Entri Populer

Sabtu, 22 November 2008

Tuhan Dimanakah Kau?



Tuhan dimanakah Kau

Tuhan dimanakah Kau?

“Siapa lagi yang masih mempertanyakan tentang Tuhan?” Suara Pak Anton terdengar tegas dan lantang. Dosen yang miskin rambut ini sangat religus. Salah satu aktifitasnya adalah mengajar Bahasa Inggris di sebua biara tempat pendidikan para calon pastor. Selain itu aktifitas gereja adalah hal terpenting selain mengajar kami. Hal ini membuat ia sangat taat kepada ajaran kitab suci. Atau mungkin karena ketaatannya terhadap kitab suci yang membuat gaya hidupnya seperti ini? ah..gak pasti. Toh segala sesuatu membawa akibat dan sebab yang baru. Rupanya Vina barus saja di tembak habis-habisan sama si bapak.

“Seto pak!!” sambil menunjuk ke sosok yang baru saja muncul di ruangan dosen. Bisa ditebak, Seto kebingungan, gak tahu apa-apa langsung di tunjuk. Urat dahinya mengkerut dan..

“Ada apa toh?”

“Tuh, kamu dipanggil sama Pak Anton.” Vina tersenyum. Dalam hati dia pikir. Selamat menikmati perdebatan sama si bapak religius.

“Oh ternyata kamu juga.” Sambil geleng-geleng kepala.

“Silahkan duduk!”

Tanpa banyak bertanya Seto mengambil tempat duduk di depan si bapak. Wajahnya masih bingung. Dalam hati pasti ada yang gak beres ini. siap-siap aja. Tanpa ada basa-basi. Gaya dosen satu ini gak pernah berputar-putar tapi langsung pada pokok permasalahan.

“Kamu masih mencari Tuhan?” sambil memandang si tersangka di depannya lekat-lekat. Belum dijawab pertanyaan lanjutan muncul juga.

“Sudah kau temukan Tuhan ada dimana?”

Tanpa pikir panjang Seto langsung jawab.

“Belum Pak. Saya masih proses mencari.” Sedikit senyum. Pikir Seto ini pertanyan lucu. Tiba-tiba kok nanya beginian. Ah..paling juga si bapak ngelawak.

“Jadi kamu masih mencari? Tuhan itu gak perlu di cari. Kalau kamu bertanya secara logika tidak akan ketemu.. Jalankan saja perintah Tuhan maka hidupmu akan tenang. Tapi tentu saja perintah yang mengandung cintakasih.” Si bapak berceramah panjang lebar.

“Tapi ini kita bicara konsep pak, menurut saya Tuhan itu gak ada. Karena manusia yang menciptakan itu.” Bantah seto.

“Itu pendapat dari mana? Atau kamu jadi bagian dari kelompok atheis? Orang yang gak percaya sama Tuhan itu sama aja dengan manusia yang susah hidupnya. Karena dia ragu. Nah hal pertama itu kita harus percaya.

“Tapi kita tidak harus percaya membabi buta tanpa harus tahu, pak.” Seto gak mau nyerah begitu aja.

“Kalau dalam konteks iman kepada Tuhan itu wajib “yakin.” Kalau kita gak yakin sama aja kita ragu dengan keberadaan Tuhan, itu berarti gak jauh beda dengan orang-orang yang gak beragama, atau beragama tapi perilakunya gak manusiawi. Atau kamu jadi pegikut aliran kepercayaan baru?” Susah kalau bicara masalah Tuhan sama orang yang benar-benar “religius” apa pun pendapat mu bakal di mentahkan

“Gak, pak. Bukan itu persoalannya. Menurut saya konsep tentang ketuhaan itu justru membuat hidup orang beragama menjadi rancu. Selalu memuja Tuhan biar dapat pahala. Kan sama aja dengan nyogok pak. Baik-baikan sama orangnya biar entar kita minta bantuan apa aja dikasih. Terus kalau bencana alam, itu hukuman dari Tuhan. Katanya Tuhan maha pengampun kok manusia dihukum. Trus satu lagi pak, berperang untuk membela Tuhan. Kok bisa Tuhan maha kuasa kok harus dibela-belain. Itu konyol pak.” Rupanya Seto udah gak tahan lagi kemudian membalas tembakan.

“Nah kalau kamu melihat sisi itu. Itu manusianya bukan Tuhan. Banyak sekali orang yang merasa tangan kanan Tuhan. Ada nabi-nabi palsu, terus sekarang banyak teroris yang merasa membawa amanat Tuhan dengan membunuh manusia-manusia tidak berdosa. Itu sebenarnya sudah tercatat dalam alkitab. Ini gejala-gejala akhir zaman. Makanya untuk memperpanjang akhir zaman kita harus yakin akan kasih Tuhan dalam hidup kita.”

Sampai tahap ini Seto bingung. Kenapa jadi panjang lebar begini. Mana aku urusan sama alkitab cs apalagi tentang ramalan akhir zaman. Sadar gak bakal ada titik temu kali ini dia mau cari teman.

“Itu pak, Donatus juga.”

Aku yang duduk membelakangi mereka dari tadi sibuk dengan computer, sedikit siap-siap kalau si bapak melemparkan pertanyaan.

“Oh..jadi kamu juga, Don? Masih mencari Tuhan juga?”

Biasa nya manusia belajar dari pengalaman orang lain. Tanpa ragu lagi aku mulai berspekulasi.

“Kalau menurut saya Tuhan ada didalam hati pak gak perlu dicari diluar sana. Itu sama aja dengan memindahkan air laut ke dalam sebua lubang kecil.” Siap menunggu tanggapan. Meskipun aku paham apa maksud Seto. Mengingat si bapak make sudut pandang berbeda, maka aku banting setir ikut jalan si bapak

“Iya benar itu.”

Aku terseyum kecil melihat wajah Seto. Dalam hati dia pikir. Dasar pengkianat. Dia juga yang sering ngomong beginian. Bukannya bantuin jelasin. Malah nyari titik aman. Selanjutnya si bapak melanjutkan ceramah agamanya dan Seto diam mendengarkan.

“Bla..bla…bla…bla..and bla…bla.. Sekarang kamu paham?”

Gak perlu pikir panjang lagi, kan percuma juga kalau bantah. Dari pada pusing-pusing.

“Iya pak” Seto menanggapi kemudian meninggalkan ruangan.



Cikal bakal keresahan ini adalah munculnya kaum “Meragukan konsep Tuhan.” Aku sendiri bagian dari komunitas ini. Aku yang boleh dibilang sedikit murtad mencoba memahami agama dan ketuhanan menurut pikiranku. Pada dasarnya manusia adalah makluk social jadi dia butuh orang lain. Awalnya aku dan Seto sering diskusi tentang hal ini. Kemudian bertambah dan bertambah. Ternyata banyak anak-anak Sastra yang tertarik dengan diskusi seperti ini. Diam-diam Vina dan mahasiswa seangkatannya, Aku, Seto, dan teman-teman 2004 lain menambah suasana baru sebagai komunitas yang di cap kaum atheist.

Pada waktu itu, aku jadi anggota senat mahasiswa, tugas ku adalah menyerap aspirasi dari teman-teman mahasiswa. Dan tanpa ku duga aspirasi tertulis disitu seperti berikut;

“Buat Komunitas diskusi tentang Agama”

“Bikin UKM Spiritual dan Meditasi

“Ayo teman-teman kita bikin kelompok Yoga”

Dan ternyata ada yang lebih ekstrim lagi,

“Hidup kaum atheist! Mari kita bawah pencerahan bagi orang-orang yang berada dalam penjara iman yang membabi buta”

Kemudian ada juga lembaran kertas lainnya yang gak mau kala.

“Selamat kan mahasiswa Sastra dari kesesatan!”

“Wahai mahasiswa akhir zaman sudah dekat, sekarang banyak sekali pengikut Lucifer berkeliaran.”

“Teman-teman ku peliharalah imanmu!”

Disamping aspirasi lain tentang akademik dan sarana kuliah. Kelompok aspirasi ini cukup membuat ku diam sesaat. Gila..kayaknya ada perang dingin. Diam-diam kedua kubu bergentayangan. Kaum Theist sama Non-Theist lebih ekstrim atheist. Meskipun kami sendiri punya konsep sendiri Agnostic-humanitarian adalah pas buat kami. Dan parahnya lagi kami gak peduli tetap saja berjalan seperti apa adanya. Ya mau gabung silahkan, gak silahkan. Setiap manusia punya hak kok. Perang dingin tetap jalan. Tibalah kegerahan dari salah satu pihak, aku diundang dalam pertemuan secara empat mata,

“Don..kami dari Perkumpulan Doa, mau mengadakan kegiatan reat-reat, saya harap kamu sama teman-teman bisa ikut.” Wajahnya serius. Sepertinya ada persoalan berat. Pertemuan ini justru bagi dia adalah sebua perjuangan.

“Ya..kalau saya sih sepertinya gak bisa, tapi teman-teman lain mungkin bisa. Kenapa gak ditempelkan aja pengumumannya biar teman-teman tahu kalau ada kegiatan seperti ini?” Aku masih belum maksud dengan arah pembicaraan ini.

