku sendiri, setiap pelajarannya dia tidak ada lagi acara lupa pake sepatu.

Aku menulis satu kata pada jadwal mata kuliah Pak Adhy; “Sepatu” itu adalah satu-satunya cara untuk membuat kesadaranku berfungsi sebagaimana mestinya. Sepatu ku cuma ada satu pasang. Itu pun pemberian teman, warna hitam merek spotec dengan bahan dasar kain yang sebelah kiri sudah ada sobekan bagian atas sehingga spongs nogol ke ata seperti lidah anjing yang sedang kelelahan. Sejak saat itu ketika nama Pak Adhy terdengar bayangan yang timbul di pikiran ku adalah sepatu buntut ku.. he..he.. padahal teman-teman mahasiswi akan membayangkan sosok seperti: Brad Pitt, Leonardo de Caprio, Anjasmara, dan kawan-kawan. Pokoknya bayangan yang membuat mereka dag..dig..dug.. dan melayang-layang ke negri antabranta, hayalan mereka.