Entri Populer

Jumat, 14 November 2008


Carpe Diem

Agak kurang percaya juga. Pada akhirnya aku jadi mahasiswa. My dream comes true, kira-kira begitu kalau aku sedikit berbunga-bunga. Hari pertama kami, para calon mahasiswa harus berkumpul dan berbaris di tengah lapangan. Gak ada satu pun kenal. Sudah biasa. Sejak SMK dulu aku sudah seperti orang hilang. Kambing berbulu hitam ditengah-tengah domba. Burung gagak terbang bersama burung merpati putih. Air kopi di antara air susu dan air coklat. Kira-kira seperti itu. Bapak Rektor ceramah panjang lebar di bawah tiang bendera. Aku ingat waktu SMP dulu. Paling suka kalau disuruh jadi pembawa bendera meskipun begitu persis di depan bendera kedua kaki ku bergetar semua karena gerogi. Habis itu teman-teman sama guru-guru ku cuma tersenyum. Gak berani mereka ketawa. Ini upacara bendera. Kalau sampe ada yang ketawa bisa-bisa di penjara. Tidak menghargai perjuangan para pahlawan zaman bahula. Teman-teman calon mahasiswa sudah mulai resah. Terdengar bisik-bisik. Dua makluk di depanku berbisik-bisik satu sama lain,

“Kok lama banget sih?”

“Heeng ih..udah pegel nih kaki”

“Kaki ku udah kesemutan nih.”

Sementara seorang mahasiswa di samping kiriku sudah memajukan bibirnya. Padahal gak perlu dia berekspresi kayak gitu, bibirnya udah maju sendiri. Pikirnya, “Sialan omong gak penting banget! Udah laper gak bar-bar.” Kalau kondisi seperti ini. Aku selalu melihat reaksi orang-orang disekitar ku. Sekarang samping kanan ku. Matanya mulai tertutup..kemudian badan bergerak maju…mundur….berhenti tiba-tiba. bergoyang lagi-lagi..maju..mundur dan kaget matanya dibuka. Ternyata si kebo ini lagi mau beranjak tidur. Gila badan segede begini. Bayangin aja. Kalau dia oleng kesamping. aku jadi korban tindihan makluk purba kala ini. Bisa-bisa jadi pisang penyet. Sepertinya dia baru saja dipaksa bajak sawah 10 petak. Lihat kesamping kiri…Waduh..burung pelatuk siap melubangi pohon. Itu bibir semakin lancip aja.. Gawat..bisa-bisa aku dipatukin sama dia. Sekilas kami saling memandang dan aku memilih untuk mengalihkan pandangan ketempat lain.
Dan berakhir juga berdiri di lapangan dengan suasana membosankan. Semua mulai berteriak, mengekspresikan kebahagiannya. Si burung pelatuk terseyum dan Si kebo sadar kembali. Rupanya mereka masing-masing punya teman. Jangan kira ini penderitaan berakhir. Belum! Bagai sapi di bawa ke tempat penjagalan kami digiring masuk kelas. Di pintu masuk ruangan itu tertulis “Adelaide.” Para senior gak ada yang senyum sama sekali. Kemudian mereka semua beraksi, membaca nama kami satu persatu.. Dan tibalah nama ku dibaca.
Dasar manusia gak pernah baca nama orang suci.
“Do….na…tus” Dengan terbata-bata sang senior ini membacakan nama ku.
“Hadir” “Baris di belakang!” Tiba-tiba aku kaget.
Si kebo yang tadi di lapangan ada juga disamping ku.
Dan satu kelompok lagi sama aku.
“Kenalan dulu mas, saya Yudha” Sambil tersenyum-senyum
“Donatus” Aku masih gak yakin juga, kok dia ada disini?

