Entri Populer

Sabtu, 01 November 2008

Kegundahan Pemimpin Prematur



Tidak ada pilihan lain

Kegundahan Pemimpin Prematur

Tidak ada pilihan lain. Aku harus nyebur. Baru saja Pak Adhy memanggil kami bertiga. Aku plus dua manusia aneh lainnya Kiki dan Lenny, mahasiswa diploma tiga Bahasa Inggris. Dengan gaya nya yang kalem kami dipersilahkan duduk dikantornya.

“Silahkan duduk!”

Terimakasih, pak”

“Begini. Saya yakin kalian tahu bagaimana kondisi mahasiswa Sastra sekarang. Saya yakin kalian bisa jadi pemimpin mahasiswa Sastra.” Sampai disini aku yakin secara tidak langsung diantara kita bertiga pasti jadi ketua BEMFS dan SMFS. Tapi siapa yang mau? Aku? Sudah cukup pusing dengan kuliah, nilai menurun sangat drastis semester lalu. Sekarang mau dikasih beban beginian.

“Sampai saat ini belum ada yang mau mendaftar, padahal sebentar lagi saya harus melaporkan ke universitas siapa ketua BEMFS dan SMFS yang baru.” Senyum khasnya bersemi dibibirnya. Cukup dengan senyumnya ini saja. Kami sudah tahu kemana arah pembicaraannya dan apa yang harus kami lakukan. Trauma akan kejadian kepengurusan tahun lalu masih menari riang di kepala ku. Ah..! jadi ketua BEMFS?, entar pas sidang pertanggungjawaban di hajar habis-habisan persis kayak anggota DPR yang ketahuan korupsi di garuk sama KPK trus di bawa ke ruang sidang sampai aib sekecil apapun di buka semua.Kalau sudah begini mendingan gak usah pake baju dan celana. Benar-benar telanjang. Trus berlari aja di jalan persis kayak orang gila. Habis semuanya sudah terbongkar. Kami saling melirik. Rupanya di masing-masing otak punya pemikiran yang sama. Tapi aku merasa ada yang aneh dari lirikan Kiki sama Lenny.

“Baiklah saya kasih waktu buat kalian bertiga untuk mempertimbangkan hal ini. Saya percaya kalian bisa.” Memberikan isyarat supaya kami keluar ruangan.

Langsung saja kami bertiga membentuk forum untuk menentukan siapa jadi ketua BEM siapa jadi ketua Senat. Membuat skenario politik. Kiki angkat bicara,

“Begini Don, kita gak bisa nentuin orang lain lagi kalau menurut saya kamu yang jadi ketua BEM dan Lenny jadi Senat” Sambil melirik ke Lenny.

“Gak bisa. Aku merasa gak mampu. Gimana kalau kalian berdua aja?”

“Trus kamu jadi apa?” Lenny gak terima. Rupanya dia menuntut keadilan, maklum era emansipasi.

“Ya..aku jadi pengamat aja.” Tapi sebenarnya dalam hatiku posisi yang sangat sulit. Apa yang akan terjadi kalau gak ada yang mau jadi pemimpin? Mana mungkin aku, apakah aku mampu? Terlalu berat. Tapi keputusan harus diambil.

“Sudahlah Don kita Bantu kamu dari belakang.” Kiki berusaha membujuk.

Iya dimana-mana juga orang pasti bilang begitu kalau posisi seperti ini, kamu maju kita bantu, habis itu kalau udah nyempulung, bodoh amat. Mau jalan kek… gak..kek.. mana aku urus. Toh aku gak punya posisi apa-apa. Kalau baik pasti di puji-puji tapi kalu jelek di maki-maki. Tetap aja pusing sendiri. Saatnya ambil keputusan.

“Baiklah aku mau jadi Ketua BEMFS asal ada syaratnya?”

Mereka berdua melotot sepertinya bahagia banget, tapi kok ada syaratnya segala.

“Apa syaratnya?” Serempak

“Kiki jadi wakil ku Lenny jadi ketua Senat. Bagiku cuma ini jalan tengah. Kalau kalian gak mau ya sudah. Gak usah ada BEMFS maupun SMFS kecuali kalian sendiri yang maju.”