“Kita sudah pasang pengumuman kok..tapi sorry ya..”

“Maksudnya?”

“Kamu paham lah..kalau selama ini aktifitas berbau keagamaan kurang eksis di Sastra, jadi saya dan teman-teman mengharapkan peran serta kalian semua. Dan kamu cukup vocal di Sastra jadi saya mohon bantuannya untuk menggerakan anak-anak disini. Begitu maksudnya.” Sedikit tersenyum

“Kalau itu aku gak bisa jamin. Soalnya teman-teman punya pilihan sendiri.” Sebenarnya sih aku sungguh-sungguh gak tertarik dengan kegiatan semacam ini. Ini dipengaruhi dengan kemuakan yang muncul di otak ku.

“Selama ini saya tahu kok siapa kamu? Dan bagaimana pemikiran kamu? Khusunya tentang agama. Sampai-sampai teman-teman banyak yang ikut kamu. Makanya kamu yang harus saya ajak bicara.”

Waduh..kayaknya arah pembicaraan menuju pada kami kelompok kamu atheist. Dan sepertinya dalam pikiran mereka aku lah sumber persoalan ini. Cara berpolitik. Menemukan kepalanya terus pegang kalau kepalanya bisa digiring berarti bawah-bawahnya ikut juga. Tapi sayang aku punya prinsip.

“Maaf sebelumnya, aku merasa bahwa segala sesuatunya terjadi begitu saja. Aku sendiri gak punya pikiran untuk mempengaruhi teman-teman. Sebenarnya mereka selama ini merasakan hal yang sama. Kemuakan dengan ritual agama dan konsep ketuhanan yang rancu cuma mereka gak berani bicara. Nah begitu ada orang yang berani bersuara maka mereka semua merasa punya teman.”

“Ya mungkin seperti itu. Makanya saya mengharapkan peran serta kamu dan teman-teman. Gak perlu dijawab sekarang mungkin kesempatan lain. Terus terang saya mengharapkan kamu ikut kalau teman-teman lain belum sempat.. Toh Tuhan pasti tahu jalan yang terbaik.”

Aku hanya menganguk. Dalam hati, iya Tuhan lagi.. aku berusaha untuk membuat lawan bicara ku bisa mengerti.

“Ya..kalian juga harap bisa mengerti bahwa setiap orang punya fase masing-masing. Ini pun dalam hubungan dengan iman. Masing-masing orang punya pengalaman spiritual sendiri. Mungkin tahap seperti kami ini harus dilewati. Jadi gak usah kuatir.”

“Mudah-mudahan kembali kejalan yang sesungguhnya.” Senyum sedikit.

Ternyata dimata kelompok kaum agamis kami adalah orang-orang yang tersesat. Dan mereka mengharapkan kami untuk kembali kejalan yang benar.. Atau justru sebaliknya? Ah pahami sendiri lah!

Sementara mereka punya lentera Tuhan yang selalu menerangi jalan hidup dan menganggap kami gak punya. Padahal kami punya lampu senter yang kami bawa masing-masing untuk bisa menerangi jalan kami.

Semangat untuk terus mempertanyakan Tuhan sebagai esensi dan konsep serta tradisi agama membara dalam diri kami yang sudah dicap oleh teman-teman penganut setia agama tertentu sebagai kaum sesat. Dan tanpa diduga kami mengambil kelas yang sama. Cukup untuk membuat kami tersenyum dan berkata dalam hati

“Sepertinya ini kelas mengasykan”

Matakuliah AGAMA. Gak pernah kelas ini sepi. Bagaimana tidak mahasiswanya seperti kami. Dalam matakuliah ini ada dua kategori mahasiswa. Pertama, Ikut saja yang penting bisa lulus. Dalam kelas diam dan mendengarkan adalah cara terbaik sambil melihat jam trus berpikir kapan pulang ya? Kedua, mahasiswa yang bersemangat sekali gak pernah bolos, gak pernah terlambat, kerena ini adalah momentum untuk membantah sang dosen. Sepanjang jam kuliah gak pernah diam selalu menguasai keadaan. Dan kelompok kedua ini lah yang mendominasi kelas ini.

Sudah dapat dibayangkan dosen agama kami tercinta yang sehari-harinya mengajar agama di SMA-SMA elit di Kota Semarang sering diam. Sekali dia mengeluarkan pernyataan. Maka seperti bola tanggapan dan sanggahan dari kami membentur kesana kemari. Sampai sang pendidik ini diam sesaat untuk memikir kira-kira bicara apa. Karena setiap pernyataan akan membuka pertanyaan atau pernyataan baru yang berlawanan.

“Awalnya saya pikir kelas ini pasti seperti sebelumnya. Mahasiswanya hanya diam dan mencatat tapi ternyata saya keliru. Kalian semua kritis sekali. Sepertinya saya harus lebih mempersiapkan diri.” Si bapak yang dikategorikan sebagai dosen tamu ini berkomentar. Dalam hati, belum tahu dia..ini baru permulaan pak.. jadi silabus yang bapak pake hanya buat symbol saja. Karena kami akan selalu membawa topik-topik yang selama ini kami diskusikan diluar untuk mengharapkan tanggapan bapak. Maklum namanya juga mahasiswa. Idealismenya masih dipegang kuat, darah muda nya selalu mengelora. Tapi lain cerita kalau sudah gak mahasiswa lagi. Apalagi nyari uang susah ya..luntur juga idealismennya.

“Baiklah karena kalian kritis dalam hal ini maka saya berikan tugas untuk membuat makala tentang sekilas ajaran pokok agamanya masing-masing Dan jangan lupa minta tanggapan dari masing-masing tokoh agama.”

Tiba-tiba vina nyeletuk,

“Maksudnya agama yang di KTP, pak?”

“Kok begitu? Memang agama anda ada berapa?” Si Bapak bingung kok bisa muncul pertanyaan seperti ini.

“Justru itu pak..saya sendiri gak punya. Punyanya yang di KTP.”

“Oh kalau masalahnya begitu. Menurut kamu selama ini kamu menjalankan ajaran agama seperti apa itu yang kamu buat.” Si bapak memberikan tanggapan. Rupanya dia paham sedang menghadapi mahasiswa setengah atheist

“Kayaknya gak perlu pake tanggapan tokoh agama pak. Paling juga pendapat mereka sama.” Aku memberikan masukan.

“Iya pak” yang lain bersorak.

“Tidak bisa. Karena pendapat kalian itu harus didukung oleh tokoh masyarakat. Hal itu menunjukan kalau bisa dipertanggungjawabkan.”

Akhirnya kami sepakat ikut saja maksud sang bapak. Lagi-lagi teman-teman yang tergolong kaum abangan (agama hanya KTP) kebingungan. Tokoh siapa yang bisa dimintai komentar? Karena pasti kami akan memakni konsep Tuhan dan ajaran agama sesuai dengan pemahaman kami. Satu-satunya cara adalah mengarang sendiri nama dan tanggapan sang tokoh. Dan tibalah hari pengumpulan tugas.

“Donatus..Kesini sebentar.” Si bapak serius sekali membuka setiap lembar makala yang dipegang. Matanya melotot diatas frame kacamatanya. Karena kacamatanya sedikit diturunkan. Aku pun maju dengan percaya diri. Siap-siap..

“Ada apa pak?”

“Kamu..buat tentang Agama Buddha..Memang agama kamu Buddha toh? bukan Katolik?”

Diam sesaat..berfikir kira-kira kata-kata apa yang bisa diucapkan.

“Secara turun temurun Katolik pak Tapi saya tertarik dengan Ajaran Buddha.”

“Kenapa kamu tidak bahas tentang Katolik saja?”

“Tadinya saya mau bahas tentang Katolik tapi saya pikir bapak juga Katolik banyak teman-teman disini bakal bahasa Katolik jadi saya bahas Ajaran Buddha saja. Toh ini bisa jadi materi yang menarik” Aku sedikit berspekulasi. Menunggu tanggapan dari si bapak.

Sambil melihat-lihat makala ku dan mengangguk-nganguk, “Bagus..ternyata kamu tahu banyak tentang ajaran Buddha. Kamu punya buku? Ya..yang dasar-dasar saja tentang Ajaran Buddha.” Menatap ku yang duduk di depannya.

“Oh.gak banyak pak saya juga masih belajar kok. Kalau masalah buku nanti saya bawakan, pak” Senyum sedikit

“Silahkan kembali ke tempat duduk anda!”

“Terimakasih pak.”

.Kemudian seperti biasa kelas ini menjadi kelas yang penuh dengan perdebatan. Dan ujian akhir. Kami tergolong kaum Atheist dan setengah atheist ternyata dapat nilai A. kemudian sambil menikmati nilai yang memuaskan ini, Vina mendekati;

“Don tahu gak kenapa kok kita dapat A padahal kita selalu bantah dengan perkataan bapak agama?”

“Gak tahu”

“Karena kalau dia ngasih kita B atau C kita bakalan ngulang dan itu bikin dia tambah pusing. Makanya dia ngasih A biar kita gak ngambil lagi kan dia bisa bebas.”

