Entri Populer

Rabu, 18 Juni 2008

muri record

Dandang

Dandang
Oleh Donatus

Langit sangat cerah..sedikit awan putih menempel begitu saja bak selendang putih menutup seadanya tubuh gadis mudah..padahal sebelumnya awan hitam membungkus rapi langit biru. Sayup-sayup terdengar kelakar ibu-ibu dari sebua rumah dekat kali mati pinggir desa.. hari ini suasana Desa Ile Beleng begitu ramai. Tidak biasanya sepi hanya suara anak kecil berlarian main ban. Hari kamis adalah Hari Pasar jadi susananya lebih meriah dari Hari Minggu.. para aparat Desa sibuk rapat di balaii desa..membahas tentang rencana pembangunan desa.. bapak-bapak dan pemuda sibuk menjual hasil kebun, mete, Kemiri, dan kopra.. Banyak truk dan mobil pick-up lalu lalang membeli hasil kebun. kalau hari lain pusat kegiatan di ladang dan kebun masing-masing. Sekarang desa jadi sentral aktifitas.. para ibu membuat perkumpulan tenun ikat dan Hari Kamis adalah saatnya untuk melakukan tenun ikat.. ada sekitar 10 ibu-ibu asik dengan aktifitas mereka.. mengatur benang, membuat pola, melepaskan simpul, mewarnai benang..
“Apa ya nama untuk perkumpulan kita ini?” Seorang ibu muda melontarkan pertanyaan.
“Kita kasih nama PTI.” Ibu yang lain menanggapi..
Yang lain kebingungan dengan singkatan ini.. Memang ibu Susan suka dengan singkatan.
“Aduh..Kalian ini masa tidak tau..Perkumpulan Tenun Ikat.”
“Susan..itu semua orang juga tau kalau perkumpulan kita ini untuk tenun ikat…maksud kita namanya?”
“Oh saya dapat.. Perkumpulan Tenun Ikat MM.” Ibu Susan tak mau kala.
“apa lagi itu?”
“Maju Mundur..he…he.. bagaimana stuju?
“Ha…ha…. Kita setuju kalau semua anggotanya seperti kamu datangnya Cuma dua minggu sekali …dan datangnya terlambat pulangnya awal.. jadi tidak menghasilkan apa..jadinya mundur.” Ibu Oreng meledek
“Ah..kalian itu…(diam) sibuk dengan menggulung benang.
“kita lihat saja nanti sebentar lagi dia pulang dan benangnya pasti tidak habis digulung.”
“Aduh.. ibu-ibu saya ini lagi sibuk mengurus pembuatan rumah jadi mengertilah.” Yang disindir cuek aja.. memang ibu Susan ini orang yang cuek berani, juga nekat.. dua bulan yang lalu suaminya harus menginap semalam di penjara.. gara-gara di lapor polisi. Tuduhan Suaminya main judi.. dan tidak menafkai dia dan anak-anak.. maklum Ibu Susan ini pernah hidup di kota jadi jiwa emansipasinya begitu berkobar.. tidak peduli suami kek..siapa kek.. Sang suami termasuk anggota ISTI jadi ikut saja. Diintograsi sama polisi kayak tukang curi ayam saja.. dia tidak pernah hormat sama suami.. kalau suaminya lama bertandan ke rumah warga lain. Dia langsung teriak-teriak bikin geger seluruh warga dusun.
“Oh.. saya ada ide kita kasih nama… PIIS.” Sepertinya Ibu Susan belum putus asa juga. Dia selalu kasi singkatan. Rupanya waktu sekolah di SD di dapat nilai seratus untuk pelajaran membuat singkatan.
“Apa lagi Susan.. yang serius.” Ibu ketua buka mulut.
“Ini juga serius Bu Ketu.. kepanjangannya.. Perkumpulan Ibu-ibu Subur.”
“ha….hua…..ha….” semua serempak terbahak-bahak. Suara menggemah keluar dari dinding-diinding keneka.
“Susan..Susan kamu tidak sadar.. ha…ha..ha....kamu itu kategori Ibu tidak subur..berarti kamu tidak perlu ikut perkumpulan ini.”
“Siapa bilang..Lihat masih muda begini di bilang tidak subur..” Ibu Susan berdiri dan melekak lekuk tubuhnya yang gembrot..
“Buktinya anak mu cuma satu saja…”