Suasana diam sesaat. Mereka berdua menunduk. Mungkin menimbang. Kok tetap aja sulit. Pake ada syarat segala. Sampe disini aku berfikir. Sangat kontras, kalau diluar sana para politikus berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin sampai cara apapun di tempuh bahkan ada yang sampe gila gara-gara gak kepilih jadi bupati. Tapi kita malah saling lempar posisi. Habis gimana coba. Jadi beginian selalu susah. Gak punya bayaran. cuma dapat ucapan terimakasih plus sertifikat itupun kalau persediaan kertas masih ada. Kalau program gak jalan dimaki-maki sama teman-teman mahasiswa. Belum lagi adik angkatan yang menganggap kita pilih kasih, tidak peduli dengan angkatan bawah, trus teman-teman satu angkatan yang merasa bahwa kita gak peduli lagi sibuk dengan organisasi. Plus kakak angkatan yang suka ngritik kerena mereka merasa berpengalaman. Jadi adanya cuma sakit hati sepanjang hayat. Habis itu berat badan turun drastis, prosentase mengisap rokok semakin meningkat. Dan welcome to other world alias pass away.

“Ok kita setuju.” Mereka berdua mendongakan kepala dan menatapku.

“Kalau gitu kita salaman” Meskipun berat. Mau apalagi gak ada pilihan lain. Susah ya.. selalu aja terjebak pada pilihan yang gak enak semua. Coba kalau disuruh milih. Kencan sama Angelina Jolie atau jadi Ketua BEM pasti tanpa berpikir panjang aku milih yang pertama. Berbagai strategy dan trick dijalankan. Tahap pertama adalah; meyakinkan diri ku sendiri bahwa aku mampu. Ini yang sulit. Selalu aja sang aku bilang kamu tuh gak bisa. Urus diri aja gak bisa mau urus orang lain. Habis itu semalaman gak bisa tidur. Ini cuma lingkup fakultas aja sudah kayak gini apa lagi tingkat negara. Bisa-bisa aku gantung diri segara pake tali rafia diatas lemari. And Show must go on! Kira-kira demikian. Bukan saatnya lagi bingung, menyesal, dan meratap. Kepala harus ditegakan ikat pinggang harus di kencangkan, tatapan mata harus tegas tapi berperikemanusiaan. Langkah kaki harus mantap dan berjalan harus tegak lurus. Jangan lupa banyak makan. Karena pasti tingkat stress meningkat, ini harus dihadapi. Ini simbol seorang pemimpin. Sampe disini sang aku mengerti dan memahami.

Kampanye secara simbolis dilakukan, poster ku dengan foto almamater dengan visi misi berbahasa seadanya dipajang. Dengan kata mutiara, “Nothing is Imposible.” Gak seru emang. Habis gak ada saingannya. Gak serame adik angkatan ku. Berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin mahasiswa di Fakultas ini. Ucapan selamat dari teman-teman dan angkatan atas bertebaran. Tentu saja dibalik ucapan selamat ini, tersembunyi makna, “Selamat hidup dalam penderitaan!” Sindiraan dari teman-teman mahasiswa muncul

“Waduh..kok Donatus toh..payah ih..”

“Kenapa?”

“Donatus itu Atheist.. Bisa-bisa mahasiswanya pada murtad semua.”

Berhubung aku cuek dan sedikit bangga dengan status tersebut, aku membiarkan saja. Dalam hati, begini ya rasanya jadi pemimpin. Belum apa-apa tantangan udah siap menerkam. Baru aja mau jalan batu kerikil udah membentang siap menusuk-nusuk telapak kaki. Entar lagi pasti batu besar di hantam ke arahku.