“Masuk akal juga sih.”



Lagi-lagi Seto terlibat dengan perdebatan tentang Tuhan. Gara-gara di lembar ucapan terimakasih bendel skripsinya bukannya kata ‘Yesus’ duluan yang ditulis, Justru ‘Buddha Gautama’. Kali ini Bu Rosa yang satu perguruan dengan Pak Anton alias dosen agamais merasa ada yang gak beres. Maklum si ibu gak tahu kalau Seto bagian dari komunitas setengah atheist. Sebenarnya mereka berdialog pake Bahasa Inggris, tapi dari pada diterjemahkan lagi pake Bahasa Indonesia saja.

“Seto..kenapa kamu justru menulis nama Yesus dibelakang?”

“Menurut saya Yesus dan Buddha Gautama adalah guru saya.”

“Tapi seharusnya kamu tulis Yesus duluan kerena dia itu Tuhan tidak sekedar guru. Posisi itu yang membedakan dia dari yang lain.”

Gawat… Seto harus siap-siap lagi. Rupanya si ibu serius omongin masalah ini. Padahal perasaan gak ada hubunganya sama ujian skripsi deh.. tapi ya sudah. Api sudah dinyalakan, layani saja.

“Kalau dalam padangan saya bu, Buddha Gautama merupakan sosok yang patut saya ucapkan terimakasih kerena ajarannya telah mengubah hidup saya menjadi lebih baik. Kemudian Yesus dengan ajaran cinta kasihnya, sosok yang membuatku lebih peduli dengan orang lain.. keduanya adalah guru tidak lebih dan sama.”

“Seto, kamu harus tahu Yesus itu Tuhan..”

“Sepertinya kita punya sudut pandang yang berbeda bu, saya tidak bisa memaksakan konsep saya ke ibu atau sebaliknya.”

“Ini hanya masukan Seto”

“Baik bu, terimakasih atas masukannya.”






Rabu, 19 November 2008

Asmara..oh..Asmara


Asmara oh

Asmara oh..Asmara..


Jatuh cinta? Waduh indahnya, tapi gimana kalau ditolak?, dikiayanati?, gak berani menyampaikan? Atau si dia sudah punya pacar? Pasti lemah, lesuh, gak ada gairah hidup, trus pengin kabur dari dunia ini. Kali ini Yudha dan Agung gak bisa ngelak lagi. Diam-diam Yudha mengagumi si Mella, gadis bertubuh ramping. dan Agung dengan idolanya gadis bertubuh bongsor asal Fakultas Ekonomi. Gadis-gadis ini bagi mereka adalah cahaya lilin dikala mati lampu, seteguk air dikala air galon di kost-kostan habis, sebagai kipas angin dikala panas kota semarang menyayat kulit. Atau sepotong tempe di saat gak punya uang buat beli lauk.

Si Makluk zaman batu ini sedang kasmaran. Selalu saja loyo kalau gak lihat sang idola hati. Dan begitu seberkas bayangan nongol dibawah tangga, dunia serasa bertabur bintang dengan bunga bermekaran dimana-mana. Sang bidadari telah tiba. Aksi dimulai,

“Mi kok datang telat sih, papi udah nunggu dari tadi.” Wajahnya serius, seolah-olah gadis didepannya adalah istrinya. Yang disapa gak mau kala bikin si giant baby semakin berbunga-bunga.

“Habis tadi macet sih, papi main ninggalin aja.” Sambil mengerutkan keningnya. Pintar juga aktingnya. Hati si Yudha semakin berbinar-binar mirip bintang dari timur yang mengantarkan para tiga raja menemukan tempat kelahiran Yesus.

“Maaf mi, habis tadi ada urusan mendadak.”

“Tiada maaf bagi mu!”

Dasar..laki-laki kurang kasih sayang. Pacaran gak..Istri bukan. Pake mi..mi an segala. Emang ini karakternya si pemuja wanita berbadan sapu lidi. Adegan papi and mami berlanjut terus. Gak cuman di kampus, via sms berlanjut..hubungan main-mainan ini pun terbaca oleh pihak yang merasa memiliki si gadis.

Tiba-tiba wajahnya berubah jadi laki-laki paling malang sedunia. Gara-gara ada sms yang masuk,

“Jangan macam-macam sama pacar ku ya!!Awas kamu.” Bunyi sms ini cukup meresahkan pria berbadan gajah ini.

Pie ki?” Rupanya dia semakin bingung. Tiba-tiba sms masuk lagi.

“Pokoknya jangan dekatin dia lagi, kalau sampai kamu berani jangan salahkan saya. Kamu tahukan siapa saya?” Mati..ancaman semakin serius. Bagaimana gak kuatir pemilik nomor ini adalah salah satu penegak hukum di negri Indonesia Raya ini alias polisi. Kalau sudah begini peran teman dibutuhkan. Manusia emang egois ya..saat senang di rayakan sendiri tapi begitu susah butuh orang lain.. Siapa lagi yang bisa diandalkan kecuali Seto. Seorang yang gagal masuk Akpol ini punya kenalan polisi seabrek mulai dari polisi jalanan sampe berpangkat jendral. Jurus pertama telpon ke yang punya posisi lebih tinggi dan berhasil.

Si Polisi ini dimaki habis-habisan. Gak mungkin berkutik secara pangkat dia lebih rendah. Hanya bisa mengatakan “Siap Pak!” Aku berfikir, enak ya punya jabatan dan kekuasaan bisa main perintah aja, trus main nekan. Si Yudha terselamatkan meskipun habis itu kebiasaanya kumat lagi. Selalu mendekati perempuan berbadan sangat ramping yang sudah punya pacar.

Dan emang ini musimnya jatuh cinta. Si Agung gak tinggal diam berpartisipasi dalam kisah-kasih ini. Pertemuan dengan gadis Fakultas Ekonomi dalam suatu kegiatan di Vihara bikin dia gak bisa tidur, susah makan, lemah, lesuh, bingung pokoknya mengharubirukan. Dengan berat hati (Antara ragu, bingung, kangen, dan lain-lain saling mengisi bilik hatinya) dia berangkat juga menemui pujaan hatinya.

“Permisi tante, Angel ada?” Tersipu malu.

“Oh..ada..Angel ada teman mu.”

“Iya sebentar.” Kemudian terdengar langkah kaki turun dari lantai dua.

“Oh Agung.” Sambil tersenyum.

“Ada apa, Gung?”

Pertanyaan gak diduga. Pada tahap ini orang yang sedang kasmaran mendalam akan gelagapan mau jawab apa.

“Em..tadi habis dari rumah teman terus mampir.” Padahal bukan itu jawabanya. Tujuan utamanya adalah datang kesini. Kamu gak tahu, Angel kalau semalam aku gak bisa tidur gara-gara mempersiapkan mental untuk bisa datang dan melihat wajahmu. Kemudian pertanyaan klasik pun muncul.

“Kamu gak sibuk?”

“Gak sih tapi lagi nunggu teman mau ngerjain tugas.” Sambil mengambil tempat duduk disampingnya. Gawat..detak jantung semakin kencang. Antara senang, bercampur gerogi deg..degkan. Angel ambil posisi duduk sangat dekat habis gak ada tempat lain. Dalam hati rasanya ingin terus berlama-lama seperti ini.

“Emangnya kenapa?” Mata mereka saling pandang. Dalam hati aduh..mata itu begitu indah. Gak lagi konsen dengan pertanyaan itu.

“Kenapa sih kok lihatnya begitu? Ada yang salah?” Angel penasaran ditanya kok diam aja sambil melotot.

“Oh..gak-gak kok” Seolah-olah tersadar. Yang salah adalah kenapa aku harus kasmaran dengan kamu. Padahal aku tahu kalau kita gak mungkin bisa bersatu. Rasanya terlalu berat untuk melangkah. Tapi iya love is blind, hati Agung merintih. Mawar ku kamu gak tahu kalau begini saja aku sudah sangat bahagia. Dasar pria melankolis! Sekarang jadi mati kutu. Coba kalau lagi sendirian pasti ngahayalnya macem-macem. Bisa pergi berduaan dinner bareng di terangi nyala lilin-lilin dan diringi lagu-lagu cinta. Sebelum makan dia akan memberikan sekuncup bunga sebagai bentuk expresi rasa cinta. Uh..So romantic. Tapi gak kalau berhadapan langsung begini.. mulut seperti di bungkam ratusan lembar isolasi. kata-kata hilang semua dari pikiran. Entah kemana. Tiba-tiba,

“Eh..teman ku udah datang tuh.” Melotot ke parkiran depan rumah.

Dalam hati Agung hanya bisa mengeluh. Pernyataan Angel itu punya satu makna, cepat-cepat angkat kaki. Padahal kan masih pingin duduk berduaan. Meskipun cuma saling lihat aja. Kenapa mesti sekarang orang ini datang? Menganggu kebahagianku aja.

“Ya udah aku pulang dulu ya.” Suaranya merendah, sambil mengenakan jaket. Persiapan mau pulang.

“Mau pulang sekarang toh? Kan belum ngobrol lagi.”

