Entri Populer

Sabtu, 14 Juni 2008


“CLARA”

oleh Donatus

Sejak kejadian itu aku pindah ketempat ini. pohon flamboyan yang mungil namun tertata rindang memayungi hari-hariku. Sudah lama sekali keluarga, teman-teman tidak mengunjungiku termasuk Karin gadis yang sangat kucintai. Aku bingung setiap kali mereka datang, mereka tidak pernah mau masuk hanya berdiri didepan sana sambil menunduk. Aku bahkan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Hari-hariku bersama kesendirian. menyaksikan taburan bintang yang menghias cakrawala nan megah. Bintang-bintang itu begitu anggun dan mempesona. Malam-malam seperti ini sering aku habiskan berdua bersama Karin. Saat-saat akhir kepergianku ketempatku yang baru.
“Mas milih yang mana dari bintang-bintang itu?” Karin memandangku dengan lembut sambil mengarahkan telunjuknya…
“Aku ingin semua bintang-bintang itu menghiasi malam kita sayangku” dengan saksama kutatap dalam-dalam bintang yang ada dicakrawala.
“Kalau aku hanya ingin bintang yang disudut sana yang paling terang untuk hadir menerangi cinta kita.”
Aku sangat mencintaimu Karin. Aku tidak ingin pergi, aku ingin sekali menghiasi hari-hari kita dengan cahaya lembut dari bintang-bintang itu. Aku tidak tahu kenapa aku sangat posesif dan melankolis malam ini. Tidak sepertinya aku memiliki perasaan yang seperti ini. ada ketakutan kegelisaan tiba-tiba hadir bagi selimut menutupi seluruh tubuhku dan itu sangat gerah.
“Sayang…emm” aku tak mampu melanjutkan.
“Kenapa Mas? Kok mas kelihatan sedih ada apa? Masalah kerjaan? Rumah? Atau Om Alex lagi?” Karin selalu mengeluarkan pertanyaan yang bertubi-tubi ketika ada suatu hal yang dianggab telah terjadi padaku.
“Ayo mas, kalau Karin bisa bantu akan Karin bantu.. Mas ngomong aja.!”
“Ternyata ada sesuatu hal yang tidak bisa kita pahami walaupun itu diri kita sendiri”
“Mas….,Karin serius..Jangan berfilsafat.” Raut wajahnya berubah dari romantis menjadi penuh penasaran. Tapi hal itu yang selalu membuatku semakin cinta dengan Karin. Dia perhatian peduli dengan keluarga. Kalau di rumah mama selalu memujinya.
“Kamu beruntung Arya mendapatkan kekasih seperti Karin, cantik baik hati, supel, ramah lagi. Zaman sekarang susah untuk mendapatkan gadis seperti itu.”
“Ah..mama biasa aja. Mama aja yang terlalu berlebihan.”
“Banyak dari teman-teman mama yang selalu bermasalah dengan menantu mereka. Setiap saat selalu bertengkar. Nggak pernah akur. Lihat menantunya tante Melani. Ada saja maunya.
“Mama..kan Karin bukan menantu mama..”
“Justru mama ingin punya mantu seperti Karin. Mama ingin sekali kamu dapat menikahi Karin.”
“Mama mulai lagi..sudalah Arya mau kekamar.”
“Dasar…anak sekarang kalau diajak ngomong serius gak pernah didengar.”
Mama selalu ingin aku cepat bertunangan dengan Karin. Setiap kali Karin datang mama selalu saja ngomong panjang lebar kadang diteras bahkan sampai kekamar mama. Nggak tahu apa saja yang dibicarakan. Ya..perempuan memang sukanya ngegosib. Kedekatan seperti ini mungkin membuat mama menaruh hati pada Karin yang dianggabnya gadis yang pantas hadir dalam keluarga kami.
“Mas….Mas…” Aku tersentak kaget. “Ditanya kok ngalamun..emang kenapa? Tante nyuruh kamu cepatan nikah?”