Tanpa ada proses pemilihan, kami bertiga di lantik dalam sidang akhir kelembagaan mahasiswa Sastra. Kali ini mental ku cukup dihantam. Ketua BEMFS lama di kritik habis-habisan sampe-sampe bibirnya bergetar. Habis mau ngomong apa lagi. Semua kesalahannya terbongkar semua termasuk penyalahgunaan dana. Emang ini ajang pembalasan dendam. Justru yang mengemukakan fakta-fakta kebusukan sang pemimpin adalah teman-teman dekatnya sendiri. Emang kalau bicara politik semua penuh intrick. Teman bisa makan teman. Gak kenal sahabat. Benar apa kata So Hok Gie, “politik itu seperti lumpur” Sekilas aku membayangkan tahun depan aku yang berdiri didepan dan akan dihabisi seperti ini. Waduh..mau ditempel dimana muka, udah hancur begini tambah berantakan. Kemudian Dani wakil angkatan 2004,

“Siap..siap bang! Tahun depan kamu.” Sambil terseyum. Cukup untuk memberikan peringatan. Seribu macam pikiran kocar-kacir menghantam otak ku. Aku tidak terlahir sebagai pemimpin. Tapi semua ku anggap sebagai kebetulan. Pelantikan siap dimulai. Layak gubernur terpilih, tangan kanan memegang bendera fakultas tangan kiri memegang bendera universitas aku mengucapkan sumpah. Saat ini mata ku berkaca-kaca. Hatiku dihinggapi suasana haru. Jangan pikir aku merasa bangga, tidak itu terlalu berlebihan. Hal mendasar adalah ,”Mampukah aku menjadi pemimpin yang jujur dan membawa perubahan?” Gila..gila aku yang benci politik tai kucing kayak gini harus nyemplung. Tak ada yang tahu kegundahan hatiku. Kan manusia pintar main sandiwara! Sidang pembantaian dan pelantikan ini berakhir dengan kaburnya sang mantan gubernur karena udah gak tahan lagi dengan peluru-peluru torpedo yang terus menghantam.

Baru aja mau mencari anggota. Isu-isu bermunculan dari angkatan bawah. BEM sama Senat Mahasiswa Sastra tahun ini tidak peduli dengan angkatan bawah. Dengan wajah yang merenggut Kiki mengampiri ku.

“Don, ada anak-anak angkatan bawah mengeluh kalau kita gak ngajak mereka di pengurusan ini terus mereka juga bilang kalau BEMFS sekarang ini gak jelas dan tidak ada pengenalan ke mereka.”

“Terus sikap kamu bagaimana?” Aku menangapi, karena aku pikir kalau dia yang dengar berarti dia sudah memikirkan langkahnya.

“Kita tetap aja jalan dengan cara kita.. tapi kita coba ajak aja mereka dulu yang kelihatan vocal seperti itu.”

“Aku tidak mau kerjasama dengan orang yang gak jelas. Menurutku biarkan mereka berpendapat. Tapi nanti kalau ada kegiatan kita libatkan mereka, tapi untuk meletak keposisi yang penting aku tidak setuju.” Kini aku lebih serius lagi. Saatnya untuk melakukan terbaik. Tidak ada waktu lagi untuk mengasihani diri sendiri dan membiarkan diri dalam ketakutan yang tidak pasti.

“Oke kalau gitu.. ini ada nama-nama yang saya usulkan untuk duduk di kepengurusan kita nanti.” Sambil menyerahkan kertas yang tercantum nama-nama anak-anak. Naluri laki-laki ku muncul. Berhubung ini beban yang cukup berat aku butuh partner yang pintar sekaligus cerah secara fisik. Biar otak gak senep.

“He..he..terus terang aku butuh sekretaris yang enak dipandang.” Aku berbisik ke wakil ku yang ada disampingku, jadi menurut kamu gimana?”

“Terserah kamu. Kalau itu bisa bikin kamu semangat kenapa gak” Mungkin pikirnya dia dasar laki-laki mata kerajang saat beginian masih mikirin perempuan.

“Baiklah sekarang kita kumpulkan mereka dulu sambil menjelaskan apa yang harus kita lakukan kedepan.” Aku memberikan instruksi.

Semua sudah berkumpul. Tanpa mereka tahu aku ajak bicara dan ini moment aku untuk memberikan penilain siapa yang layak untuk duduk di kepengurusan.. Sampe disini butuh ketajaman nurani, kelincahan berfikir, dan kepekaan terhadap orang lain. Dan tibalah saatnya menentukan sekretaris. Dan ini membuatku tidak pernah menyesal. Kehadirannya justru memuluskan langkah ku selanjutnya. Tentu saja dia gak tahu dengan otak licik ku. Nah, disini aku belajar menjadi seorang pemimpin itu harus sedikit licik.