“Teman mu kan udah datang mau bikin tugas. Jadi aku pulang aja.” Sebenarnya aku masih mau disini malaikat ku tapi gimana sepertinya pertemuan kita harus berakhir disini.

“Ya udah hati-hati ya, Gung!” Angel berdiri dan mengantar si secret admirer nya keluar.

Di rumah, pikiran Agung mulai melalang buana menyusuri masa lalu. Rangkaian waktu telah menghadirkan pertemuan-pertemuan yang disulam apik dalam relung hatinya. Angel..Angel.. Awalnya kita bahkan gak kenal. Gara-gara waktu pertemuan pertama untuk acara Waisak di Borobudur kata-kata mu, “Terserah aku ikut siapa aja.” Teman-teman lain pada bingung mau berangkatnya sama siapa dan bagaimana lagi-lagi kamu cuma bilang, Terserah dan terserah.. tapi kenapa kok aku begitu terkesan ya dengan kata itu? Sial!! Ini gara-gara Donatus.. dia yang manas-manasin keadaan. Katanya kalau cewek yang selalu bilang terserah itu bakal menjadi cewek yang asik..apalagi kalau dia belum punya cowok…bla..bla...bla.. Aku sepertinya tersihir dengan pendapat manusia sok tahu itu.. Dan kamu hadir seperti kuncup bunga yang gak pernah layu menghias bilik hati ku. Rasa kasmaran ku terpahat semakin indah. Ketika Hari Waisak, kita selalu jalan bareng.. bercengkerama tentang banyak hal. Aku semakin membiarkan rasa ini tumbuh dan tumbuh. Malam hari aku rela tidur di kursi karena tempat tidurku buat mu. Dalam derita tidur dengan kaki yang ditekuk-tekuk toh aku tetap bahagia. Kesakitan sepertinya luluh ketika aku membayangkan dirimu. Semuanya ku lakukan untuk mu, oh..Mawar ku. Tapi apakah kamu merasakan hal yang sama?

Dasar orang terlalu pintar begini nih. Ngomong donk! Mana dia tahu kalau kamu lagi kasmaran sama dia. Sepertinya kamu hanya bisa menikmati imajinasimua aja, bro. Waktu terus berjalan pokoknya aku harus bisa mengatakan kalau aku suka sama dia. Semangat mengebu-gebu.. kali ini Si Tompel benar-benar mau berjuang untuk mendapatkan cinta Si Angel. Lagi-lagi gak bisa. Gara-gara dia datang tapi di rumah ada teman nya Angel. Cowok lagi.. pikiran sudah macem-macem.. Apa itu cowok pacarnya? Atau yang lagi Pendekatan, kok kayaknya mereka akrab banget. Sepertinya berat kalau maju terus. Disini jika seorang yang lagi kasmaran pasti mucul hasrat possessive nya. Takut kala saingan Agung memutuskan untuk pergi buru-buru.

“Kok baru datang langsung pulang?” Wajah Angel sedikit cemberut.

“Aku lupa ada janji sama teman.” Mencari alasan. Gawat..gimana mau rebut hatinya si gadis kalau sebelum perang udah angkat bendera putih duluan. Dengan wajah lesu sang pejuang cinta ini pulang dengan bendera putihnya dikibarkan tinggi-tinggi.

“Kita juga mau pergi kok” Melirik ke teman cowoknya

“Oh…ya udah aku pulang dulu.” Wajahnya menunduk seperti kala judi ratusan juta. Dengan penuh penderitaan, Sang pejuang sebelum perang ini berusah melupakan pujaan hatinya. Tidak ada lagi sms atau telpon. Tidak adalah kunjungan ke bangunan bertuliskan “Tokoh Mawar.” Benar..benar.. kamu memang mawar yang berduri. Keindahan mu membuatku takjub tapi duri mu selalu menusuk-nusuk hatiku..hiks..hikss..

Kemudian kabarpun terdengar kalau Si Gadis yang bermukim di Toko Mawar ini sudah menikah. Senyum bersemi dibibir Si Tompel, coba kalau aku masih kasmaran sama dia bisa-bisa aku gantung diri atau minum apotas. May you always be happy, My Rose. Kini sudah ada bidadari lain berbadan bongsor juga sedang bermukim di hatiku, dia gadis yang tinggal kost-kost an di pintu pagarnya bertuliskan “Roma” Apakah nasib ku kali ini sama juga? Ah..gak tahu..

Hasrat Yudha untuk mendekati perempuan yang berstatus ‘hak milik’ orang kumat lagi. Kali ini gadis yang lebih ramping. Menurut sang pemuja idolanya adalah luar biasa. Miss universe aja kalah. Hari-hari nya kembali bahagia setelah skandal satu teratasi.. “Jadikanlah aku yang kedua” lagu yang dinyanyikan Astrid cocok banget buat dia. Handphone selalu penuh dengan foto si ramping ini. Foto lagi tidur sampai beraksi bak model di simpan di memory HP sampai-sampai memorinya gak cukup. Maklum si ramping tergolong perempuan narsis. Semua berjalan mulus-mulus saja. si Ramping sepertinya menikmati kebersamaan ini. Maklum pacarnya kerja di luar kota jadi ya..buat hiburan gak apa-apa lah dari pada stress. Realistis aja lah.

Tiba-tiba si manusia kebo ini kaget dan beranjak ke kamar mandi begitu melihat sms terterah di layar Hp nya,

“Kangen”

Dan sms itu dari Si Ramping seperti kesurupan dia langsung cepat-cepat berangkat ke kampus. Padahal bisa saja sms itu salah ngirim. Tapi bagi orang yang kasmaran pasti gak pikir panjang nikmati saja. Hati nya sumringah begitu melihat sang idola tersenyum malu bersama teman-teman lain. Akhirnya mereka pergi nonton bareng. Kebahagian dan kearaban semakin melekat. Emang kalau sudah begini manusia sering lupa diri. Kalau senang pinginnya keterusan. Padahal gak bisa, hidup kan ada dua sisi senang dan susah. Seperti kata orang bijak ketika kebahagian sedang bercengkrama dengan anda di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur. Tiba lah kesakitan itu. Semua akibat kenarsisan kedua anak manusia ini. Ditambah aku yang lagi belajar memotret. Foto “kemesraan” mereka di cium sang pacar. Sudah dapat dibayangkan apa yang terjadi. Acara jalan bareng di liputi kelabu karena si ramping pulang di tengah jalan sambil nangis-nangis. Isu mulai berkembang diantara kami. Ini semua gara-gara foto “gendong” yang barusan di lihat sang pacar. Yudha merasa bersalah. Dia sebagai subyek dalam persolan ini. Karena ketelodaran dan gak hati-hati persoalan ini pun muncul. Coba kalau aku nolak di foto kayak gitu.. Pasti gak terjadi. Hatinya meradang. Tapi mau gimana semua sudah terjadi. Biasa penyesalan datang terlambat. Selama jalan bareng, Yudha terlihat banyak diam gak seperti biasanya. Sumber kekonyolan.

Dan saat yang membuat si giant baby siap mental.

Tirai wisma di buka ada tamu datang.

“Yudh, ada yang nyari tuh.” Aku menatap wajahnya. Kasihan juga. Kalau diurut-urut aku secara gak langsung terlibat dalam permasalahan ini. Coba kalau aku hidden foto mereka, gak mungkin masalahnya jadi berabe begini.

“Gini Yudh, Aku itu gak masalah kalau kalian pergi bareng. Dan mengenai foto itu, aku cuma kuatir kalau nanti orang-orang nilai yang macem-macem.” Pacar Si Ramping buka mulut. Kehadirannya ingin menjelaskan kesalahpahaman.

“Terus terang aku gak cemburu sama kamu..kita saling kenal kok, Cuma sikap dari dia (si ramping) yang bikin aku jengkel. Dia gak terbuka malah mutar-mutar makanya aku jengkel”

“Iya aku juga sorry banget.. semua karena kesalahan ku juga.” Sambil menunduk si giant baby, menyadari kesalahannya.

“Gak apa-apa aku cuma minta tolong foto itu dihapus ya. Trus kalau mau pergi-pergi ajak dia juga ya.. jangan trus kalian cuekin dia gara-gara ini.”

“Oh..iya..kita gak bakalan nyuekin dia.” Senyum bersemi dibibir. Sedikit lega. Untung sang pacar bukan orang yang sangat possessive atau berpikiran picik. Kalau gak bisa-bisa dia disuruh bikin MOU (memorandum of understanding) alias kesepakatan berdasarkan hukum kalau mereka tidak ada perasaan apa-apa. Sekali melanggar berurusan dengan pengadilan.