“Nggak sayang…aku hanya merasa aneh saja dengan diriku sendiri. Ada semacam keterasingan yang muncul dalam diriku, ketakutan, gelisa, dan hasrat ingin sekali terus bersamamu”
“Ya udah mas.. mungkin itu perasaan cinta mas terhadap Karin yang besar. Makasih ya mas..” dengan lembut Karin mencium pipiku. Dingin hanyut mengalir diseluruh tubuhku. Ada yang aneh..tidak biasanya seperti ini. disaat Karin mencium pipiku aku merasa ada rasa hangat yang mengalir dan membuatku menemukan semangat yang tak kubayangkan. Tapi kali ini dingin..ya sangat dingin…
Jalan Setia Budi tidak begitu ramai, kususuri jalan itu perlahan-lahan. Hujan rintik-rintik, kabut tebal menyelimuti jalan satu arah ini. Dan..seperti suara gemuruh dari depan aku tak sanggub menginjak pedal rem dan..selanjutnya aku merasa sangat dingin..dingin yang menusuk tulang ditambah gelap memekat yang tidak pernah kulihat seumur hidupku. Setelah itu aku tidak tahu tiba-tiba aku sudah berada ditempat yang baru ini. Awalnya aku bingung berada disini tetapi lama kelamaan aku terbiasa melihat bintang-bintang di angkasa tanpa suara bising yang sering aku dengar disekitar kantorku, walaupun tak ada Karin disisiku. Namun rasa keterasingan dan kesendirianku mulai membumbung saat kusaksikan orang-orang yang kusayangi tidak mau mendengarkanku, bahkan untuk masuk ketempatkupun mereka tidak mau.
Mama sering datang sambil meneteskan airmata dia komat-kamit. Aku nggak ngerti apa yang dilakukan mama… berdiri didepan sana…lama sekali. Semakin hari, ketakutan semakin mencengkram jemarinya disetiap sudut tubuhku..bintang-bintang yang menjadi hiburanku semakin meredup dan perlahan-lahan tenggelam. Kegelaban muncul merajai setiap ruang waktuku.
“Karin aku merasa takut sekali..Sayang aku tidak betah tinggal disini..aku..aku..bahkan bintang-bintangpun mulai pergi meninggalkanku..”
****
“Eh..Karin, Ayo silakan masuk Nak ada apa kok pagi-pagi begini udah datang.”
“Ada yang mau aku sampaikan pada Tante…” Karin menarik nafas sesaat.
“Iya ada apa?”
“Gini tante, Semalam Karin mimpi ketemu Mas Arya..dia….Dia sangat menderita dia enggak tenang tante kita harus melaukan sesuatu.”
“Maksudnya?”
“Karin lihat Mas Arya berada ditempat yang sangat gelap, wajahnya sangat kusut tidak terurus dan seperti orang yang kesakitan, dia terus memanggil nama Karin, Tapi Karin enggak bisa apa-apa, tiba-tiba suaranya menghilang…Dia butuh bantuan kita Tante..”
“Berarti Arya enggak bahagia disana”
“Iya tante kita perlu melakukan kebajikan atas nama Mas Arya biar dia tenang, karena hanya itu yang bisa kita perbuat. Selama ini kita belum melakukan hal yang khusus untuk Mas Arya. Doa-doa saja tidak cukup…Kita harus melakukan dana untuk Sanggha dan juga orang-orang yang membutuhan lainnya, atas nama Mas Arya. “
“Kalau gitu nanti tante bicarakan sama om.”
***
Tiba-tiba ada sosok dua orang muncul dihalaman depan. Perlahan-lahan mereka mendekat. Aku kenal dengan jelas dia Karin gadis yang kucintai. Ada yang berubah, senyum indahnya tidak pernah mekar dibibirnya yang mungil. Dia terlihat murung... kemana perginya kecerianmu sayang. Tetapi siapa laki-laki yang disampingnya..Aku tidak kenal dia. Setahuku Karin tidak punya kakak laki-laki ataupun sepupunya laki-laki. Laki-laki ini terlihat tenang, kemudian dia menggandeng tangan Karin..siapa kamu?