“itu karena suami saya itu yang tidak mau diajak begituan…”
“Habis kamu terlalu beringas jadi dia takut.”
Ha…..ha….ha,….ha….
Tiba-tiba….
“Ema…ema… dandang..ada orang jual dandang…” bocah kecil berumur tiga tahun itu lari ketakuan masuk rumah. Raut mukanya seperti dekejar anjing pemburuh.
“Mana...?” Si ibu penasaran.
“Itu tadi.. dijalan besar dekat rumah kita.”
Suasana menjadi hening sesaat. Sepertinya semua telinga lebih tertarik dengan cerita bocah ini.
“Boy.. disana ada anak-anak lain tidak?” Ibu ketua merasa perlu bertanya.
Boy menghela nafas.. “Tadi ada banyak tapi sekarang sudah lari semua. Takut ditangkap sama penjual dandang.”
Semua kelisa.
“Anakku mana ya?..kamu lihat Anton tidak boy?..
“Argo kemana..?”
“Aduh bagaimana ini?”
Susana jadi resah.. kata-kata “Penjual dandang” punya makna yang lebih.. menyangkut ada dan tidaknya anak-anak mereka.
“Sudah.. ibu-ibu jangan pada gelisah begitu.. kita harus tenang tidak akan terjadi apa!” Ibu ketua menenangkan anggotanya. Waibawanya sebagai istri mantan Kepala Desa cukup punya pengaruh.
“Apa lagi sekarang ini di desa banyak warga.. orang itu kalau mau culik anak-anak kita tetap harus berfikir dua kali.”
“Kemarin ada kabar kalau di Maumere ada dua orang penjual dandang yang ditangkap warga. Didalamnya ada kepala anak kecil. Dan kedua orang itu dipukul sama warga hampir mati.” Ibu Oreng angkat bicara.
“Dengar-dengar itu hanya kabar angin… kemarin Ligi ke Maumere katanya tidak ada apa-apa mereka sampai bertanya sama orang-orang dipinggir jalan.”
“Mungkin saja mereka menutup-nutupi..kita juga tidak tahu.”
“Ya..sudalah ibu-ibu.. yang penting sekarang kita harus hati-hati dengan anak-anak kita.”
Entah darimana awal mula isu ini. Menurut kabar yang beredar Lubang Lumpur Lapindo membutuhkan tumbal kepala anak kecil sebanyak empat ribu kepala. Ada juga yang bilang enam ribu kepala tidak pasti.. yang jelas akhir-akhir ini warga dibuat kalang kabut, resah dan tidak bebas meninggalkan anak-anak mereka. Isu itu merayap kemana-mana bahkan kaum terpelajar tokoh masyarakatpun ikut-ikut percaya begitu saja.
Setalah selesai rapat Desa para bapak-bapak mulai melemaskan pikiran mereka dengan mengangkat isu ini.
“Kenapa mereka cari anak-anak dari Flores bukankah di Jawa banyak anak gelandangan. Diculik sajakan bisa?” penasaran dengan kejanggalan penculikan anak-anak Pak Raga berkomentar.
“ Iya.. biar mujarap harus anak-anak dari luar Pulau Jawa. Sebenarnya tidak hanya di Flores aksi cari kepala ini… di Kalimantan juga..kalau di Jawa tidak mujarap.” Tuan tanah yang sehari-hari sibuk dengan ritual adat. Tugasnya memotong kepala bintang rupanya dia tahu apa khasiat kepala manusia.. Lumpur yang meleleh bisa berhenti dengan membuang kepala manusia kedalam lubang utama..bisa diterima hal ini.
“Sesuatu yang tidak masuk akal..sekarang zaman sudah maju teknologii berkembang tapi masaa.. masih ada kepercayaan seperti itu. Kalau menurut saya kalau ada anak-anak yang hilang itu bukan buat tumbal tapi di jual untuk dijadikan pekerja anak.. bagaimana menurutmu Opu?”
“Selama saya berada di Jawa tidak ada sama sekali isu seperti itu..dan pas kebetulan saya lewat didekat lubang itu juga saya tidak melihat ada orang yang membuang kepala manusia.. benar saya sependapat dengan OPu Adrian..” komentar Niko yang masih tercatat sebagi salah satu mahasiswa S1 di Surabaya.