Jumat, 14 November 2008


Carpe Diem

Agak kurang percaya juga. Pada akhirnya aku jadi mahasiswa. My dream comes true, kira-kira begitu kalau aku sedikit berbunga-bunga. Hari pertama kami, para calon mahasiswa harus berkumpul dan berbaris di tengah lapangan. Gak ada satu pun kenal. Sudah biasa. Sejak SMK dulu aku sudah seperti orang hilang. Kambing berbulu hitam ditengah-tengah domba. Burung gagak terbang bersama burung merpati putih. Air kopi di antara air susu dan air coklat. Kira-kira seperti itu. Bapak Rektor ceramah panjang lebar di bawah tiang bendera. Aku ingat waktu SMP dulu. Paling suka kalau disuruh jadi pembawa bendera meskipun begitu persis di depan bendera kedua kaki ku bergetar semua karena gerogi. Habis itu teman-teman sama guru-guru ku cuma tersenyum. Gak berani mereka ketawa. Ini upacara bendera. Kalau sampe ada yang ketawa bisa-bisa di penjara. Tidak menghargai perjuangan para pahlawan zaman bahula. Teman-teman calon mahasiswa sudah mulai resah. Terdengar bisik-bisik. Dua makluk di depanku berbisik-bisik satu sama lain,

“Kok lama banget sih?”

“Heeng ih..udah pegel nih kaki”

“Kaki ku udah kesemutan nih.”

Sementara seorang mahasiswa di samping kiriku sudah memajukan bibirnya. Padahal gak perlu dia berekspresi kayak gitu, bibirnya udah maju sendiri. Pikirnya, “Sialan omong gak penting banget! Udah laper gak bar-bar.” Kalau kondisi seperti ini. Aku selalu melihat reaksi orang-orang disekitar ku. Sekarang samping kanan ku. Matanya mulai tertutup..kemudian badan bergerak maju…mundur….berhenti tiba-tiba. bergoyang lagi-lagi..maju..mundur dan kaget matanya dibuka. Ternyata si kebo ini lagi mau beranjak tidur. Gila badan segede begini. Bayangin aja. Kalau dia oleng kesamping. aku jadi korban tindihan makluk purba kala ini. Bisa-bisa jadi pisang penyet. Sepertinya dia baru saja dipaksa bajak sawah 10 petak. Lihat kesamping kiri…Waduh..burung pelatuk siap melubangi pohon. Itu bibir semakin lancip aja.. Gawat..bisa-bisa aku dipatukin sama dia. Sekilas kami saling memandang dan aku memilih untuk mengalihkan pandangan ketempat lain.
Dan berakhir juga berdiri di lapangan dengan suasana membosankan. Semua mulai berteriak, mengekspresikan kebahagiannya. Si burung pelatuk terseyum dan Si kebo sadar kembali. Rupanya mereka masing-masing punya teman. Jangan kira ini penderitaan berakhir. Belum! Bagai sapi di bawa ke tempat penjagalan kami digiring masuk kelas. Di pintu masuk ruangan itu tertulis “Adelaide.” Para senior gak ada yang senyum sama sekali. Kemudian mereka semua beraksi, membaca nama kami satu persatu.. Dan tibalah nama ku dibaca.
Dasar manusia gak pernah baca nama orang suci.
“Do….na…tus” Dengan terbata-bata sang senior ini membacakan nama ku.
“Hadir” “Baris di belakang!” Tiba-tiba aku kaget.
Si kebo yang tadi di lapangan ada juga disamping ku.
Dan satu kelompok lagi sama aku.
“Kenalan dulu mas, saya Yudha” Sambil tersenyum-senyum
“Donatus” Aku masih gak yakin juga, kok dia ada disini?

Selanjutnya kami mendengarkan aturan yang dibacakan dari para senior. Tampang mereka benar-benar kaku. Ya tahu sendiri lah.
Dan aku aku melihat ke belakang dan ternyata si burung pelatuk itu ada di sini juga. Maklum waktu itu masih sok jaim. Mana aku mau kenalan duluan, lagian aku masih terbayang kejadian di lapangan tadi.
Kita duduk diatas lantai kayak para nelayan asing yang di tangkap karena memasuki perairan Indonesia. Duduk menunduk sesekali mendongak kalau ditanya.
Senior mondar-mandir kayak angkatan laut Republik Indonesia yang sedang meronda. Kemudian setelah sesi serius sekarang sesi santai tapi menegangkan. Disini gak ada dosen berarti keselamatan kami calon mahasiswa baru terancam. Bakalan spot jantung bertingkat-tingkat. Bagi yang gak kuat dengan bentakan para algojo ini.
Kami dipaksa untuk menghafal lagu dengan syair seperti berikut:
Langkahku smakin mantap Masuk Fakultas sastra
Lihat anak sastra yang keren dan cantik
Tapi tak lupa ku harus giat belajar Biar bokap dan nyokap berbangga hati
Andai saja ku tidak di fakultas sastra

Aku tak akan bertemu teman-teman yang cakep Dan yang kece……

Plus gaya hasil koreografi amatiran ala sang ketua Senat Mahasiswa Sastra, Linggayani.
Gara-gara keesokan harinya kami diwajibkan mengenakan karton berwarna biru selebar dada sebagai identitas, sekarang aku baru tahu siapa nama si burung pelatuk itu, Diana dan disebelahnya selalu ada si gentong air di dadanya ada tulisan Metta.
Dua manusia ini di tambah si kebo jadilah kelompok kami seperti kumpulan manusia barbar. Sehabis sesi kami diwajibkan menyanyikan lagu tersebut.

“Sekarang coba nyanyikan lagu yang diajarkan panitia!!” seorang berwajah kaku mengenakan topi yang hampir menutupi wajahnya. Ada kesan serem.
Dialah si tukang bentak-bentak. Kami ikut saja instruksi itu.

“ Lebih keras lagi!!! Suaranya semakin tinggi. Suasana berubah jadi tegang. Tidak ada bisik-bisik, semua menunduk. Dan nyanyi lagi.
“Kurang keras!!!! Kalian dengar! Suara mahasiswa dari ekonomi saja sampe sini.” Intonasi suaranya meninggi sambil matanya melotot.
Sial pikir ku, pake bandingan ekonomi. Mereka orangnya banyak ratusan lebih. Nah kita Cuma lima puluhan. Tapi namanya anak baru, gak berani komentar apalagi situasi seperti ini. Cari aman aja. Dari pada jadi bulan-bulanan senior.
“Sekarang pake gaya!!” Pandangannya gak sedikitpun melirik kami, sepertinya bukan kami yang diperintah. Dasar senior gak tahu diri, seenaknya aja main nyuruh-nyuruh. Perasaan gak penting deh nyanyi beginian. Kira-kira begitu kegundahan yang sedang melahap seluruh isi kepala dan hati.
“Saya minta 2 orang maju, satu cowok satu cewek sebagai pemandu!!” Si tukang bentak melanjutkan instruksinya. Sampe disini kami tetap diam saja. Seperti patung. Yang bisa dilakukan adalah lirik kiri-lirik kanan. Berharap apakah ada yang jadi pahlawan sore ini. Mana ada yang mau..tiga kali latihan aja salah..salah terus.
Gawat..sudah 10 menit berlalu tidak ada yang maju.

“Selama tidak ada yang maju, kalian akan tetap berada di tempat ini. Kalau perlu sampe tengah malam atau besok pagi.!!” Pernyataan yang tegas tidak perlu penjelasan. Kami semakin resah. Tiba-tiba keresahan kami terobati dengan bergeraknya sosok berkepala botak. Langakahnya mantap seperti kepala pasukan.
Dia lah Seto, cita-cita mau jadi polisi tapi gak lulus test terpaksa masuk sastra. Dia naik keatas meja. Dan menuggu pasangannya. Dari kaum cewek gak ada yang maju. Sepertinya mereka belum siap dengan gerakan feminis. Dan tiba-tiba muncul juga penerus R.A Kartini, di dadanya tertulis Silvia. Akhirnya mereka berdua melakukan gerakan sementara kami ikut saja.
Dan gerak kan yang dilakukan tidak semulus yang di bayangkan.
“Aduh salah..” Seto mengeluh. Gawat sudah berkali-kali salah terus. “Kalau salah ulangi dari awal sampai benar!!!” Si tukang komando berdiri di samping Seto dan Silvia.
Urat-urat lehernya terlihat bergelombang. Giginya yang sedikit maju. Serem, tapi menggelikan. Terus saja kami melakukan gerakan dan berteriak-teriak. Gak peduli lagi harmonisasi suara maupun keindahan koreografi layak peserta Akademi Fantasi Indosiar.
Pokoknya gerakan benar, teriakan bisa membuat para senior ini mengatakan sudah cukup. Akhirnya berakhir juga.

“Lumayan untuk sore ini, walaupun saya merasa masih kurang” Senyum sinis terlihat dibalik topi hitamnya.
Sial!! Udah berteriak suara hampir habis. Bergoyang sampai kaki pegel-pegel, loncat-loncat sampai perut kram Cuma di bilangin lumayan. Dasar senior gak tahu diri. Demikian suara menggemuru di otakku.