Selanjutnya kami mendengarkan aturan yang dibacakan dari para senior. Tampang mereka benar-benar kaku. Ya tahu sendiri lah.
Dan aku aku melihat ke belakang dan ternyata si burung pelatuk itu ada di sini juga. Maklum waktu itu masih sok jaim. Mana aku mau kenalan duluan, lagian aku masih terbayang kejadian di lapangan tadi.
Kita duduk diatas lantai kayak para nelayan asing yang di tangkap karena memasuki perairan Indonesia. Duduk menunduk sesekali mendongak kalau ditanya.
Senior mondar-mandir kayak angkatan laut Republik Indonesia yang sedang meronda. Kemudian setelah sesi serius sekarang sesi santai tapi menegangkan. Disini gak ada dosen berarti keselamatan kami calon mahasiswa baru terancam. Bakalan spot jantung bertingkat-tingkat. Bagi yang gak kuat dengan bentakan para algojo ini.
Kami dipaksa untuk menghafal lagu dengan syair seperti berikut:
Langkahku smakin mantap Masuk Fakultas sastra
Lihat anak sastra yang keren dan cantik
Tapi tak lupa ku harus giat belajar Biar bokap dan nyokap berbangga hati
Andai saja ku tidak di fakultas sastra

Aku tak akan bertemu teman-teman yang cakep Dan yang kece……

Plus gaya hasil koreografi amatiran ala sang ketua Senat Mahasiswa Sastra, Linggayani.
Gara-gara keesokan harinya kami diwajibkan mengenakan karton berwarna biru selebar dada sebagai identitas, sekarang aku baru tahu siapa nama si burung pelatuk itu, Diana dan disebelahnya selalu ada si gentong air di dadanya ada tulisan Metta.
Dua manusia ini di tambah si kebo jadilah kelompok kami seperti kumpulan manusia barbar. Sehabis sesi kami diwajibkan menyanyikan lagu tersebut.

“Sekarang coba nyanyikan lagu yang diajarkan panitia!!” seorang berwajah kaku mengenakan topi yang hampir menutupi wajahnya. Ada kesan serem.
Dialah si tukang bentak-bentak. Kami ikut saja instruksi itu.

“ Lebih keras lagi!!! Suaranya semakin tinggi. Suasana berubah jadi tegang. Tidak ada bisik-bisik, semua menunduk. Dan nyanyi lagi.
“Kurang keras!!!! Kalian dengar! Suara mahasiswa dari ekonomi saja sampe sini.” Intonasi suaranya meninggi sambil matanya melotot.
Sial pikir ku, pake bandingan ekonomi. Mereka orangnya banyak ratusan lebih. Nah kita Cuma lima puluhan. Tapi namanya anak baru, gak berani komentar apalagi situasi seperti ini. Cari aman aja. Dari pada jadi bulan-bulanan senior.
“Sekarang pake gaya!!” Pandangannya gak sedikitpun melirik kami, sepertinya bukan kami yang diperintah. Dasar senior gak tahu diri, seenaknya aja main nyuruh-nyuruh. Perasaan gak penting deh nyanyi beginian. Kira-kira begitu kegundahan yang sedang melahap seluruh isi kepala dan hati.
“Saya minta 2 orang maju, satu cowok satu cewek sebagai pemandu!!” Si tukang bentak melanjutkan instruksinya. Sampe disini kami tetap diam saja. Seperti patung. Yang bisa dilakukan adalah lirik kiri-lirik kanan. Berharap apakah ada yang jadi pahlawan sore ini. Mana ada yang mau..tiga kali latihan aja salah..salah terus.
Gawat..sudah 10 menit berlalu tidak ada yang maju.

“Selama tidak ada yang maju, kalian akan tetap berada di tempat ini. Kalau perlu sampe tengah malam atau besok pagi.!!” Pernyataan yang tegas tidak perlu penjelasan. Kami semakin resah. Tiba-tiba keresahan kami terobati dengan bergeraknya sosok berkepala botak. Langakahnya mantap seperti kepala pasukan.
Dia lah Seto, cita-cita mau jadi polisi tapi gak lulus test terpaksa masuk sastra. Dia naik keatas meja. Dan menuggu pasangannya. Dari kaum cewek gak ada yang maju. Sepertinya mereka belum siap dengan gerakan feminis. Dan tiba-tiba muncul juga penerus R.A Kartini, di dadanya tertulis Silvia. Akhirnya mereka berdua melakukan gerakan sementara kami ikut saja.
Dan gerak kan yang dilakukan tidak semulus yang di bayangkan.
“Aduh salah..” Seto mengeluh. Gawat sudah berkali-kali salah terus. “Kalau salah ulangi dari awal sampai benar!!!” Si tukang komando berdiri di samping Seto dan Silvia.
Urat-urat lehernya terlihat bergelombang. Giginya yang sedikit maju. Serem, tapi menggelikan. Terus saja kami melakukan gerakan dan berteriak-teriak. Gak peduli lagi harmonisasi suara maupun keindahan koreografi layak peserta Akademi Fantasi Indosiar.
Pokoknya gerakan benar, teriakan bisa membuat para senior ini mengatakan sudah cukup. Akhirnya berakhir juga.