Pilihan ku adalah seorang makhluk hasil produksi dari Sunda, Zwitsy atau Sisy. Tahu sendirilah kalau product asal Jawa Barat itu selalu prefect. Kalau cacat juga paling sedikit aja. Gak rusak-rusak amat. Secara loyalitas dapet, secara intelektual dapet, secara fisik oke. Saatnya menentukan rencana. Pembagian job description. Wakil bertanggungjawab kedalam. Ketua keluar.. ini kesempatan ku untuk memberikan kesan ke luar fakultas.

Biasa kalau awal-awal gini banyak undangan datang. Tentu saja aku mengajak sekretaris ku. Dan sudah dibayangkan ketika rapat perdana dengan BEM Universitas. Bisik-bisik sana-sini. Membahas dan menanyakan sekretarisku. Rapat berjalan dengan lancar. Meskipun lirik-lirik sembunyi-sembunyi ke arah sekretaris ku.

“Khusus untuk BEM sastra besok datang lagi bersama sekretarisnya.he..he..he..” Sang pemimpin rapat cengar-cengir. Ternyata seleranya sama juga. Gak bisa lihat yang bening-bening. Dan Sisy hanya tersenyum bingung bertamba malu-malu kucing. Emang ini reaksi normal perempuan, pasti dalam hatinya juga ada sedikit kebahagian. Habis dari tadi gak ada satu pun ketua BEM masing-masing fakultas hadir bersama sekretarisnya.

“Enak ya rapat di temani sekretaris. Cantik lagi..he..he.. berapa nomor telponnya.” Salah satu peserta rapat berbisik.

“Oh..ini tidak untuk konsumsi umum. Hak milik perorangan..he..he..” Aku menanggapi.

Nah langkah pertama sukses. Cukup untuk memberikan kesan. Pasti nama BEM Sastra akan terus dibicarakan. Yang bersangkutan gak tahu dengan akal licikku. Sebelum pulang pertanyaan meluncur dari mulutnya yang mungil;

“Kak, kok yang lain gak ada sekretarisnya?”

“Gak apa-apa dari sini kamu bisa belajar untuk mengenal kondisi universitas. Tadi malah mereka suruh kamu datang kalau setiap kali ada rapat.” Tentu saja bukan itu jawaban sebenarnya. Dia hanya terseyum-senyum kecil. Trik ini terus dijalankan. Setiap kali ada undangan selalu aku membawa sekretarisku karena ada catatat khusus dari yang mengundang

Pada tahap ini aku terus bergerak. Mulai dari penertiban adminstrasi, surat menyurat, proposal dan Laporan Pertanggungjawaban kegiatan. Perencanan program kegiatan. Akal ku benar-benar diperas. Tak ada waktu untuk berleha-leha. prioritas ku ada dua organisasi ini dan kuliah seperti biasa sebagaiaman seorang mahasiswa Dan hal yang membuatku semakin percaya diri adalah tim ku benar-benar orang yang tepat; berdedikasi, disiplin dan pekerja keras. Ditambah lagi dengan kehadiran seorang dosen, Sosok low profile dan selalu well come. Dosen satu ini termasuk dalam kategori kaum proletar. Dia selalu membaur dengan teman-teman mahasiswa, rokok bareng nonton bareng, kadang-kadang minum bareng. Tapi kalau masalah kuliah benar-benar strick gak ada istilah pengampunan. Kehadirannya merupakan cahaya lilin dalam terowongan. Tempat aku bisa menemukan ide-ide atau solusi terhadap permasalahan yang dihadapi tanpa harus bertemu secara formal. Dia lah Pak Retang.

“Donatus saya sudah pelajari program kerja kamu setahun kedepan. Dan saya stuju. Kamu harus persiapkan secara matang. Dan kalau kamu buntung temui saja saya. Dikampus atau dirumah.” Dengan logatnya khas orang Sumba dan nada-nada berirama bijak terdengar bagai tetesan air membasahi tenggorokan yang kering.

“Baik pak, pasti saya akan membutuhkan Pak Retang.” Jawabku dengan mantap.