Waktu sudah pukul 20.00 dan kami masih tetap duduk. Aturan dibacakan beserta apa saja yang harus kami bawa besok. Berbagai tugas diperintahkan seperti; bikin puisi pake bahasa inggris, bawa pita biru dan lain-lain. Saatnya pulang, pikir ku dan teman-teman,tapi

“Sebelum pulang ucapkan yel-yel beserta gerakan!!!” Si tongos ini rupanya belum puas dengan instruksi tidak logisnya dari tadi. Baiklah, pada kondisi seperti ini seorang calon mahasiswa pasti cari posisi aman. Gak ada yang berani bantah terang-terangan meskipun aku yakin di dalam kepala-kepala ini sudah menghujat sebanyak-banyaknya. Sial, brengsek, manusia tak berperasaan dan mantra-mantra ajaib lainya. Hanya untuk menunjukan ketidakpuasan. Dan tak perlu bertele-tele kami mulai,

We know no fear

We know no regret

Carpe diem
Long live Sastra
Kemudian,
“Kok saya gak dengar apa-apa ya?”
Gawat..ini artinya kami harus ngulang sekali lagi. Wajah-wajah di kelas ini sudah menunjukan kejengkelan yang amat..sangat dalam. Kulihat kebelakng si burung pelatuk bibirnya udah semakin maju, siap untuk mematuk dan muka si gentong air sudah memerah. Siap untuk mengglinding. Kalau si kebo ekspresi datar-datar saja. Sepertinya gak ada sedikit pun gambaran kejengkelan. Kayaknya dia tipikal orang yang pasrah. Dengan tenaga dan suara yang tersisa kami melakukan lagi..lagi..dan lagi.

“Baiklah cukup untuk hari ini!” Si tukang bentak ini berjalan ke belakang tanpa ada seyum sedikitpun. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Waktunya pulang.
“Sebelum kita pulang berdoa dulu..dan saya minta salah satu dari kalian mimpin doa.” Pembawa acara beraksi. Matanya melahap isi ruangan. Gak ada yang maju. Males banget..mimpin doa. Tiba-tiba kakak pendamping kelompok ku menaggapi.
“Saya minta Donatus yang mimpin.” Sambil mendekati aku.

Sial!!..kenapa mesti aku, coba? Kan masih banyak anak-anak lain. Hatiku berontak. Bukan masalah aku berdiri di depan dan menyusun kata-kata. Masalahnya adalah; aku bukan orang religius parah nya lagi aku sedang muak dengan agama.. Posisi sulit dan gak ada pilihan lain. Selain maju.

“Jangan panjang-panjang doa nya!!” Beberapa senior mengingatkan,
sepertinya buat mereka ini hanya tradisi. Kalau begini caranya mendingan gak usah sekalian. Dasar manusia! Sukanya make topeng! Gak tau kalau aku sendiri juga keberatan disuruh menyusun kata-kata buat Tuhan. Bagiku si gak perlu kan Tuhan Maha Tahu.


“Mari berdoa, dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin. Tuhan kami percaya Engkau Maha Tahu, oleh karena itu, Engkau tahu apa yang kami inginkan. Dalam nama Yesus kami haturkan ujud kami. Amin. Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Amin.” Aku terseyum kecil.

Sesuai dengan permintaan jangan panjang-panjang kalau berdoa. Suara bisik-bisik dari teman-teman. Mungkin pikir mereka dasar gak mutu doanya! Ada yang tersenyum bahkan tertawa Ada yang gak peduli yang penting bisa pulang cepat, sudah capek, bosan, dan jenuh. Makanya kalau nyuruh orang itu yang benar buat mimpin doa. Seterusnya aku gak lagi disuruh mimpin doa.


“Baiklah terimakasih Donatus, sekarang kalian boleh pulang. Jangan lupa besok bawa tugas beserta bekal. Kalau yang hari ini masih salah atribut besok jangan sampe salah lagi.”
Kami bubar.
Seperti napi yang baru bebas dari penjara akibat mencuri ayam. Kami Menarik nafas lega, bersiul, bernyanyi, berteriak dan lain-lain. Kebebasan yang dirindukan tiba juga. Lagi-lagi si kebo mendekati aku. Apa lagi kalau dia binggung besok mau bawa apa dan harus gimana mendapatkan barang-barang itu. Singkatnya dia nginap bersama aku. Dan kedekatan kami menjadi sebua perjalanan menyenangkan sekaligus memiluhkan.
Setalah sesi serius kami duduk berdiskusi untuk mengakrabkan diri. Topiknya adalah sharing, “Kenapa masuk Fakultas Sastra?” Seto angkat bicara. Manusia yang bakal sekamar dan setempat tidur dengan aku. “Saya kebetulan saja, cita-cita mau masuk AKPOL tapi gagal di tes kesehatan, terpaksa masuk sini karena kakak saya juga alumni universtias ini”
“Saya juga tadinya pingin masuk bidang olaraga di Yogya, tapi ternyata gak diterima gara-gara gak lulus test juga. Karena ada teman menawarkan jadi terpaksa juga masuk sini.” Si Yudha alias kebo menerangkan dengan lugas. Kemudian.
“Kalau aku sama Metta rencananya mau masuk Pariwisata di Bandung tapi orang tua gak setuju karena kejahuan, jadi mau gimana lagi masuk sini aja. Toh ini universitas elit.” Sambil mengerak-gerakan kepala dan gak lupa bibir. Si Diana alias Deedee bicara. Sepertinya mereka berdua selalu sahati dan serasa dalam segala hal. Meskipun kalau dijejer persis angka sepuluh. Tapi inilah makna perbedaan yang menguntungkan.
“Saya di suruh orangtua masuk sini. Tadinya gak pingin kuliah, langsung kerja aja. Jadilah saya masuk sini.” Andre alias Aming.
Kenapa dia dipanggil Aming, itu adalah singakatan dari Angel Mingkem. Emang makluk asal Papua ini susah sekali kalau merapatkan kedua bibirnya. Tetap aja dalam kondisi apa pun selalu terbuka mulutnya.
“Saya masuk sini karena udah bosan ngangur diluar. Pingin mencari suasana lain. Sukur-sukur bisa memperbaiki masa depan. Milih sini karena disini kampus yang bagus di Kota Semarang. Alasan ambil jurusan ini kerena di jurusan Psikologi gak lolos.” Ini giliran ku menjelaskan.
Sampe disini aku pikir ternyata gak ada yang mantap masuk di fakultas ini. Ini hanya tempat pelarian. Alias fakultas berkumpulnya mahasiswa buangan. Pasti bakal ada yang aneh-aneh. Habis masuk dengan keterpaksaan pasti banyak kendala internal maupun eksternal, individual maupun sosial. Waduh.. kok jadi ceramah.
Nah lihat saja nanti para manusia-manusia ini akan menjadi generasi penerus Fakultas Sastra. Dengan segala kekonyolan, kesuksesan, kebahagiaan, kedongkolan, kesedihan, dan gak lupa kebodohan.

Sabtu, 01 November 2008

Kegundahan Pemimpin Prematur



Tidak ada pilihan lain

Kegundahan Pemimpin Prematur

Tidak ada pilihan lain. Aku harus nyebur. Baru saja Pak Adhy memanggil kami bertiga. Aku plus dua manusia aneh lainnya Kiki dan Lenny, mahasiswa diploma tiga Bahasa Inggris. Dengan gaya nya yang kalem kami dipersilahkan duduk dikantornya.

“Silahkan duduk!”

Terimakasih, pak”

“Begini. Saya yakin kalian tahu bagaimana kondisi mahasiswa Sastra sekarang. Saya yakin kalian bisa jadi pemimpin mahasiswa Sastra.” Sampai disini aku yakin secara tidak langsung diantara kita bertiga pasti jadi ketua BEMFS dan SMFS. Tapi siapa yang mau? Aku? Sudah cukup pusing dengan kuliah, nilai menurun sangat drastis semester lalu. Sekarang mau dikasih beban beginian.

“Sampai saat ini belum ada yang mau mendaftar, padahal sebentar lagi saya harus melaporkan ke universitas siapa ketua BEMFS dan SMFS yang baru.” Senyum khasnya bersemi dibibirnya. Cukup dengan senyumnya ini saja. Kami sudah tahu kemana arah pembicaraannya dan apa yang harus kami lakukan. Trauma akan kejadian kepengurusan tahun lalu masih menari riang di kepala ku. Ah..! jadi ketua BEMFS?, entar pas sidang pertanggungjawaban di hajar habis-habisan persis kayak anggota DPR yang ketahuan korupsi di garuk sama KPK trus di bawa ke ruang sidang sampai aib sekecil apapun di buka semua.Kalau sudah begini mendingan gak usah pake baju dan celana. Benar-benar telanjang. Trus berlari aja di jalan persis kayak orang gila. Habis semuanya sudah terbongkar. Kami saling melirik. Rupanya di masing-masing otak punya pemikiran yang sama. Tapi aku merasa ada yang aneh dari lirikan Kiki sama Lenny.

“Baiklah saya kasih waktu buat kalian bertiga untuk mempertimbangkan hal ini. Saya percaya kalian bisa.” Memberikan isyarat supaya kami keluar ruangan.

Langsung saja kami bertiga membentuk forum untuk menentukan siapa jadi ketua BEM siapa jadi ketua Senat. Membuat skenario politik. Kiki angkat bicara,

“Begini Don, kita gak bisa nentuin orang lain lagi kalau menurut saya kamu yang jadi ketua BEM dan Lenny jadi Senat” Sambil melirik ke Lenny.