“Mas Arya...Mas adalah pria yang paling Karin cintai..mas adalah bintang yang setiap saat menerangi kegelapan hati Karin..tetapi kenyataan selalu berbeda…”
Apanya yang beda aku disini sayang. Aku bahkan setia menunggumu. Kamu tidak pernah mau masuk, aku selalu memanggil namamu.. Tapi kamu selalu berhenti dan berdiri disitu.Tidak biasanya, aku kini mampu mendengar apa yang dibicarakan orang-orang yang ada diluar sana.
“Kenalkan mas ini Mas Bagus Pernama…Dia yang selama ini menjaga Karin sejak kepergian Mas Arya..Dia orang yang sangat baik…perhatian dan selalu menemani hari-hari Karin..walaupun tidak sepenuhnya sama..tapi saya akan belajar untuk mencintai Mas Bagus..
Apa mencintai…kamu tidak salah ucap, Karin..bagai disambar gledek aku kaget..jadi laki-laki itu yang kini hadir di hati Karin..jadi semuda itu dia melupakan aku..kamu mengingkari janji kita sayang..kamu tegah sekali. Aku bahkan selalu berusaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang telah kita rajut bersama. Dan..kini mimpi itu hanya menjadi fatamorgana..pedih rasanya seperti ditusuk seribu belati menancap jauh dan semakin jauh kedalam hati..
“Mas Arya….”Butiran air mata menetes dari pelupuk mata indah yang selalu kutatap ketika aku masih bersama-sama dengan dia..
“Maafkan Karin..hidup ini adalah pilihan dan inilah saatnya Karin harus memilih..Sekali lagi maafkan Karin mas.” Sambil menangis Karin duduk dan memegang potongan lempengan tembok yang ada disana.
Aku disini Karin sayang..kenapa kamu tidak mau melihat aku. Aku sangat rindu sekali..aku ingin kita bisa pergi bersama lagi kepantai menyaksikan laut atau ke Kafe Star untuk merasakan sejuknya udara malam.. Dan apa? kamu minta maaf..tidak semudah itu melerai kembali untain kasih yang telah kita rajut. Dan itu sudah menjadi benang yang mengikat kita..aku merasa semakin perih.perih sekali. Aku berusaha mendekati mereka tetapi langkah kaki ini tidak pernah mau bergerak maju. Semua tenaga telah kukerakan tetapi sia-sia. Seluruh badanku seperti terikat oleh kawat besi yang tak sanggub kulepaskan.
“Sudah Karin hari mulai sore kita pulang.” Bagus merangkul pundak Karin dengan lembut.
“Mas Arya Karin pergi dulu semoga Mas Bahagia.”
Kutatap langit..tak ada bintang yang bersinar kabut hitam menebar disudut-sudut langit, semakin pekat..rona alam tak ada yang bersahabat..lolongan serigala membuat ketakutan bercampur pedih. Bagai pisau belatih yang dilumuri cuka merembes menebus daging dan tulang….kenapa aku seperti ini? angin bertiup perlahan-lahan dan kencang.
Sesaat kemudian ada senandung indah memecah kengerian. Suara itu dari jauh perlahan-lahan. Bunyi kecapi, seruling mada pujian dan lantunan syair-syair cinta dan kedamaian bagai tenaga super power. Perlahan-lahan menyapu langit yang pekat. Warna biru mulai kelihatan, walupun belum ada bintang. Suara musik itu semakin dekat, nyaring tapi tidak bising. Merdu mendamaikan sukma. Terangpun mulai muncul. Ada kunang-kunang terbang mengitari tempatku dengan gerakan lembut seolah mengajakku berdansa. Aku kenal lagu itu..ya..aku ingat lagu yang selalu dinyanyikan di vihara “Chan of Metta” seruan untuk kebahagiaan dan kedamaian semua makluk. Ingatanku muncul bagai film layar lebar terpampang jelas. Saat aku melakukan berbagai aktifitas divihara bersama teman-teman remaja. Melakukan baksos didaerah-daerah yang terpencil. Dan saat-saat itu juga aku bertemu dengan gadis yang luar biasa Karin. Meditasi bersama, sampai saat-saat yang terkecil ketika aku memberikan uang cepek untuk pengemis dijalan dan menatap wajah mereka yang sangat bahagia. Ketakutan seperti teruarai dan meleleh mengalir memasuki selah-selah tanah yang basah. Rasa riang menempati selah-selah hatiku. Ada semacam aliran energi dari lantuan lagu Metta. Aku bagai malaikat melayang dan bermain dengan kunang-kunang. Bercanda dengan angin malam. Sementara bintang dilangit bermunculan dan seolah-olah tersenyum dengan kebahagian yang kurasakan.