“Lumayan untuk sore ini, walaupun saya merasa masih kurang” Senyum sinis terlihat dibalik topi hitamnya.
Sial!! Udah berteriak suara hampir habis. Bergoyang sampai kaki pegel-pegel, loncat-loncat sampai perut kram Cuma di bilangin lumayan. Dasar senior gak tahu diri. Demikian suara menggemuru di otakku.

Waktu sudah pukul 20.00 dan kami masih tetap duduk. Aturan dibacakan beserta apa saja yang harus kami bawa besok. Berbagai tugas diperintahkan seperti; bikin puisi pake bahasa inggris, bawa pita biru dan lain-lain. Saatnya pulang, pikir ku dan teman-teman,tapi

“Sebelum pulang ucapkan yel-yel beserta gerakan!!!” Si tongos ini rupanya belum puas dengan instruksi tidak logisnya dari tadi. Baiklah, pada kondisi seperti ini seorang calon mahasiswa pasti cari posisi aman. Gak ada yang berani bantah terang-terangan meskipun aku yakin di dalam kepala-kepala ini sudah menghujat sebanyak-banyaknya. Sial, brengsek, manusia tak berperasaan dan mantra-mantra ajaib lainya. Hanya untuk menunjukan ketidakpuasan. Dan tak perlu bertele-tele kami mulai,

We know no fear

We know no regret

Carpe diem
Long live Sastra
Kemudian,
“Kok saya gak dengar apa-apa ya?”
Gawat..ini artinya kami harus ngulang sekali lagi. Wajah-wajah di kelas ini sudah menunjukan kejengkelan yang amat..sangat dalam. Kulihat kebelakng si burung pelatuk bibirnya udah semakin maju, siap untuk mematuk dan muka si gentong air sudah memerah. Siap untuk mengglinding. Kalau si kebo ekspresi datar-datar saja. Sepertinya gak ada sedikit pun gambaran kejengkelan. Kayaknya dia tipikal orang yang pasrah. Dengan tenaga dan suara yang tersisa kami melakukan lagi..lagi..dan lagi.

“Baiklah cukup untuk hari ini!” Si tukang bentak ini berjalan ke belakang tanpa ada seyum sedikitpun. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Waktunya pulang.
“Sebelum kita pulang berdoa dulu..dan saya minta salah satu dari kalian mimpin doa.” Pembawa acara beraksi. Matanya melahap isi ruangan. Gak ada yang maju. Males banget..mimpin doa. Tiba-tiba kakak pendamping kelompok ku menaggapi.
“Saya minta Donatus yang mimpin.” Sambil mendekati aku.

Sial!!..kenapa mesti aku, coba? Kan masih banyak anak-anak lain. Hatiku berontak. Bukan masalah aku berdiri di depan dan menyusun kata-kata. Masalahnya adalah; aku bukan orang religius parah nya lagi aku sedang muak dengan agama.. Posisi sulit dan gak ada pilihan lain. Selain maju.

“Jangan panjang-panjang doa nya!!” Beberapa senior mengingatkan,
sepertinya buat mereka ini hanya tradisi. Kalau begini caranya mendingan gak usah sekalian. Dasar manusia! Sukanya make topeng! Gak tau kalau aku sendiri juga keberatan disuruh menyusun kata-kata buat Tuhan. Bagiku si gak perlu kan Tuhan Maha Tahu.