“Gak bisa. Aku merasa gak mampu. Gimana kalau kalian berdua aja?”

“Trus kamu jadi apa?” Lenny gak terima. Rupanya dia menuntut keadilan, maklum era emansipasi.

“Ya..aku jadi pengamat aja.” Tapi sebenarnya dalam hatiku posisi yang sangat sulit. Apa yang akan terjadi kalau gak ada yang mau jadi pemimpin? Mana mungkin aku, apakah aku mampu? Terlalu berat. Tapi keputusan harus diambil.

“Sudahlah Don kita Bantu kamu dari belakang.” Kiki berusaha membujuk.

Iya dimana-mana juga orang pasti bilang begitu kalau posisi seperti ini, kamu maju kita bantu, habis itu kalau udah nyempulung, bodoh amat. Mau jalan kek… gak..kek.. mana aku urus. Toh aku gak punya posisi apa-apa. Kalau baik pasti di puji-puji tapi kalu jelek di maki-maki. Tetap aja pusing sendiri. Saatnya ambil keputusan.

“Baiklah aku mau jadi Ketua BEMFS asal ada syaratnya?”

Mereka berdua melotot sepertinya bahagia banget, tapi kok ada syaratnya segala.

“Apa syaratnya?” Serempak

“Kiki jadi wakil ku Lenny jadi ketua Senat. Bagiku cuma ini jalan tengah. Kalau kalian gak mau ya sudah. Gak usah ada BEMFS maupun SMFS kecuali kalian sendiri yang maju.”

Suasana diam sesaat. Mereka berdua menunduk. Mungkin menimbang. Kok tetap aja sulit. Pake ada syarat segala. Sampe disini aku berfikir. Sangat kontras, kalau diluar sana para politikus berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin sampai cara apapun di tempuh bahkan ada yang sampe gila gara-gara gak kepilih jadi bupati. Tapi kita malah saling lempar posisi. Habis gimana coba. Jadi beginian selalu susah. Gak punya bayaran. cuma dapat ucapan terimakasih plus sertifikat itupun kalau persediaan kertas masih ada. Kalau program gak jalan dimaki-maki sama teman-teman mahasiswa. Belum lagi adik angkatan yang menganggap kita pilih kasih, tidak peduli dengan angkatan bawah, trus teman-teman satu angkatan yang merasa bahwa kita gak peduli lagi sibuk dengan organisasi. Plus kakak angkatan yang suka ngritik kerena mereka merasa berpengalaman. Jadi adanya cuma sakit hati sepanjang hayat. Habis itu berat badan turun drastis, prosentase mengisap rokok semakin meningkat. Dan welcome to other world alias pass away.

“Ok kita setuju.” Mereka berdua mendongakan kepala dan menatapku.

“Kalau gitu kita salaman” Meskipun berat. Mau apalagi gak ada pilihan lain. Susah ya.. selalu aja terjebak pada pilihan yang gak enak semua. Coba kalau disuruh milih. Kencan sama Angelina Jolie atau jadi Ketua BEM pasti tanpa berpikir panjang aku milih yang pertama. Berbagai strategy dan trick dijalankan. Tahap pertama adalah; meyakinkan diri ku sendiri bahwa aku mampu. Ini yang sulit. Selalu aja sang aku bilang kamu tuh gak bisa. Urus diri aja gak bisa mau urus orang lain. Habis itu semalaman gak bisa tidur. Ini cuma lingkup fakultas aja sudah kayak gini apa lagi tingkat negara. Bisa-bisa aku gantung diri segara pake tali rafia diatas lemari. And Show must go on! Kira-kira demikian. Bukan saatnya lagi bingung, menyesal, dan meratap. Kepala harus ditegakan ikat pinggang harus di kencangkan, tatapan mata harus tegas tapi berperikemanusiaan. Langkah kaki harus mantap dan berjalan harus tegak lurus. Jangan lupa banyak makan. Karena pasti tingkat stress meningkat, ini harus dihadapi. Ini simbol seorang pemimpin. Sampe disini sang aku mengerti dan memahami.

Kampanye secara simbolis dilakukan, poster ku dengan foto almamater dengan visi misi berbahasa seadanya dipajang. Dengan kata mutiara, “Nothing is Imposible.” Gak seru emang. Habis gak ada saingannya. Gak serame adik angkatan ku. Berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin mahasiswa di Fakultas ini. Ucapan selamat dari teman-teman dan angkatan atas bertebaran. Tentu saja dibalik ucapan selamat ini, tersembunyi makna, “Selamat hidup dalam penderitaan!” Sindiraan dari teman-teman mahasiswa muncul

“Waduh..kok Donatus toh..payah ih..”

“Kenapa?”

“Donatus itu Atheist.. Bisa-bisa mahasiswanya pada murtad semua.”

Berhubung aku cuek dan sedikit bangga dengan status tersebut, aku membiarkan saja. Dalam hati, begini ya rasanya jadi pemimpin. Belum apa-apa tantangan udah siap menerkam. Baru aja mau jalan batu kerikil udah membentang siap menusuk-nusuk telapak kaki. Entar lagi pasti batu besar di hantam ke arahku.

Tanpa ada proses pemilihan, kami bertiga di lantik dalam sidang akhir kelembagaan mahasiswa Sastra. Kali ini mental ku cukup dihantam. Ketua BEMFS lama di kritik habis-habisan sampe-sampe bibirnya bergetar. Habis mau ngomong apa lagi. Semua kesalahannya terbongkar semua termasuk penyalahgunaan dana. Emang ini ajang pembalasan dendam. Justru yang mengemukakan fakta-fakta kebusukan sang pemimpin adalah teman-teman dekatnya sendiri. Emang kalau bicara politik semua penuh intrick. Teman bisa makan teman. Gak kenal sahabat. Benar apa kata So Hok Gie, “politik itu seperti lumpur” Sekilas aku membayangkan tahun depan aku yang berdiri didepan dan akan dihabisi seperti ini. Waduh..mau ditempel dimana muka, udah hancur begini tambah berantakan. Kemudian Dani wakil angkatan 2004,

“Siap..siap bang! Tahun depan kamu.” Sambil terseyum. Cukup untuk memberikan peringatan. Seribu macam pikiran kocar-kacir menghantam otak ku. Aku tidak terlahir sebagai pemimpin. Tapi semua ku anggap sebagai kebetulan. Pelantikan siap dimulai. Layak gubernur terpilih, tangan kanan memegang bendera fakultas tangan kiri memegang bendera universitas aku mengucapkan sumpah. Saat ini mata ku berkaca-kaca. Hatiku dihinggapi suasana haru. Jangan pikir aku merasa bangga, tidak itu terlalu berlebihan. Hal mendasar adalah ,”Mampukah aku menjadi pemimpin yang jujur dan membawa perubahan?” Gila..gila aku yang benci politik tai kucing kayak gini harus nyemplung. Tak ada yang tahu kegundahan hatiku. Kan manusia pintar main sandiwara! Sidang pembantaian dan pelantikan ini berakhir dengan kaburnya sang mantan gubernur karena udah gak tahan lagi dengan peluru-peluru torpedo yang terus menghantam.

Baru aja mau mencari anggota. Isu-isu bermunculan dari angkatan bawah. BEM sama Senat Mahasiswa Sastra tahun ini tidak peduli dengan angkatan bawah. Dengan wajah yang merenggut Kiki mengampiri ku.

“Don, ada anak-anak angkatan bawah mengeluh kalau kita gak ngajak mereka di pengurusan ini terus mereka juga bilang kalau BEMFS sekarang ini gak jelas dan tidak ada pengenalan ke mereka.”

“Terus sikap kamu bagaimana?” Aku menangapi, karena aku pikir kalau dia yang dengar berarti dia sudah memikirkan langkahnya.

“Kita tetap aja jalan dengan cara kita.. tapi kita coba ajak aja mereka dulu yang kelihatan vocal seperti itu.”

“Aku tidak mau kerjasama dengan orang yang gak jelas. Menurutku biarkan mereka berpendapat. Tapi nanti kalau ada kegiatan kita libatkan mereka, tapi untuk meletak keposisi yang penting aku tidak setuju.” Kini aku lebih serius lagi. Saatnya untuk melakukan terbaik. Tidak ada waktu lagi untuk mengasihani diri sendiri dan membiarkan diri dalam ketakutan yang tidak pasti.

“Oke kalau gitu.. ini ada nama-nama yang saya usulkan untuk duduk di kepengurusan kita nanti.” Sambil menyerahkan kertas yang tercantum nama-nama anak-anak. Naluri laki-laki ku muncul. Berhubung ini beban yang cukup berat aku butuh partner yang pintar sekaligus cerah secara fisik. Biar otak gak senep.

“He..he..terus terang aku butuh sekretaris yang enak dipandang.” Aku berbisik ke wakil ku yang ada disampingku, jadi menurut kamu gimana?”

“Terserah kamu. Kalau itu bisa bikin kamu semangat kenapa gak” Mungkin pikirnya dia dasar laki-laki mata kerajang saat beginian masih mikirin perempuan.