Dari kejauhan ada rombongan yang sedang berjalan menuju kearahku.. sepertinya kali ini semua keluarga hadir. Ada mama, papa, Rayan, Maya, Karin, dan Bagus serta beberapa lagi yang tidak aku kenal..mereka beriringan semakin dekat, mereka pasti mau menjengukku dan aku berharap kali ini mereka masuk..dan aku ingin sekali Karin bicara jujur tentang hubungan kami. Lagi-lagi mereka tidak mau masuk..dan aku memutuskan untuk mendekati mereka. Dan perjuangan yang luar biasa aku berjalan menuju ketempat mereka berkumpul…suara mereka terdengar membacakan syair yang aku kenal..Ya itu parita yang dilantunkan bagi orang yang meninggal…tapi kenapa tidak dipemakaman kakek saja? Ah..aku mau lihat. Mereka mengelilingi sebua onggokan fondasi dengan taburan bunga yang berwarna-warni ada sebua nisan terpampang disana dan aku bisa melihat dengan jelas tulisan itu..sangat jelas, “ARYADEVA” Sabbe Sankara Anica.” Bukankah itu namaku? Berarti aku…. Tiba-tiba hujan gerimis, bersama suara gemuru dan perlahan-lahan kabut membentang dari arah timur muncul sebua sinar..apa ini sinar matahari..tidak dia terang sekali tapi tidak menyengat dikulit sejuk terasa bagai cahaya rembulan..muncul..perlahan-lahan semakin dekat..dekat sekali aku tidak melihat sesuatupun disekelilingku. Cahaya itu memantul bersinar sehingga tubuhku pun terlihat menguning…lantunan syair terdengar merdu dan sayup-sayup mendamaikan. Ada sebua cerobong terbentuk diatasku.. dan seperti kekuatan mahadasyat mengangkat seluruh tubuhku masuk keterowongan tersebut, bagai lorong waktu aku masuk dan menembus dengan cepat. Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa…
****
Kehamilan Karin telah berjalan sembilan bulan. Sebelum melahirkan Karin ingin sekali berkunjung kerumah orang tua Arya.
“Tante sepertinya Mas Arya sudah damai. Aku merasakan itu..setiap hari aku lebih tenang sejak sembilan bulan ini. dan dia juga tidak hadir lagi di mimpiku.”
“Syukurlah Nak..tapi tante akan terus melakukan Fang-Sen (pelepasan Binatang) dan akan berdana kepada orang-orang yang membutuhkan. Dan terus mengharapkan kebahagiaan Arya…O ya.. Kapan nih waktu melahirkan?”
“Dokter mengatakan minggu depan” sepertinya bayinya perempuan… Aneh selama ini Karin selalu ngidam makanan kesukaan mas Arya.”
****
“Selamat pak Bagus bayi anda lahir dengan selamat dan sehat”
“Trimakasih dok. Bisa saya jenguk sekarang?”
“Oh silahkan Pak”
“Mas Bayi kita perempuan” Karin teringat dengan nama yang indah yang pernah diucapkan oleh Arya.
“Sayang nanti kalau kita sudah menikah dan punya anak saya mau kasih nama Clara?”
“Kalau laki-laki gimana?”
“Saya yakin bayi pertama yang lahir dari rahimmu adalah perempuan dan namanya adalah Clara.. ya..Clara artinya cahaya atau sinar. Dia yang terus hadir dan menerangi hidup kita. Dia yang akan menjadi sumber inspirasi kita. Dia yang akan menerangi hari-hari kita.