Adrian memang orang yang berwawasan luas walaupun tinggal di Desa terpencil tapii dia suka dengar radio dan sekali-kali nonton TV di rumah Bapak Kepala Sekolah. Dia terkenal kritis dan oranng yang sangat logis. Di usianya yang hampir lima puluh tahun dia belum menikah.. sementara banyak anak-anak baru lulus SD atau SMP tidak tamat hamil atau menghamili anak orang terpaksa harus berumah tangga. Memang kalau di Desa hiburannya cuma hal..hal gituan (sex)
“Tidak mungkin mereka mau mengumumkan… itu rahasia supaya mereka bisa dapat korban.” Bapak tuan tanah masih mempertahankan argumennya.. dia melanjutkan.
“ Kemarin ada keponakan saya telpon dari Malang katanya suruh jaga anak kecil.. ditempat mereka sudah banyak anak yang hilang”
“Itu buat tumbal juga pak?”
“Iya…”
“Bukannya harus dicari dari luar Pulau Jawa? Malang itukan masih di Jawa Timur.” Niko menanggapi. Sesuatu yang irasional hari begini..masih cari kepala anak kecil buat tumbal.. solusi macam apa ini? Ini bukan berita yang tepat .pasti ada orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang menyebar isu ini. Sengaja membuat kekacaun di desa ini dan sekitarnya.
“Pokoknya kita harus menjaga anak-anak kita..bapak desa mungkin bisa memberikan pengumuman agar bisa berhati-hati.” Bapak Desa hanya mengangguk-ngangguk saja. Dia tidak mungkin bersikap serampangan, tapi juga tidak diam. Masalah ini sepertinya sudah jadi ritual tahunan. Isu “perampok” demikian masyarakat menyebutnya.
Niko tidak banyak bicara..tidak bisa memberikan pengertian kepada orang-orang desa. Mereka sudah diprofokasi dengan isu-isu yang tak ada juntrungannya. Sampai-sampai di desa tetangga setiap malam para laki-laki dengan senjata tombak, busur, dan panah, meronda.
“Menurut Opu bagaimana?”
“Kalau saya itu ada muatan banyak kepentingan bisa saja sekarang lagi menjelang PILKADA kesempatan pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan… ISu seperti ini bukan baru..setiap tahun ada..walaupun berbeda. Kalau biasanya perampok yang katanya sembunyi-sembunyi di tepi desa.. sekarang lebih modern katanya bawa pick-up terus kalau lihat anak kecil dikasih permen, kemudian di bius.. nah sekarang beda lagi dengan sarana “Menjual Dandang.” Kita lihat saja kapan rumor ini berakhir.
Banyak cerita mulai beredar.. dengan berbagai versi tentu saja isu nya tentang penculikan anak kecil, penemuan mayat tanpa kepala..yang semuanya diterima begitu saja oleh warga desa ini dan sekitarnya.. minimnya akses informasi.. seperti TV dan Koran didukung pendidikan yang kurang gampang sekali membuat suasana jadi tidak tenteram. Dan saat sore menjelang…
“Dandang…dandang……dandang….” Seorang laki-laki setengah baya memikul barang dagangannya. Berharap ada yang bisa membeli dandang. Tak ada yang mendekat. Anak-anak kecil yang sedang main di halaman rumah semuanya lari tanpa dikomando masuk rumah dan menutup pintu. Para bapak-bapak hanya melihat dari jauh.
“Dandang bu..dandang bu…” tidak ada yang mengubris. Kenapa semuaya terasa aneh. Sudah dua desa ini aku jajakan barang daganganku tapi sikap warga seperti ini. Ada yang aneh.. dan tidak beres ini.. dengan wajah tenang dia berusaha menyapa ibu-ibu yang ditemui. Semua menatap dengan was-was.. senyum terpaksa tergambar kaku di wajah-wajah ini… ini pasti ulah anak buahnya Warto ini. Biar dandang saya dan teman-teman tidak laku. Mereka pasti menyebarkan isu yang tidak-tidak ini. Aku harus menghadap bos ini.