Entri Populer

Selasa, 07 Oktober 2008

Negri Utopia


Negri Utopia

By; Donatus

Setiap wajah yang menatap tak menghadirkan senyum sedikit pun. Aku seperti makhluk kutukan yang menyeramkan. Tak pantas untuk hadir bahkan sekedar untuk numpang bernafas. Ada apa dengan tempat ini? Aku tidak salah, tempat ini pernah menjadi saksi atas kehidupanku. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang kujumpai. Kususuri lorong kecil. Sampah berserahkan, bau selokan sangat menyengat. Segerombolan tikus berlarian sementara disisi lain tempat sampah yang sudah reot terpelanting memuntahkan isinya. Tikus yang didalam berlarian keluar dan berusaha mengusir tikus-tikus kecil disekitarnya. Baginya mereka tak pantas untuk ada disitu. Ini area miliknya. Tak peduli dengan kemarahan tikus besar. Mereka berlompatan mengajak-acak sampah yang berserahkan, sesekali bersembunyi karena ada manusia yang lewat. Kehadiran manusia sangat membahayakan. Mereka bisa saja dimusnahkan. Dan bisa saja mereka diangkut bersama sampah kemudian dibuang kearea yang gersang. Tapi akhir-akhir ini ketakutan mereka sepertinya tidak perlu terjadi. Seiring dengan kepergian pahlawan pembuang sampah, mereka bebas melahap setiap sisa sisa makanan yang dibuang. Penduduk di daerah ini tidak mampu lagi membayar orang untuk membersihkan sampah-sampah. Atau mereka tidak peduli. Bahkan membeli tong sampah yang baru mereka tidak mampu. Tidak ada lagi orang seperti Mang Kardi. Tidak peduli bayarannya harus nunggak berbulan-bulan. Membuang sampah merupakan amanah yang harus diemban. Dia selalu menikmati hidupnya. Meskipun orang-orang slalu menutup hidung mereka disaat dia lewat membawa gerobak sampah. Tetangga dekatnya selalu menyarankan dia untuk berhenti.

Kakek sudah tua istirahat saja!”

Aku tidak akan pernah berhenti sampai Yang Kuasa menganggapku layak untuk beristirahat selamanya.”

Tapi ke... kalau terus mendorong gerobak ini. Kakek bisa sakit”

Kakek paham dengan tubuh kakek. Kalau bukan kakek yang melakukan siapa lagi? Ini amanah. Menikmati setiap pekerjaan itu makna dari kehidupan.” Demikian Mang Kardi selalu menanggapi opini orang-orang disekitarnya. Dan sekarang Sang Kuasa sudah memutuskan untuk mempensiunkan sang pejuang untuk selamanya.

Desas desus yang terdengar, Mang Kardi adalah seorang pejuang. Dia selalu menceritakan ke orang-orang tentang perjuangannya dulu melawan kaum penjajah. Banyak yang tidak percaya. Mana mungkin seorang pahlawan hanya menjadi tukang sampah. Seharusnya banyak simbol-simbol yang melekat dibajunya seperti para veteran perang. Selain itu kehadirannya di tengah warga sangat misterius. Dia datang seorang diri dan membangun gubuk kecil dipinggir kali. Tidak ada yang tahu asal-usulnya. Dan itu tidak penting, yang penting tempat mereka bisa bersih. Aku tersadar ketika dua orang lewat dengan mengendarai motor sambil berteriak.

Anjing sialan minggir! Bosan hidup ya?” Seorang yang duduk di jok belakang menatapku dengan guratan marah.