“Sayang ternyata kamu benar anak kita cewek. Siapa nama yang pantas.” Bagus membelai istrinya. Sementara Karin tetap diam dan memikirkan sesuatu.
Karin membuka mata lebar-lebar menatap bayi mungil tersebut dengan senyum kepuasan merekah dibibirnya, “Namanya, “CLARA”
****

cerpen


Belis
Oleh Donatus

Malam itu cahaya lampu sangat terang. Sebua rumah dengan dinding setengah tembok. Dinding selanjutnya dari papan. Bentuk bagunan rumah ini tidak berbeda dengan rumah warga lain. Dan pada sebua rapat desa rumah inii dikategorikan sebagai keluarga menegah.. walaupun banyak warga yang bingung kok hanya rumah nya Bapak Desa dikategorikan sebagai keluarga menengah? Sudalah.. mungkin sang pemilik rumah mau memberikan semangat pada warganya bahwa jangan mau kita dibilang miskin.. sebenarnya yang berbeda adalah malam itu..tidak biasanya rumah ini diterangi lampu gas..biasanya juga pakai lampu minyak tanah kalau Orang Jawa bilang lampu teplok.. padahal mesin listrik untuk desa sudah dibeli..dengar-dengar katanya mesin itu belum lunas masih hutang puluhan juta.. Berbagai sumbangan dana untuk pembangunan desa ini harus dialokasikan untuk melunasi hutang mesin desa.. Bapak Desa yang baru dilantik ini tambah pusing. Tapi untunglah dia belum punya istri. Jadi pusingnya hanya buat program-program pembangunan desa. Ya..salah satunya bagaimana caranya untuk melunasi mesin listrik desa..
Malam semakin larut.. rumah ini sudah dipenuhi para bapak-bapak. Duduk mengelilingi meja.. bercengkerama tentang aktifitas siang tadi.. sesekali meneguk moke dan mengisap rokok berekor kuning.. menurut warga di desa Ile Beleng. Ini rokok yang paling nikmat dari yang berekor putih.. sebua kenikmatan tersendiri kalau menikmati rokok ini.. sementara para ibu-ibu dan gadis-gadis sibuk di dapur menyiapkan makan malam.. para bine anak mengurus daging.. sudah menjadi tradisi kalau ada acara seperti ini pihak yang disebut-sebut sebagai bine anak akan sibuk sekali. Ini saatnya mereka harus melayani keluarga laki-laki dari istri mereka. Mulai dari potong daging babi, kambing, ayam sampai potong ikan sekalipun dilakukan.
Malam ini merupakan saat yang menentukan bagi sepasang kekasih. Sejoli yang diam-diam berkomitmen untuk membangun rumah tangga berencana untuk mendapat restu dari orangtua. Selanjutnya memasuki Gereja untuk mohon berkat dari Tuhan. Sudah jadi tradisi bagi warga Ile Beleng. Proses pernikahan harus melewati suatu fase yaitu “Bicara Adat” saat dimana keluarga pria dan wanita bertemu untuk membicarakan soal belis. Tentu saja kalau bicara tentang belis berarti ada hubunganya dengan gading gajah. Dan malam itu….
“Malam bae1..”
“Malam bae.. kita tunggu saja satu orang lagi.” Kalau froum seperti ini ada seseorang yang menjabat sebagai moderator sekaligus pemandu acara.. dia diutus untuk mengatur kapan dimulai dan kapan harus berakhir.
Suasana semakin memanas.. minuman moke yang diteguk dari tadi sudah mulai beraksi.. meremat urat saraf.. biasanya kalau bicara pelan-pelan.. sekarang volume suara perlahan-lahan mulai meninggi.. semua ingin bicara.. memang luar biasa kerja sang moke. Dia bisa buat Susana jadi riuh dan memanas.. mungkin khasiatnya ini orang-orang di Desa Ile Beleng dan sekitarnya jadi suka minuman satu ini.
Botol kosong mulai dipinggirkan, dan botol isi keluar dari kamar.. sepertinya minuman ini sumbernya ada didalam kamar. Daging yang sudah matang disajikan. Tentu saja ini bukan lauk untuk makan tapi untuk teman sang moke..