Seiring berjalannya waktu, undangan dari Rektorat tiba. Agenda: membahas kenaikan biaya SKS. Aku sadar ini merupakan bentuk dari demokrasi. Mungkin pihak rektorat ingin mengetahui bagaimana reaksi mahasiswa. Dari pada tiba-tiba dinaikin malah bisa-bisa demo dimana-mana. Akhirnya lagi-lagi mereka yang pusing. Rapat…Tentu saja sekretaris ku selalu disampingku lengap dengan senjatanya. Pulpen plus buku angenda dan berhubung regenerasi itu penting maka disertakan juga Si ketua bidang kegiatan mahasiswa bidang akademik, Yona. Rapat dimulai dan sambutan dari Wakil Rektor III. Suasana semakin tidak nyaman bagi kedua manusia yang berada di samping kiri dan kanan ku.

“Kak, kok Sastra gak disebut ya?”

Aku hanya bisa tersenyum. Dalam hati aku bisa memahami pikiran mereka. Tapi disinilah jiwa seorang pemimpin diuji. Bagaimana memberikan semangat kepada bawahannya.

“Tenang aja! Nanti kita akan tunjukan kalau Sastra patut di contoh oleh Fakultas lain.” Ini seperti sebua nazar bagaiku. Aku gak tahu kenapa tiba-tiba muncul semangat untuk terus berusaha bagi Fakultas ini. Padahal sebelumnya, bodoh amat. Paling cuma jadi panitia dalam kegiatan. Rapat ini berjalan dengan lancar. Dan hasil akhirnya SKS tidak dinaikan tapi dikenakan biaya UKP bagi mahasiswa yang ambil matakuliah semester atas. Dan ini kebijakan jalan tengah dan kami perwakilan mahasiswa sepakat dengan keputusan ini setelah melalui proses penghitungan rumit ala akuntansi.

Lagi-lagi Wakil Rektor III memberikan sambutan penutup dan sudah bisa ditebak nama BEM Fakultas Sastra paling belakang di sebut itu pun agak tersendat-sendat. Lagi-lagi Yona protes,

“Kak.. kali ini disebut tapi kayaknya hampir lupa gitu. Kayak anak tiri aja ya.”

Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berjanji, Suatu saat bapak akan menyebut nama Fakultas Sastra paling depan dengan expresi yang membanggakan. Rapat selesai. Kesan tidak enak selalu tergambar di wajah kedua manusia ini.

“Ini tugas kita untuk menunjukan kalau kita itu ada. Jangan merasa rendah diri!” Sambil menepuk-nepuk pundak mereka.

Saatnya Sidang Akhir untuk kepengurusan BEM Universitas. Dan ketua BEM masing-masing fakultas dan seluruh ketua dan anggota senat mahasiswa masing-masing fakultas beserta para wakil angkatan hadir dalam rapat akbar ini. Dan Wakil Rektor III memberikan sambuatan untuk membuka sidang ini.

“Selamat sore.. Pada kesempatan ini saya sebagai Wakil Rektor III memberikan ucapan terimakasih dan penghargaan saya kepada BEM Fakultas Sastra atas dispilinnya selama ini, tertib admistrasi, program kerja berjalan sesuai dengan agenda dan LPJ masuk tepat pada waktunya. Saya harap ini menjadi contoh bagi BEM fakultas lainya. Saya mohon ketua BEM dari Fakultas Sastra untuk berdiri.”

Dengan senyum kelegaan aku berdiri dan tepuk tangan riuh menggemah memenuhi ruangan. Semua mata menyerot ke aku yang berdiri dengan penuh kepercayaan diri, sambil beberapa teman dari fakultas lain berteriak,

“Hidup Sastra! Hidup Donatus!”

Sampe disini aku merasa bahwa tidak ada yang sia-sia. Jika kita melakukan sesuatu dengan keyakinan, keikhlasan, dan kesabaran maka yang terbaik akan kembali kepada kita. Sidang ini pun berjalan sebagaiman mestinya. Seperti di fakultas tapi ini skalanya lebih besar. Tentu saja ada acara pembantaian juga. Tapi berhubung pemimpinnya adalah seorang yang benar-benar bijak, cerdas, berdedikasi tinggi sehingga dia tetap senyum dan menerima kritikan dengan lapang dada. Tanpa harus memajukan bibir beberapa senti sebagai ekspresi kejengkelan.