Rambutnya disemir dengan warna bermacam-macam sementara celananya sobek-sobek tak karuan. Teriakan itu memaksa ku geser ke pinggir jalan tepat diatas kali. Pandangan ku mengarah ke kali kecil. Air tidak bebas lagi mengalir. Sampah menumpuk. Membeludak. Warna keru nan pekat memahkotai sungai yang dulu selalu jadi tempatku berkaca. Sekarang tidak lagi. Keruh dan bau membusuk. Ku pahatkan langkah ku perlahan-lahan diatas tanah basah, luapan air kali. Sifat air memang selalu mengalir. Ketika jalannya terhambat maka dia akan terus mencari cari tak peduli apakah ia pantas untuk berada disitu. Orang-orang yang lewat pasti berjalan menjijit. Kalau sampai kakinya tercebur, paling mengumpat. “Sialan sandalku kena lumpur, kakiku jadi kotor.” Mereka tidak peduli kenapa air sampai muncrat kesitu dan apa yang harus dilakukan untuk mengarahkan air mengalir ke jalannya? Aku tidak bisa menghindar dijalan yang kering. Karena sudah dikuasai manusia. Tidak ada pilihan lain selain menyusuri jalan ini. Percikan air lumpur mengotori seluruh kakiku. Suara rintihan tikus-tikus yang berkelahi masih terdengar. Biarkan saja toh memang itu sudah jadi takdir mereka. Mencari nafkah di tempat-tempat yang dianggap kotor oleh manusia. Dari pada berdasi dan berjas rapi tapi perilakunya sama seperti tikus-tikus itu. Mengais ditempat busuk. Gubuk-gubuk berserakan disepanjang pingir kali. Beratapkan genteng tua dan seng karatan. Dinding-dinging triplek menutupi seadanya. Suara para penghuni bercengkerama mengaung menembus keluar lewat lubang-lubang dinding. Aku tidak memperhatikan obrolan mereka. Tetap pada langakah ku untuk terus menyusuri gang yang tidak layak untuk disebut sebagai perumahan warga yang sehat. Langkah kakiku tiba-tiba terhenti, seketika mataku memandang menyaksikan seorang tukang becak disebrang jalan. Celanannya penuh dengan tambalan, kaos obolong dengan warna kusam. Dia sedang asik memegang sebua benda kecil. Asyik sekali, dia tidak peduli walau ada orang lewat disampingnya. Aku penasaran. Kusebrangi jalanan yang becek itu. Dan iya.. itu adalah sebuah benda aneh. Tiba-tiba dia bicara sendiri dengan mulut menempel pada benda itu. Suara lembut terdengar keluar dari benda aneh itu. Sepertinya suara perempuan.

“Kakak lagi dimana toh” Sayup-sayup suara itu terdengar dari benda aneh itu.

“Kakak lagi jalan-jalan nih. Didaerah perkampungan. Mau nyari lahan yang pas buat bisnis.” Wajah nyengir mengisaratkan kebohongan. Sepertinya sosok bersuara disebrang sana tidak tahu siapa sang tukang becak bercelana bolong di area selangkangan itu.

“Kakak bisnis apa, kok baru cerita sekarang?”

“Ya..bisnis kecil-kecilan lah..bikin perumahan gitu.”

“Ah..kakak.. itu mah bukan kecil tapi udah tergolong gede.” Sambil memiringkan pantatnya. Dan sobekan celanannya terlihat jelas. Tetap saja dia tidak peduli. Kaki sebelah kiri diangkat dan ditumpukan pada paha kanannya sambil bergoyang-goyang laksana bos besar sedang menikmati kemakmurannya. Tukang becak ini mungkin sedang merayakan dunia imajinasinya bersama gadis bersuara lembut disebrang sana. Ah..dunia semakin aneh. Apakah ini yang dinamakan kemajuan? Kutinggalkan tukang becak dengan benda anehnya. Kuayunkan langkah kakiku yang terasa semakin berat. Bekas kaki terpahat berantakan diatas jalan berlumpur. Aku berpapasan dengan orang-orang. Wajah mereka penuh curiga, takut, bahkan ada yang lari sambil berteriak: “Ada anjing liar...hi...hi..” Aku tidak peduli. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, aku berlari kecil dibalik kegelapan. Menghindari keramaian. Menghindari manusia yang sok suci, bersih. Lelah rasanya. Menyusuri gang kecil ini. Namun aku tidak menemukan keindahan, keharmonisan, dan ketenangan. Semua tatapan mata penuh dengan kecurigaan, perkampungan asri nan harmonis tidak tahu entah kemana. Kini yang menghuni adalah orang-orang aneh. Dulu aku dan teman-teman selalu bebas berkeliaran. Meminum air dari kali di pinggir kampung. Menyapa setiap penduduk yang dijumpai. Semua mata begitu bersahabat. Senyum ceria selalu menghiasi bibir mereka. Anak-anak kecil selalu memegang kepalaku dan mengelus-elus buluku. Katanya aku lucu. Mang Kardi selalu menyapaku.