Dua orang di pojok meja saling berbisik..kelihatannya oborolan mereka jauh lebih penting dan menentukan jalannya acara ini.. sementara yang lain terus saja bercengkerama tentang hasil kebun, ladang, juga tidak ketinggalan membahas tentang pengumuman sang humas desa tentang pencurian daun singkong dan papaya di kebun Bapak guru sekolah.
“Ah… itu paling diambil sama anak-anak sekolah itu…buat makanan babii sumbangan pendidikan.” Bapak setangah baya yang terkenal dengan leluconya, dia dipanggil Bapak Dere menanggapi, saat ada yang menyinggung soal pengumuman sang humas sore kemarin.
“Memang anak-anak itu pintar.. babi itukan di taruh di rumah si Bapak Guru jadi mereka pikir.. buat apa susah-susah cari tempat lain di kebunnya Pak Guru banyak sayuran.” Sahut Bapak Ado, lelaki yang berambut uban yang selalu terlihat ceria.
“Ha..ha…ha..iya…benar juga.”
“ Eh…Nong Laga.. tadi sore saya ambil daun singkong di Ladang mu..karena sudah terlalu sore saya terpaksa ambil, takut pulang kemalaman.” Rupanya Ibu Maria di belakang mendengar obrolan bapak-bapak ini.
“Oh.. begitu.. dengar tidak pengumuman tadi siang.. kalau yang curi daun papaya atau singkong disuruh lari keliling gereja sambil bawa barang-barang yang sudah dicuri.” Yang punya ladang menyahut dari samping rumah.
“Ha..ha..ha… berarti besok kita lihat Ona Maria lari keliling Gereja dengan bawa daun singkong. Sahut Bapak Ado.
“E…bukan cuma saya yang lari keliling gereja tapi kita semua.. soalnya daun singkongnya dimasak buat makan nanti.” Ibu Maria tidak terima.
“Ya.. sudah lah.. besok Ibu Maria yang lari dulu kita ikut dari belakang sambill bawa piring.” Bapak Dere menyelah.
“Bagaimana bisa bawa piring bukannya daun singkong?”
“Karena daun singkong sudah jadi sayur… makanya sekarang jangan dimakan dulu disimpan masing-masing bawa satu piring isinya daun singkong.”
“Ha..ha…ha….ha…” suasana semakin riuh.
Tiba-tiba Susana nampak tenang. Semua mata yang duduk diruangan mengarah sosok kurus tinggi muncul dari pintu depan.. rupanya dia tadi diberikan tugas oleh bapak tua yang duduk dipojok meja.
“Bagaimana nong2?”
“Sekitar lima belas menit lagi mereka kesini.”
Sang moderator mulai siap-siap. Mungkin dia sedang berusaha menyusun kata-kata. Bagaimana harus memulai. Tetapi.. ada yang lebih gelisa.. seorang ibu muda duduk di kamar, tak ada sepata kata pun keluar dari mulutnya.. wajah ceria berubah menjadii guratan kebimbangan, kegelisahan, kesedihan. Dia tau keluarga laki-laki yang datang nanti tidak memiliki gading. Dalam hati tidak banyak yang dia inginkan. Dia ingin anak gadis pertamannya ini bisa dipermandikan, mendapat berkat dari Tuhan selayaknya anak-anak lainnya. Untuk sampai tahap itu proses adat seperti ini harus di lewati. Dan untuk fase ini keputusan ada di tangan saudara laki-lakinya. Dia tahu betul saudara laki-laki satu-satunya. Sebelum dan sekarang sudah jadi Kepala desa. Kalau dia bilang tidak..ya.. selanjutnya tidak. Tak ada ruang untuk kompromi. Kenapa untuk bisa “masuk Gereja” keputusan adat yang menentukan? Hubungannya dengan laki-laki yang telah melahirkan putri yang lucu berumur 3 tahun ini tidak direstui oleh kedua keluarga besar Sogemaking dari dirinya dan Lewohayong dari bapak anaknya. Karena cinta dan komitmen yang sama membuat mereka siap menghadapi rintangan apapun. Kedua keluarga besar toh pada akhirnya bisa menerima karena anak gadis sudah hamil mau tidak mau harus di iyakan. Namun proses adat tidak berhenti disini. Secara kekeluargaan bisa di terima belum untuk adat, agama, dan hukum. Dan pintu gerbang untuk restu gereja dan hukum adalah adat, jelas itu tidak ada kompromi. Semua harus diterima karena ini sudah diatur secara turun temurun.