“Baiklah sekarang kita kumpulkan mereka dulu sambil menjelaskan apa yang harus kita lakukan kedepan.” Aku memberikan instruksi.

Semua sudah berkumpul. Tanpa mereka tahu aku ajak bicara dan ini moment aku untuk memberikan penilain siapa yang layak untuk duduk di kepengurusan.. Sampe disini butuh ketajaman nurani, kelincahan berfikir, dan kepekaan terhadap orang lain. Dan tibalah saatnya menentukan sekretaris. Dan ini membuatku tidak pernah menyesal. Kehadirannya justru memuluskan langkah ku selanjutnya. Tentu saja dia gak tahu dengan otak licik ku. Nah, disini aku belajar menjadi seorang pemimpin itu harus sedikit licik.

Pilihan ku adalah seorang makhluk hasil produksi dari Sunda, Zwitsy atau Sisy. Tahu sendirilah kalau product asal Jawa Barat itu selalu prefect. Kalau cacat juga paling sedikit aja. Gak rusak-rusak amat. Secara loyalitas dapet, secara intelektual dapet, secara fisik oke. Saatnya menentukan rencana. Pembagian job description. Wakil bertanggungjawab kedalam. Ketua keluar.. ini kesempatan ku untuk memberikan kesan ke luar fakultas.

Biasa kalau awal-awal gini banyak undangan datang. Tentu saja aku mengajak sekretaris ku. Dan sudah dibayangkan ketika rapat perdana dengan BEM Universitas. Bisik-bisik sana-sini. Membahas dan menanyakan sekretarisku. Rapat berjalan dengan lancar. Meskipun lirik-lirik sembunyi-sembunyi ke arah sekretaris ku.

“Khusus untuk BEM sastra besok datang lagi bersama sekretarisnya.he..he..he..” Sang pemimpin rapat cengar-cengir. Ternyata seleranya sama juga. Gak bisa lihat yang bening-bening. Dan Sisy hanya tersenyum bingung bertamba malu-malu kucing. Emang ini reaksi normal perempuan, pasti dalam hatinya juga ada sedikit kebahagian. Habis dari tadi gak ada satu pun ketua BEM masing-masing fakultas hadir bersama sekretarisnya.

“Enak ya rapat di temani sekretaris. Cantik lagi..he..he.. berapa nomor telponnya.” Salah satu peserta rapat berbisik.

“Oh..ini tidak untuk konsumsi umum. Hak milik perorangan..he..he..” Aku menanggapi.

Nah langkah pertama sukses. Cukup untuk memberikan kesan. Pasti nama BEM Sastra akan terus dibicarakan. Yang bersangkutan gak tahu dengan akal licikku. Sebelum pulang pertanyaan meluncur dari mulutnya yang mungil;

“Kak, kok yang lain gak ada sekretarisnya?”

“Gak apa-apa dari sini kamu bisa belajar untuk mengenal kondisi universitas. Tadi malah mereka suruh kamu datang kalau setiap kali ada rapat.” Tentu saja bukan itu jawaban sebenarnya. Dia hanya terseyum-senyum kecil. Trik ini terus dijalankan. Setiap kali ada undangan selalu aku membawa sekretarisku karena ada catatat khusus dari yang mengundang

Pada tahap ini aku terus bergerak. Mulai dari penertiban adminstrasi, surat menyurat, proposal dan Laporan Pertanggungjawaban kegiatan. Perencanan program kegiatan. Akal ku benar-benar diperas. Tak ada waktu untuk berleha-leha. prioritas ku ada dua organisasi ini dan kuliah seperti biasa sebagaiaman seorang mahasiswa Dan hal yang membuatku semakin percaya diri adalah tim ku benar-benar orang yang tepat; berdedikasi, disiplin dan pekerja keras. Ditambah lagi dengan kehadiran seorang dosen, Sosok low profile dan selalu well come. Dosen satu ini termasuk dalam kategori kaum proletar. Dia selalu membaur dengan teman-teman mahasiswa, rokok bareng nonton bareng, kadang-kadang minum bareng. Tapi kalau masalah kuliah benar-benar strick gak ada istilah pengampunan. Kehadirannya merupakan cahaya lilin dalam terowongan. Tempat aku bisa menemukan ide-ide atau solusi terhadap permasalahan yang dihadapi tanpa harus bertemu secara formal. Dia lah Pak Retang.

“Donatus saya sudah pelajari program kerja kamu setahun kedepan. Dan saya stuju. Kamu harus persiapkan secara matang. Dan kalau kamu buntung temui saja saya. Dikampus atau dirumah.” Dengan logatnya khas orang Sumba dan nada-nada berirama bijak terdengar bagai tetesan air membasahi tenggorokan yang kering.

“Baik pak, pasti saya akan membutuhkan Pak Retang.” Jawabku dengan mantap.

Seiring berjalannya waktu, undangan dari Rektorat tiba. Agenda: membahas kenaikan biaya SKS. Aku sadar ini merupakan bentuk dari demokrasi. Mungkin pihak rektorat ingin mengetahui bagaimana reaksi mahasiswa. Dari pada tiba-tiba dinaikin malah bisa-bisa demo dimana-mana. Akhirnya lagi-lagi mereka yang pusing. Rapat…Tentu saja sekretaris ku selalu disampingku lengap dengan senjatanya. Pulpen plus buku angenda dan berhubung regenerasi itu penting maka disertakan juga Si ketua bidang kegiatan mahasiswa bidang akademik, Yona. Rapat dimulai dan sambutan dari Wakil Rektor III. Suasana semakin tidak nyaman bagi kedua manusia yang berada di samping kiri dan kanan ku.

“Kak, kok Sastra gak disebut ya?”

Aku hanya bisa tersenyum. Dalam hati aku bisa memahami pikiran mereka. Tapi disinilah jiwa seorang pemimpin diuji. Bagaimana memberikan semangat kepada bawahannya.

“Tenang aja! Nanti kita akan tunjukan kalau Sastra patut di contoh oleh Fakultas lain.” Ini seperti sebua nazar bagaiku. Aku gak tahu kenapa tiba-tiba muncul semangat untuk terus berusaha bagi Fakultas ini. Padahal sebelumnya, bodoh amat. Paling cuma jadi panitia dalam kegiatan. Rapat ini berjalan dengan lancar. Dan hasil akhirnya SKS tidak dinaikan tapi dikenakan biaya UKP bagi mahasiswa yang ambil matakuliah semester atas. Dan ini kebijakan jalan tengah dan kami perwakilan mahasiswa sepakat dengan keputusan ini setelah melalui proses penghitungan rumit ala akuntansi.

Lagi-lagi Wakil Rektor III memberikan sambutan penutup dan sudah bisa ditebak nama BEM Fakultas Sastra paling belakang di sebut itu pun agak tersendat-sendat. Lagi-lagi Yona protes,

“Kak.. kali ini disebut tapi kayaknya hampir lupa gitu. Kayak anak tiri aja ya.”

Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berjanji, Suatu saat bapak akan menyebut nama Fakultas Sastra paling depan dengan expresi yang membanggakan. Rapat selesai. Kesan tidak enak selalu tergambar di wajah kedua manusia ini.

“Ini tugas kita untuk menunjukan kalau kita itu ada. Jangan merasa rendah diri!” Sambil menepuk-nepuk pundak mereka.

Saatnya Sidang Akhir untuk kepengurusan BEM Universitas. Dan ketua BEM masing-masing fakultas dan seluruh ketua dan anggota senat mahasiswa masing-masing fakultas beserta para wakil angkatan hadir dalam rapat akbar ini. Dan Wakil Rektor III memberikan sambuatan untuk membuka sidang ini.

“Selamat sore.. Pada kesempatan ini saya sebagai Wakil Rektor III memberikan ucapan terimakasih dan penghargaan saya kepada BEM Fakultas Sastra atas dispilinnya selama ini, tertib admistrasi, program kerja berjalan sesuai dengan agenda dan LPJ masuk tepat pada waktunya. Saya harap ini menjadi contoh bagi BEM fakultas lainya. Saya mohon ketua BEM dari Fakultas Sastra untuk berdiri.”

Dengan senyum kelegaan aku berdiri dan tepuk tangan riuh menggemah memenuhi ruangan. Semua mata menyerot ke aku yang berdiri dengan penuh kepercayaan diri, sambil beberapa teman dari fakultas lain berteriak,

“Hidup Sastra! Hidup Donatus!”

Sampe disini aku merasa bahwa tidak ada yang sia-sia. Jika kita melakukan sesuatu dengan keyakinan, keikhlasan, dan kesabaran maka yang terbaik akan kembali kepada kita. Sidang ini pun berjalan sebagaiman mestinya. Seperti di fakultas tapi ini skalanya lebih besar. Tentu saja ada acara pembantaian juga. Tapi berhubung pemimpinnya adalah seorang yang benar-benar bijak, cerdas, berdedikasi tinggi sehingga dia tetap senyum dan menerima kritikan dengan lapang dada. Tanpa harus memajukan bibir beberapa senti sebagai ekspresi kejengkelan.