Atman sudah makan?” dengan kelembutan tangannya di mengelus-elusku.

Kalau aku lapar aku akan menjilat-jilat tangannya, menatap wajahnya sambil mengeluarkan lidahku kadang air liur menetes. Kalau sudah begitu Mang Kardi mengeluarkan sepotong roti atau tulang dari dalam tas buntutnya. Aku melahap makanan itu. Sementara dia sibuk mengangkat tong sampah dan dimasukan kedalam gerobak. Mang Kardi adalah orang yang sangat dekat denganku. Walaupun kami tidak menggunakan bahasa verbal seperti bahasa manusia. Tapi tingakah lakuku benar-benar diterjemahkan dengan benar oleh Mang Kardi. Dan aku selalu melindungi Mang Kardi dari ganguan anak-anak nakal yang mengejeknya atau mengacak-acak tempat sampah. Tak ada tikus-tikus disini. Disamping Mang Kardi, aku punya teman seekor kucing kampung tak bertuan dengan sorotan mata tajam diselalu duduk diatas genting rumah dan mengamati mangsanya. Kalau ada gerak mencurigakan secepat kilat ia melompat menghajar mangsanya dan melahapnya. Aku kagum dengan kepiawainnya. Sikapnya dingin dan kaku tapi di seekor kucing yang baik. Tidak ada keributan selain pertengakaran suami istri dalam dalam rumah kerena cemburu, atau perkelahian antar anak kecil yang merebut mainan. Tiba-tiba aku tersadar dalam lamunanku.

Pencuri-pencuri..Maling..Maling..” Terdengar sorakan orang-orang. Dan sebua kendaraan melaju dengan cepat dan membabi buta. Dibelakangnya terlihat dari keremangan lampu-lampu jalan orang-orang berlarian ada yang menggengam batu, pentungan semua melemparkan kearah pengendara itu. “gdebuk” sebua batu menghantam punggung orang yang duduk di belakang.

Mampus kau pencuri.”

Ayo ngebut dong. Mereka semakin mendekat.” Orang yang duduk dibelakang membentak.

Orang-orang semakin banyak menumpuk dijalan meluap ke pinggir sungai. Wajah kecewa, para pencuri tidak tertangkap. Seorang menghujat-hujat dengan kata-kata kasar. Sepertinya dia pemilik motor itu.

Keparat..berengsek..mampus sekalian ditabrak truk.”

Dari percakapan terdengar kalau motor itu belum selesai masa kredit.. aku tak sanggup menyaksikan “kehancuran” yang terjadi di tempat ini. Tempat yang pernah menjadi saksi hidupku yang begitu damai. Pencurian tidak pernah terjadi. Ketika ada lagak orang yang mencurigakan, aku dan teman-teman akan mengamati tingkah laku mereka. Jika orang ini tetap nekat berusaha menjamah barang-barang warga maka secepat kilat kami mengeluarkan suara yang menakutkan maka orang itu akan mengambil langkah seribu. Bahkan terperangkap kedalam got. Kalau sudah begitu. Kami hanya menyaksikan orang itu keluar dari dalam got dengan wajah ketakutan dan lari terbirit-birit. Ah sudahlah.. semua hanya masa lalu. Kupejamkan mataku dan menunduk. Aku yakin tidak ada orang yang memperhatikanku. Tempat ini cukup aman buatku. Walapun aku merasa, kalau sekarang aku hanya seorang pengecut yang sembunyi dibalik ketakutan. Aku ingin membantu orang-orang itu. Menjaga keamanan kampung ini. Tapi aku tak mampu. Orang-orang ini sudah tidak mengenalku lagi. Teman-temanku juga sudah pergi entah kemana. Sekarang seorang diri dengan bulu-bulu yang tidak terawat kuletakan kepalaku diatas kardus yang setengah basah. Aku lelah..walaupun aku yakin aku masih bisa berlari sepuluh kilo meter lagi. Disini aku ingin menghabiskan malamku dengan tempat dimana aku mengabiskan masa-masa bahagiaku.

Pergilah! Pergilah dengan tenang Atman manisku..Kamu tidak layak lagi tinggal disini.” Suara itu terdengar sayu mendayu merayap dalam kesadaranku.