“Itu rombongan mereka sudah datang”
“Kita siapkan tempat.” Suasana kelakar berubah menjadi tenang. Semua orang yang duduk berdiri, saling geser. Menyambut tamu dari pihak laki-laki.
Lampu gas terlihat dari jauh. Iring-iringan orang-orang terlihat rapi. Semakin dekat..semakin dekat. Dan sekarang tanpa diperintah ala militer semua berdiri rapii didepan pintu. Susana hening sejenak… Tak ada suara dari luar maupun dari dalam rumah. Sedikit bisik-bisik mengambang di udara. Seseorang maju beberapa langkah. Sepertinya dia pimpinan rombongan atau mungkin juru bicara rombongan ini. Persis dii depan pintu dia berhenti.
“Malam bae..” tak ada sahutan
“Malam bae..” sekali lagi tetap..tak ada sahutan
“Malam bae..” semua yang berdiri di depan pintu dag..dig..dug.. kalau sampaii sapaan ketiga juga tidak dibalas berarti mereka tidak diterima untuk masuk…Kemudian…
“ Malam bae..” Pimpinan dari keluarga perempuan menyahut.
Seketika semua merasa lega. Rombongan dari keluarga laki-laki tersenyum lega. Seperti melepas beban karung beras dipundak dengan berat ratusan kilogram. Tapi mereka sadar ini baru awal menuju pertarungan. Kata “iya” dari keluarga perempuan adalah mantra mujarap untuk mensandingakan anak mereka di pelaminan.
Semua peserta rombongan dipersilakan masuk dan mengambil tempat duduk yang disediakan. Siri pinang disajikan selanjutnya rokok dan moke ditawarkan kepada para tamu.. Suasana tidak serenyah tadi. Tawa dan senyum sepertinya hanya sebua fatamorgana. Masing-masing pihak sedang mempersiapkan ide-ide maupun tanggapan. Setelah para tetua menyantap siri pinang, inti pertemuan ini dibuka.
“Malam bae ema, bapak, kakak arii, bine anak.3. malam hari ini kedua keluarga besar dari Lewohayong dan Sogemaking bertemu untuk membahas adat untuk anak kita Kepitang dan Ida. Dan…saya mempersilakan kepada pihak keluarga laki-laki untuk menyampaikan maksud dan tujuannya.”
“Malam bae ema, bapak.. kami datang kesini untuk mendiskusikan tentang nasib kedua anak kita… mereka sudah saling suka dan kita tidak memaksanya.. kami rasa dari pihak ema bapak juga tahu kalau semua pilihan ini mereka yang buat.. kami mengharapkan adalah mereka bisa dapat berkat di Gereja agar anak mereka bisa dibaptis. Ketua rombongan memulai. Kemudian…
“Kita semua mengharapkan seperti ini. Tapi adat harus kita terapkan. Kalau keluarga pihak laki-laki sudah bersedia duduk disini berarti ada…. Sesuatu yang telah disiapkan.” Pimpinan dari pihak perempuan menanggapi.
“Untuk sekarang ini kami belum bisa menyiapkan apa-apa…tapi suatu saat kalau ada akan kami atur.”
“Maaf.. kalau kita sampai membuat pertemuan seperti ini seharusnya pihak keluarga laki-laki harus bisa memperhitungkan.” Suasana semakin memanas raut wajah pembicara sudah memerah. Mungkin juga akibat moke. Suaranya meninggi.
