Entri Populer

Sabtu, 11 Oktober 2008

I'm Sorry Mum


Kuliah pagi..paling malas. Jam 7.30 harus sudah dikampus. Kalau kelasnya Bu Ike and Bu Ninik gak masalah. Ini kelasnya Bu Wur. Dosennya terkenal strik, killer tidak kenal kompromi Harus on time jam 7.45 lebih pintu ditutup. Walaupun setelah itu aku sadar kalau dosen satu ini baik hati, sampai pas aku gak ada uang buat urunan beli kenangan-kenangan buat Fakultas. Dia bawa aku ke kantor nya dan mengeluarkan lembaran 50 ribuan buat aku. Tapi kalau dalam hal kuliah lain cerita. Apapun alasan kalau telat gak boleh masuk. Terlambat adalah budaya bagi kami. Bu Wur seperti apa orangnya? Penampilan selalu elegant, yang bikin beliau unik adalah punya jambul laksana kepala ayam jantan atau burung kakatua. Walaupun dia terbaring dirumah sakit jambulnya gak pernah rusak. Teman-teman sering tanya kok bisa ya? Sakit masih ngurusin jambul. Ya. Mungkin itu jimatnya.

Nah.. mahasiswa harus on time tapi kuliahnya selalu jam 7.30. ini masalah besar buat kami. Terkenal angkatan 2004 pasti terlambat. Apa lagi “Rombongan Wisatawan.” Mereka kalau masuk kelas selalu keroyokan. Jadi Bu Wur harus berhenti bicara. Semua mata keranjang pasti melahap kearah mereka laksana mata burung elang yang menatap penuh gairah kearah mangsa-mangsanya dari ujung rambut sampai unjung kepala. Apalagi kami penikmati keindahan. Disini kadang aku tidak bisa membedahkan unsur gairah keindahan dan gairah birahi. Sangat transparan. Tatapan mata pasti berhenti lebih lama di dua area. Dada dan Paha. Kalau pasukan mereka lewat semua aktifitas berhenti; “Cut..cut…iklan-iklan dulu!!!” Sudah gitu.. mata mengantuk jadi pulih. pikiran yang masih gentayangan di kasur, secepat kilat kembali ke saat ini. Ya..di kelas ini dengan obyek yang memikat. Habis itu Bu Jambul pasti memberikan ceramah.

“Saya mohon supaya jangan terlambat terus ya. Ini menggangu konsentrasi saya.” Suaranya datar, tegas dengan sorot mata mantap. Yang di nasehati gak peduli sibuk nyari tempat duduk.

Krek..krek..pletak. kursi-kursi diseret merapat. Para mahasiswi wisatawan ini gak mau kalau duduk terpisah. Slalu saja berusaha biar duduknya bareng. Sepertinya kalau misah kekuatan ajaib mereka tidak berfungsi. Dan itu berpengaruh dalam menyerap pelajaran.

“Geeser donk!”

Tradisi mahasiswa di kampus ini adalah sebagai berikut: yang datang awal pasti duduk di paling belakang, dan tengah. Kalau duduk didepan berarti itu mahasiswa yang tergolong “sadar” Sadar kalau duduk dibelakang pasti disuruh jawab pertanyaan, atau maju kedepan buat nulis jawaban atau jadi obyek teguran dosen atau dibelakang gak dengar apa-apa.

“Tolong ya! kalau saya lagi ngomong didengar!” Suaranya agak meninggi, kesan killernya terasa. Yang belum dapat tempat duduk terpaksa berdiri dan melihat ke Bu Jambul agak menunduk karena malu.

“Yang belum dapat tempat duduk sekarang duduk!”

“Ini soalnya dibagikan kebelakang!” Bu Wur dengan jambul bak makhota kebanggannya memberikan tumpukan soal ditangannya ke mahasiswa yang duduk paling depan. Aku terjebak paling belakang bersama sang penggemar bintang holywood itu, Seto, dan Andini. Aku duduk ditengah diantara mereka tentu saja. Tibalah saat yang dinanti-nantikan. Dengan serius soal dibaca satu persatu mana yang lebih mudah. Da ternyata, Oh my God, sepuluh soal yang ada tidak bisa semua. Mampus… masa gak diisi. Kalau gak licik bukan mahasiswa namaya. Ada dua rencana utama, Satu tengok kiri dan kanan. Tanpa berpikir panjang lagi mataku melotot seperti teropong bintang focus ke lembar jawaban Andini.

“Din nomor satu jawabanya apa?” Tentu saja berbisik kalau kedengaran Bu Jambul langsug disuruh keluar ruangan. Tapi aku tidak melihat jawaban apa pun dikertasnya. Yang ada tulisan nomor satu kemudian salinan soal dilangkah beberapa baris kemudian nomor dua, tulisan soal dan seterusnyanya. Aku mulai panik. Biasanya paling gak tiga atau empat soal yang aku yakin bisa, tapi sekarang gak tahu sama sekali. Selanjutnya tengok kanan.