“Mari berdoa, dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin. Tuhan kami percaya Engkau Maha Tahu, oleh karena itu, Engkau tahu apa yang kami inginkan. Dalam nama Yesus kami haturkan ujud kami. Amin. Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin.” Aku terseyum kecil.

Sesuai dengan permintaan jangan panjang-panjang kalau berdoa. Suara bisik-bisik dari teman-teman. Mungkin pikir mereka dasar gak mutu doanya! Ada yang tersenyum bahkan tertawa Ada yang gak peduli yang penting bisa pulang cepat, sudah capek, bosan, dan jenuh. Makanya kalau nyuruh orang itu yang benar buat mimpin doa. Seterusnya aku gak lagi disuruh mimpin doa.


“Baiklah terimakasih Donatus, sekarang kalian boleh pulang. Jangan lupa besok bawa tugas beserta bekal. Kalau yang hari ini masih salah atribut besok jangan sampe salah lagi.”
Kami bubar.
Seperti napi yang baru bebas dari penjara akibat mencuri ayam. Kami Menarik nafas lega, bersiul, bernyanyi, berteriak dan lain-lain. Kebebasan yang dirindukan tiba juga. Lagi-lagi si kebo mendekati aku. Apa lagi kalau dia binggung besok mau bawa apa dan harus gimana mendapatkan barang-barang itu. Singkatnya dia nginap bersama aku. Dan kedekatan kami menjadi sebua perjalanan menyenangkan sekaligus memiluhkan.
Setalah sesi serius kami duduk berdiskusi untuk mengakrabkan diri. Topiknya adalah sharing, “Kenapa masuk Fakultas Sastra?” Seto angkat bicara. Manusia yang bakal sekamar dan setempat tidur dengan aku. “Saya kebetulan saja, cita-cita mau masuk AKPOL tapi gagal di tes kesehatan, terpaksa masuk sini karena kakak saya juga alumni universtias ini”
“Saya juga tadinya pingin masuk bidang olaraga di Yogya, tapi ternyata gak diterima gara-gara gak lulus test juga. Karena ada teman menawarkan jadi terpaksa juga masuk sini.” Si Yudha alias kebo menerangkan dengan lugas. Kemudian.
“Kalau aku sama Metta rencananya mau masuk Pariwisata di Bandung tapi orang tua gak setuju karena kejahuan, jadi mau gimana lagi masuk sini aja. Toh ini universitas elit.” Sambil mengerak-gerakan kepala dan gak lupa bibir. Si Diana alias Deedee bicara. Sepertinya mereka berdua selalu sahati dan serasa dalam segala hal. Meskipun kalau dijejer persis angka sepuluh. Tapi inilah makna perbedaan yang menguntungkan.
“Saya di suruh orangtua masuk sini. Tadinya gak pingin kuliah, langsung kerja aja. Jadilah saya masuk sini.” Andre alias Aming.
Kenapa dia dipanggil Aming, itu adalah singakatan dari Angel Mingkem. Emang makluk asal Papua ini susah sekali kalau merapatkan kedua bibirnya. Tetap aja dalam kondisi apa pun selalu terbuka mulutnya.
“Saya masuk sini karena udah bosan ngangur diluar. Pingin mencari suasana lain. Sukur-sukur bisa memperbaiki masa depan. Milih sini karena disini kampus yang bagus di Kota Semarang. Alasan ambil jurusan ini kerena di jurusan Psikologi gak lolos.” Ini giliran ku menjelaskan.
Sampe disini aku pikir ternyata gak ada yang mantap masuk di fakultas ini. Ini hanya tempat pelarian. Alias fakultas berkumpulnya mahasiswa buangan. Pasti bakal ada yang aneh-aneh. Habis masuk dengan keterpaksaan pasti banyak kendala internal maupun eksternal, individual maupun sosial. Waduh.. kok jadi ceramah.
Nah lihat saja nanti para manusia-manusia ini akan menjadi generasi penerus Fakultas Sastra. Dengan segala kekonyolan, kesuksesan, kebahagiaan, kedongkolan, kesedihan, dan gak lupa kebodohan.