“Kami mengerti..hal itu memang sangat penting, tapi itu bisa dijadikan jangka panjang. Yang penting adalah kedua anak kita ini bisa “masuk gereja.” Suara pembicara tetap pelan dan tegas
“Nah.. ini yang harus kita pahami juga.. bicara adat perkawinan itu tidak terlepas dari urusan belis.”
“Baiklah disini kami sampaikan bahwa sesungguhnya kami tidak punya gading untuk bisa diberikan kepada pihak perempuan. Untuk itu kami mohon kebijkan dari ema bapa agar bisa memberikan ijin agar anak kita berkat dulu, kami janji kalau ada gading kami akan atur.”
Tiba-tiba…..
“Tidak bisa kalau tidak ada gading sekarang ini atau pun dalam waktu dekat berarti Kepitang dan Ida tidak akan “Masuk Gereja”4. Lihat saya.. sampai sekarang saya tidak bisa bertemu dengan keluarga perempuan calon istri saya karena saya belum punya gading.. saya ditolak.. kalian harus tahu..” nada suara yang keras.. iya dia pria satu-satunya adik dari Ida. Bagi masyarakat Ile Beleng dan sekiatarnya suara anak laki-laki adalah punya pengaruh. Perempuan tidak bisa berbuat banyak. Laki-laki lah yang menentukan.
Susana menjadi hening. Kata-kata Lado seperti belatih yang menyayat seketika harapan dari kakak perempun dan calon suaminya. Bak nyala lilin redup yang berusaha menerangi ruangan tiba-tiba padam. Sebelumnya dia tidak menyangka adik laki-laki kesayangannya bisa mengeluarkan kata-kata seperti ini dihadapan keluarga calon suaminya… bulir-bulir air mata lepas dan membasahi pipi kering. Tak ada yang bisa diharapkan…Putri buah hubungan dia dan Kepitang, terlelap pulas dipangkuannya..
Anakku maafkan ibumu dan bapakmu.. karena perbuatan kami.. kamu harus menanggung. Kamu belum bisa dibaptis. Bulir-bulir air mata berubah menjadi tetesan air mata yang sangat cepat. Larah hatinya tak bisa dibendung..isak tangis pun memecah kesunyian. Semua diam sesaat larut dalam kesedihan dan kepasrahan.
Kemudian…
“Maaf bagi saya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan… kecuali pihak laki-laki bisa menyiapkan gading dalam waktu dekat…malam ini kita tetapkan kapan waktunya ada gading.. setelah itu kita bicarakan pemberkatan.”
Utusan keluarga pihak laki-laki tidak bisa membantah lagi. Pembicaran ini mengarah pada gading. Mereka sekarang ini belum memilki gading secara pasti.
Suara bisik-bisik terdengar diluar rumah.. dibalik kegelapan malam sebanarnya ada sosok yang tidak berani memperlihatkan wajahnya. Dialah calon mempelai laki-laki. Dari tadi dia mendengarkan semua pembicaraan ini. Bukan porsinya untuk berada di meja adat itu. Tapi justru masa depannya bergantung pada putusan di meja adat itu. Andaikan dia bisa bersuara. Dia akan berteriak, adat macam apa ini... Hanya jadi ajang balas dendam. Cuma jadi kesempatan untuk menuntut. Hanya jadi tameng untuk mempertahankan budaya leluhur. Kalau memang dua anak manusia sudah berjanji untuk membangun mahliga rumah tangga kenapa adat selalu menjadi hambatan. Toh yang susah senang nanti kami yang rasakan.. gelap malam ini bagai selimut hitam membalut asa yang kandas.. berapa lama lagi dia harus hidup dengan perempuan dan anaknya yang secara adat, agama, dan hukum bukan istri dan anak.. anaknya hanya bisa disebut anak bilogis dan bagaimana dengan Ida? Hanya istri biologis?
Harapan untuk mendapat mantra “iya” pupus sudah. Tidak ada lagi yang perlu dilakukan selain menuggu gading dari belis gadis marga Lewohayong. Padahal sekarang gajah sudah dilindungi sebagai bintang langkah dan menurut aturan pemerintah. Memperjual belikan bintang langkah atau bagian tubuh bintang langkah maka dikenakan sangsi hukum alias dipenjara.