“Man, nomor satu dua dan seterusnya sampai sepuluh jawabanya apa?” belum sempat dia komentar, mata ku langsung melahap seluruh isi lembar jawabannya dan ternyata yang ada hanyalah tulisan nama, mata ujian, tandatangan dan pada baris pertama angka satu yang dibulat-bulat. Ternyata, rencana A gagal. Masuk keaksi berikutnya buka buku ajaib yang tersimpan dalam tas. Ini adalah kitab yang bisa menjawab semua teka-teki ini. Kalau diumpakan, seperti kitab suci yang mampu mengetahui apa kehendak Tuhan. Tanpa bertele-tele tangan kiriku merogo-rogo tas yang ada dibawa kaki. Tiba-tiba.

“Yuli, keep your eyes on the paper!” Aku gak bisa membayangkan bagaimana wajahnya Yuli, merah merona bagai wajah lawan yang kena pukulan telak Make Tyson. Tangan kiri yang masih dalam tas secepat kilat langsung kucabut keluar dan kembali keposisi semula. Setelah itu mata Bu Wur mulai menjelajahi seluruh ruangan laksana tatapan mata Ratu Elisabet di Era Victorian, tegas, cepat, dan tentu saja killer. Kegelisahanku mulai meningkat beberapa persen dari sebelumnya. Diam dan pura-pura nulis agar tidak dicurigai. Setelah beberapa saat, tangan kiriku beraksi lagi tatapan mata tetap kedepan. Tangan kiri bekerja super keras sambil pikiran ku mengira-ngira kira-kira yang mana catatannya. Sudah sekian lama aku tidak menemukan yang dicari. Kali ini aku ragu dengan indera perabaku terpaksa mata ku melongo kedalam tas yang sudah terbuka dan saat itu tanpa ku duga.

“Donatus, Just write your answer!” Mampus, aku kaget bukan main setengah tidak percaya kalau aku ketahuan. Aku sesaat bengong, yang disebut bukan Yuli, Yudha, Andini atau Seto tapi Donatus, iya namaku. Rupanya Bu Wur punya mata yang sangat lihai bagai kucing yang duduk diatas genteng tapi tahu kalau ada tikus yang lagi sibuk mengobrak-abrik sampah di pinggir jalan. Kali ini aku yang kena tembakan cukup untuk melumpuhkan kesadaran dan kegoblokan ku. Seketika itu semua ribut dan menatap aku yang kebingungan, malu, dan salah tingkah.

“Iya Bu.” Jawab ku seadanya. Posisi duduk dirapikan lagi. Kali ini benar-benar bahaya. Musuh sudah tahu gerak-gerik ku dan sempat melontarkan tembakan. Akhirnya ambil langkah preventif. Posisi duduk tegak kepala menunduk menatap lembaran kosong yang sedang tertawa mengejek, mungkin kalau kertas ini bisa bicara sudah dari tidak aku digoblok-goblokin. Tangan kanan memegang pulpen. Dan pura-pura menulis. Pikiran ku berkeliaran menyusuri jejak-jejak dimana catatan beserta foto kopian ku? Apa mungkin tidak ada didalam tas? Seperti kesetrum aku sadar kali ini aku benar-benar kala dan harus ambil lagi tahun depan, kitab ajaib andalanku tertinggal di tempat tidur. Gara-gara tadi bangun terlambat. Tidak ada harapan lagi. Kali ini menunggu mujizat siapa tahu ada yang baik hati melemparkan Jawaban dari nomor satu sampai sepuluh. Aku terus mengamati teman-teman yang sedang menyontek ada yang memutar lembar jawaban teman di sebelahnya. Aktifitas mereka begitu rapi sampai sang penembak jitu yang duduk mengawasi di depan tidak mengetahui aksi bulus mereka. Aku masih terus menunggu dan menunggu. Sudah tidak ada harapan lagi.

Tiba-tiba seperti menemukan oase di padang gurun aku bahagia bukan main. Seto memegang sebua kertas besar seukuran lembar jawaban yang dilipat seadanya. Dalam kepalaku sebua angan-angan. Pasti semua jawaban ada dikertas ini. Semuanya.. Setelah Seto menyalin dan giliranku. Aku benar-benar bahagia. akhirnya penderitaanku berakhir. Kali ini Seto yang mengalami ketegangan. Seperti seorang pencopet di kreta api, dia membuka pelan-pelan kertas itu, matanya tetap mengarah ke depan. Takut kalau hantaman cock telak dari Susi Susanti mengenainya.

Akhirnya kertas penyelamat itu berhasil dibuka. Aku kaget bukan main tanpa terkendali, aku tertawa. Andini yang ternyata sedang menunggu peta harta karun itu dibuka ikut tertawa. Bukan semua jawaban yang ada disitu tapi hanya ada tulisan nomor 6 yang dibundar besar-besar. Diikuti satu kalimat yang terdiri dari 4 kata. Yang ditulis besar-besar juga. Parahnya lagi aku tidak bisa mengerti apa yang ditulis disitu. Tentu saja Susana ini adalah bentuk kebodohan kami.

“Donatus, Andini. What happen? Kalian sudah bikin suasana tidak kondusif. Saya minta tolong kerjakan soal anda,a kalau tidak bisa tinggalkan saja.” Kali ini benar-benar sekarat. Semua kelas bersorak riuh.

“Huh..donatus lagi…donatus lagi…”

“He..he…he..” Aku hanya bisa nyegir dan menatap Bu Wur yang sedang mengeleng-geleng kepala. Mungkin dia marah atau kasihan.. ekspresinya susah ditebak kali ini. Saking geroginya aku. Keputusan harus diambil dari permainan ini. Aku kalah dan tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain mencorat-coret lembar jawaban itu sehingga kelihatan penuh dengan tulisan. Jika seorang mahasiswa sudah tidak bisa apa-apa lagi dalam mengerjakan soal maka langkah yang paling darurat adalah memenuhi lembar jawaban dengan salinan soal dan dicampur dengan aksi mengarang indah. Dalam rasa bersalahku Ratu Elisabeth ini menembak lagi

“Donatus, Andhini, Seto setelah ini menghadap saya.” Tegas, mantap, tidak perlu penjelasan tambahan, dan tidak ada kompromi. Kita bertiga nyengir-nyegir sendiri. Aku kasihan sama Seto. Dia yang tetap tenang walaupun garis-garis kebingungan terangkai berantakan diwajahnya, harus terlibat. Gara-gara keteledoranku. Tapi bukan namanya 2004 kalau gak jadi trouble maker.

“Silakan duduk!”

Aku deg-degan… kira-kira apa yang akan dikatakan oleh ibu bermakhota ini ya? Yang jelas ceramah. Apa aku tidak diluluskan? Ah..dengarkan saja.

“Terus terang saya kecewa dengan anda bertiga” Suaranya merendah bagai seorang ibu yang menyesali kenakalan anak-anaknya. Kami masih diam sambil menatap Bu Wur.

“Kalian adalah orang-orang yang dianggap mampu menjadi pemimpin bagi teman-teman mahasiswa lainya.” Diam dan menarik nafas.

“Tapi tindakan kalian tadi sangat tidak layak.” Sorot matanya sangat lembut menyentuh hati kami yang paling dalam. Kami menyesal. Sesaat diam aku menunduk. Kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Tadi seharusnya aku tidak seperti itu. Seharusnya aku belajar, seharusnya aku simpan catatan itu di tas..dan seharusnya..seharusnya.. kemudian Bu Wur melanjutkan.

“Saya tahu kalian tidak menyontek. Teman-teman kalian itu hampir semua menyontek. Tapi sikap kalian itu tidak menghargai ujian ini.” Aku sedikit kaget dan menatap Bu Wur. Ternyata dia tahu juga semua yang terjadi. Hebat-hebat. Seharusnya kamu jadi intel, snapper, pengamat politik, bukan dosen bu. Andini terlihat berkaca-kaca. Emang kalau perempuan dengan perempuan itu lebih saling memahami. Rupanya dia tahu betul perasaan Bu Wur akhirnya ia buka mulut.

“Kami minta maaf yang sedalam-dalamnya, bu. Kami tidak akan mengulang lagi. Terimaksih atas perhatian ibu kepada kami. Untuk kedepannya kami akan lebih peka terhadap kondisi yang ada.” Pasti meminta maaf dan merasa bahwa ini adalah kekhilafan. Ya..namanya juga maling kalau tidak ketahuan dia cengengesan dan basok maling lagi, tapi kalau ketahuan dia pasti mengatakan, aku khilaf. Besok aku tidak akan mencuri lagi. Dan Bu Wur melanjutkan;

“Kalian adalah harapan kami khususnya saya, kalau kami butuh bantuan pasti lewat kalian. Kami menganggap kalian adalah orang yang bisa diandalkan di Fakultas ini. Kalau jadi pemimpin harus bisa memberi contoh. Jadi kalian tahu kenapa saya panggil kalian bertiga? Baiklah saya maafkan kalian, tapi lain kali jangan mengulang lagi.” Intonasi suaranya begitu menyentuh dengan tatapan mata menyimpan harapan yang sangat tulus. Dibalik sosok Ratu Elisabeth ternyata terdapat pribadi Bunda Theresia yang lemah lembut.

“Terimakasih bu, kami tidak akan mengulang lagi.” Rasa bersalah bercampur dengan semangat untuk tidak melakukan tindakan itu lagi. Kemudian sedikit bangga dengan ucapan Bu Wur bahwa kami adalah mahasiswa yang menjadi tangan kanannya dan dosen lainya. Akhirnya dengan sikap yang agak malu-malu kami meninggalkan Bunda Theresia itu. Terimakasih bu semoga kami jadi mahasiswa yang benar-benar berguna.


Tidak ada komentar: