Entri Populer

Sabtu, 25 Oktober 2008

Pasar Morphology


Pasar Morphology

Pasar Morphology


Ruangan sudah penuh. Tempat yang dikhususkan hanya untuk paling banyak 45 orang terpaksa di isi 60 orang. Fantastik bukan? Sepertinya pertunjukan hari ini menarik untuk disimak. Sementara sang pemain belum tiba, kami sudah menunggu kurang lebih 20 menit. Tapi rupanya para manusia yang hadir tidak risau. Asyik bergumul dengan obrolannya. Kami tetap duduk berdesak-desakan. Seperti penumpang kereta api kelas ekonomi disaat arus balik Lebaran. Tapi tunggu dulu! Jangan membayangkan ini adalah ruangan theater untuk pertunjukan Sendra Tari Ramayana, pemutaran film The Day After Tomorrow atau Memory of Geisha, bukan juga drama monolog dengan menghadirkan sastrawan seperti; Taufik Ismail atau Butet Kertaraharja tapi drama monolog versi Bu Ninik atau Mak Nik dengan matakuliah kebanggaannya Morphology. Kami adalah mahasiswa, mulai dari angkatan atas yang gak lulus-lulus kelas ini dan terpaksa ambil lagi..ambil lagi dan ambil lagi, kemudin angkatan kami baik Linguistics maupun Literatur ditambah adik angkatan yang sedang kejar kelulusan, maklum kuliah di sini semakin tahun biaya SKS semakin melambung tinggi, jadi satu-satunya solusi adalah lulus dengan cepat. Maka jumlahnya sangat banyak untuk ukuran fakultas kecil ini. Kenapa kami tetap setia menuggu? Alasannya cuma satu Mak Nik suka terlambat, makhlum dosen satu ini punya banyak sekali urusan mulai dari beli cabe di pasar, buang sampah, antar anak kesekolah, bayar listrik dan PAM, guru private sampe jadi seksi konsumi atau bendahara di setiap kegiatan yang diadakan Fakultas Sastra, sehingga wajar kalau dia telat.


Suasana mulai tidak terkendali seperti di pasar tradisional, semua sibuk untuk membahas persoalanya masing-masing, tawar-menawar barang, bertemu teman lama, marah dengan tukang becak, dan penjual sibuk dengan barang daganganya, kuli barang asyik dengan barang bawaanya sambil berteriak; Minggir..minggir! Ya..seperti ini lah suasana kalau kelas raksasa gak ada bedanya sama masuk pasar. Teriakan, tertawa cekikian menggema memenuhi ruangan ini, membuat tempat ini semakin sumpek. Tapi sepertinya kami menikmati. Kalau anak SD masih bisa diatur, sedikit bentakan mereka sudah kapok tapi ini mahasiswa. Tiba-tiba sang lakon datang, dengan tas besarnya layaknya Backpeker, tersenyum sedikit nyengir dan kalau ekspresinya seperti ini maka; bola matanya tidak kelihatan dengan giginya berbaris seperti iklan pepsodent.

“Sorry, I’m late” Sambil meletakan tumpukan buku diatas meja. Kemudian kami semua bersorak,

“Gak apa-apa bu, sudah biasa.” Ya.. kalimat ini punya makna; Sindiran, Pemakluman, dan Ucapan selamat datang. Yang ditanggapi hanya tersenyum. Pertemuan setingkat dengan rapat DPR ini siap dimulai (kan sama aja kalau DPR lagi rapat ada yang molor, telpon-telponan, ngobrol sama tetangganya gak peduli sama agenda yang diraptkan) Dengan jumlah manusia begini banyak perlu alat bantu kalau mau bicara. Speaker dinyalakan.

“Tes..tes.. Ok.let’s begin our meeting today!” Kalimat yang bermakna menyadarkan mahasiswa untuk kembali ke fungsi mereka; “Mendengarkan apa yang dibicarakan dosen.” Tentu saja mahasiswa dibelakang masih sibuk sendiri. Seperti domba berada ditengah kawanan, para mahasiswa dibelakang sibuk melahap rumput disekitarnya. Gak urusan sang gembala didepan sedang berteriak-teriak. But show must go on.


Lembaran transpransi dipasang diatas OHP dan disorotkan ke dinding, sang wonder woman mulai aksinya. Menjelasakan setiap permasalahan yang tercantum di transparansi. Mahasiswa yang didepan memperhatikan dengan serius sekali-kali merasa terganggu. Ini adalah kumpulan mahasiswa yang merasa sudah kelelahan mengambil mata kuliah ini alias mahasiswa yang mengulang. Lebih tegasnya lagi sadar untuk tidak mau ngulang lagi tahun depan “Ssssst..brisik” gak tahu ini suara dari siapa.

Dan Mak Nik sudah merasa terganggu dengan kegaduan para mahasiswa. Kemudian beliau diam sebentar. Mungkin dia berpikir. Dasar manusia dari Zaman Barbar tidak bisa menghargai orang. Semaunya sendiri. Untuk menangani masalah ini, Mak Nik harus berdiri dibelakang. Dan untuk beberapa saat cara ini cukup ampuh. Seketika kegaduan berhenti. Dan penjelasan dilanjutkan. Beberapa saat kemudian. Kawasan didepan kelas mulai beraksi. Berawal dari bisik-bisik meningkat menjadi oboralan yang semakin kedengaran. Kondisi masih ditolerir. Namun suara tertawa cukup membuat Si Ibu berjalan ke depan kelas. Kemudian ekpresi ketidakpuasan tergambar diwajahnya.

“Maunya kalian apa toh? Aku berdiri didepan..dibelakang ribut pindah belakang depan ribut..ya udah aku berdiri di tengah saja.” Dengan mic sedikit menempel kebibir Si Ibu berbicara sambil memutar-mutar badanya kekiri..kanan..depan..belakang.. Sampai disini semua berjalan lancar. Kemudian soal latihan mulai diberikan

“Baiklah saya sudah menjelaskan panjang lebar sekarang latihan!” Sambil meletakan mic diatas meja.

Suasana berubah, yang gak punya kertas mulai meminjam teman disebelahnya.

“Minta kertas donk!”

“Wes..wes..rak mutu tenan kuliah rak ndue kertas.” Tetap aja kertasnya di kasih juga. Habis itu sudah dapat dibayangkan kumpulan mahasiswa yang datang sebagai pelengkap meletakan kertas diatas kursi dan menunggu jawaban dari semua arah. Seperti harimau yang tiduran sambil matanya mengintai kesekeliling menunggu mangsa yang bisa di lahap. Yang gak dengar instruksi mulai beraksi

“Ngapain toh?”

“Suruh ngerjaiin latihan.. Itu soalnya!” Ini yang mendengarkan.

Nah.. Untuk kelas ini ada tiga tipe mahasiswa. Satu, datang dan mendengarkan apa yang dibicarakan dosen, sesekali bertanya, nah ini golongan mahasiswa serius, dan sadar kalau gak lulus berarti ngulang. Dua, datang dan mendengarkan gak peduli ngerti apa gak, itu urusan nanti. Kalau disuruh nyatat, ya..nyatat kalau gak duduk diam sambil menghayal, “Kapan ya kelas ini bisa berakhir?” aku kan mau shopping, mau makan gule and bla..bla…(gak bakalan berakhir kalau omongin hayalan). Tiga, datang, gak mau mendengarkan tapi sibuk ngobrol, kalau ditegur diam sebentar habis itu brisik lagi. Habis itu setelah selesai kuliah nanya, “ada tugas gak?” Kemudian, “Pinjam catatannya donk!” Bisa ditebak mungkin hanya empat atau lima mahasiswa yang termasuk kategori pertama, sisanya menyebar ke bagian kedua dan ketiga. Dan parahnya kategori ketiga mendominasi kelas ini


Saatnya adegan penghakiman, nama para terdakwa dipanggil untuk maju dan membuktikan diri kalau dari tadi mengerti dengan penjelasan sang lakon. Mak Nik mengamati wajah-wajah para makhluk yang menjadi penghuni ruangan ini. Tentu saja sasaranya adalah para biak kerok keributan dan dianggap pasti gak bisa menyelesaikan soal yang diberikan. Ini saatnya untuk menyembunyikan wajah. Yang merasa kalau gak ngerti sama sekali, menyembunyikan wajahnya dibelakang punggung teman yang ada didepanya. Sangat beruntung kalau duduknya dibelakang mahasiswa yang kelebihan lemak, pasti gak kelihatan. Dan nama pertama muncul juga. meskipun adegan penyembunyian telah dilakukan. Siapa terdakwa pertama?


“Yudha..maju nomor satu dan dua!” Sambil nyengir Si Ibu melontarkan nama yang cukup untuk diragukan.

Bisa dibayangkan bagaimana wajah sang terdakwa ini. Nomor satu aja belum tentu bisa pake dikasih nomor dua lagi. Suasan mulai riuh. Yang disebut adalah Yudha..maskot keributan dalam kelas akibat tertawanya yang gak kira-kira setiap kalau ada kelas yang dianggab santai, contohnya kelasnya Mak Nik ini. Dan apa aksi selanjutnya sebelum maju dan berdiri didepan papan?

“Kon.. ngompo ndes?” Wajahnya mulai panik. Meskipun gak diadili hukuman cambuk, penggal, penjara beberapa bulan atau penjara seumur hidup atau hukuman tembak ditempat, tapi tetap saja ini pertarungan harga diri. Tentu saja kalau gak bisa apa-apa satu perasaan mucul dan cukup untuk menghantam mental, apalagi kalau “Malu” karena dianggap goblok.

“Padahal aku wes ngumpet.”

“Ya…ketahuan lah.. duduk mu dibelakang Andrie.. “ Si Metta berkomentar.

Pernyatan ini cukup masuk akal bagaimana tidak Andrie, gadis berbadan mungil bagai sebatang lidi padahal dia seperti gajah kegemukan. Ya jelas ketahuan. Apalagi sepanjang kelas dia selalu tertawa lantang, cukup untuk dimintai pertanggungjwabannya.

“Nomor satu opo ndes?” Sambil menunduk bertanya ke Aming alias Andrean. Jawabanya sudah jelas, kan mereka satu kawanan atau perguruan,

“Lah mboh…aku wae rak ngerti.” Sambil nyegir mengejek. Kebingungan menjadi-jadi. Apa yang mau ditulis didepan kalau gak ada bahan? Masa soalnya ditulis lagi. Kalau ujian tertulis sih gampang tinggal nyalin soal habis itu gak urusan. Dosennya mau ngasi nilai berapa kek, itu gak penting. Tapi ini dihadapan tujuh puluh orang yang akan memperhatikanya menulis satu demi satu huruf untuk merangkai kata dan kalimat..Waduh gak kebayang deh.. Tangan nya mulai mengusap-usap wajah. Siapa tahu setelah diusap pandangan mata jadi lebih jelas untuk melihat siapa sang penyelamat. Semua perhatian mengarah ke makhluk Zaman Peradaban Batu ini, yang terlalu cepat berevolusi di abad sekarang. Kertas ditangannya masih kosong, mungkin udah dari tadi kertas itu menertawakan dan menghujat-hujatnya. Avu yang duduk disampingnya mengingatkan. Dia mungkin berfikir kalau Yudha gak maju, bisa-bisa nama dia yang dipanggil untuk menggantikan posisi Yudha.

“Ayo Yudh maju!” Tetap menyembunyikan wajah dibelakang Metta.

“Maju Pie..Gak tahu mau nulis apa.” Masih kebingungan.. Kali ini yang diusap-usap adalah kertas polos ditangannya, layaknya Aladin yang mengosok-gosok lampu ajaibnya berharap sang jin keluar untuk memenuhi permintaanya. Tapi sayang, sang jin sudah hijarah ke negri Utopia. Jadi gak mungkin bisa datang ke kelas Morphology. Kemudian..

“Yudha..kamu masih disitu? Maju sekarang!” Kali ini sudah mantap bagi Bu Ninik kalau mahasiswanya ini gak ngerti dengan penjelasannya dari tadi ongomong sampai mulutnya berbusa-busa.

“Masih bu.” Jawab Yudha seadanya.


Suasana kelas mulai riuh. Ketakutan mulai merambah para mahasiswa yang tergolong kategori tiga. Bagi kategori satu, suasana tetap damai. Jawaban sudah ada di atas kertas tinggal maju dan menulisnya. Dan tiba-tiba ada yang baik hati memberikan kertas dengan jawaban nomor satu dan dua. Seperti menemukan kembali permata yang hilang si giant baby maju dengan penuh kepercayaan diri untuk menjalankan amanat yang telah dilimpahkan kepadanya. Semua mata memperhatikan, kedepan. Seperti peserta symposium yang mengamati persentasi penemuan suatu teori baru dalam kanca ilmu pengetahuan.

Sipidol diambil dan ditulis dengan sedikit ragu-ragu, karena tulisan dikertas itu kurang jelas. Pada akhirnya penderitaan ini berakhir dan kembali ketempat duduk. Si Ibu mengamati sebentar jawaban yang ada di papan tulis. Dan..

“Salah semua.” Suaranya santai. Seketika juga sorak riuh

“Uh..Sui.. Salah sisan..”

“Sopo toh sing ngei jawaban..?” Si Yudha gak terima. Bukannya nyadar diri malah nyari kambing hitam, siapa yang ngasih jawaban.Dasar manusia tidak tahu berterimakasih. Kira-kira orang yang ngasih jawaban berpikir seperti itu. Tentu saja gak ada yang ngaku. Dan penyebutan nama berlanjut, kali ini Mak Nik tidak perlu mencari lebih jauh lagi.


“Nomor tiga dan empat, Metta.”

Kali ini Yudha cengar-cengir terus. Seolah-olah dia punya teman dalam penderitaan menanggung malu.

“Saya bu?”

“Ya kamu..nama kamu Metta kan?” Kali ini Si Ibu tidak ada senyum lagi. Wajahnya menunjukan keseriusan dan bercampur aduk dengan jengkel dan kecewa. Yang disebut namanya ekpresinya gak jauh berbeda dengan terdakwa nomor satu.

“Dee..jawabane opo?” Sambil matanya melahap kertas yang ada di depan sohibnya itu.

“He..aku juga gak tahu. Pank..jawabane opo? Meskipun dia gak tahu untuk membantu sahabat karibnya ini Deedee meminta bantuan Apank alias Agung. Rupanya kali ini struktur otaknya lagi gak konslet sehingga dia mampu mengikuti proses pembedahan jenis tanaman aneh bernama Morphology ini. Dan tindakan humanis pun diambil Apank, membantu semua makhluk.

“Nih..tapi gak tahu benar apa gak.? Sambil menyodorkan selembar kertas yang berisi jawaban dari latihan ini.

“Gak apa-apa..salah benar urusan nanti yang penting maju dulu.” Sambil mengambil kertas ditangan Si Agung tentu saja dengan sembunyi-sembunyi dan memberikannya kepada Metta, si bunder seperti gentong air pun maju. Sampai disini aku mengerti kenapa namanya Avu gak disebut sama si jaksa penuntut umum, soalnya dia terdampar dibalik gentong air ini. Spidol mulai menari-nari diatas papan seperti pelukis, Metta merangkai dengan jelas jawaban yang di instruksikan. Dan berakhir juga. Selanjutnya kembali kehabitat.

Si ibu mengamati lagi..sambil mengeleng-geleng kepala. Kali ini tidak hanya Metta yang merasa malu tapi juga sang pencipta gagasan yang baru saja dipaparkan didepan, siapa lagi kalau Agung. Ternyata..

“Nomor tiga setengah benar..tapi nomor empat salah.”

Ya..lumayan dari pada pertama salah semua. Yudha merasa kalah. Tiba-tiba dia diam tidak lagi cengar-cengir disaat Metta maju dan menulis di papan tadi. Sekarang Metta tersenyum lega meskipun bukan punya dia tapi kan sebagian mahasiswa di kelas itu tahu kalau dia yang maju. Si Apank diam saja. Pikirnya ya..gak apa lah namanya juga manusia gak sempurna. Emang sih, tapi kok lebih banyak gak sempurnanya ya?

Soal selanjutnya tidak dilanjutkan menurut pertimbang si ibu. Soal yang gampang saja gak bisa pada hal soal selanjutnya sedikit susah. Kemudian mic di ambil lagi.

“Baiklah saya akan mengulang penjelasan bagian pertama..karena kalau ini saja kalian tidak bisa maka selanjutnya gak bisa.”


Semua kepala yang dari tadi menunduk dibalik punggung teman-temannya naik lagi laksana kepala kura-kura yang keluar dari cangkangnya karena merasa sudah aman alias tidak ada pemangsa disekitarnya. Tidak ada penyebutan nama lagi. Berarti para mahasiswa ini bebas berekspresi lagi. Wajah kelegaan tergambar, tapi suasana masih tetap terkendali. Mungkin emosi ketakutan masih gentayangan di dalam makhluk-makhluk ini. Dengan Bahasa Inggris berbalut Indonesia gado-gado Bahasa Jawa khas Semarangan, Si Ibu menjabarkan konsep-konsep tentang materi Morphology. Bla..bla…bla…bla…bla..bla…

Kemudian keributan mulai muncul kembali. Strategi pengamanan tetap seperti pola pertama berjalan kebelakang..kemudian kedepan setelah itu berdiri ditengah berputar ke kiri..ke kanan..ke depan…ke belakang seperti para penganut salah satu ajaran di India kuno yang wajib melakukan ritual untuk penghormatan kepada leluhur dengan berputar-putar menghadap ke empat arah mata angina sambil mengucapkan mantra-mantra suci. Demikian juga Mak Nik, Sambil berbicara dengan nada suara yang naik turun sampe mulutnya berbusa-busa. Kemudian si ibu kelelahan juga.

“Kesel aku..lunggo yo.” Sambil membawa mic yang terus menempel dibibirnya. (kayaknya perlu adanya sarung sekali pake untuk membungkus kepala mic..).

“Iya bu..entar ibu farisesan.” Pernyataan ini jelas dari sohibnya si gentong.

Dan duduklah ia setelah melakukan ritual penyembahan, agar supaya suasana kelas menjadi kondusif. Dan jangan pikir praktek transaksi di Pasar Johar ini telah berakhir. Tidak.. setelah sang lakon duduk. Semua mahasiswa dibelakang sepertinya satu orang memiliki lebih dari dua mulut dan peternak lebah yang selalu membawa ternaknya kemana-mana. Tetap saja Si Ibu melaju, gak peduli para mahasiswa itu memperhatikan atau tidak. Waktu untuk menghuni ruangan bagai pasar ini segera berakhir dan Jaksa penuntut umum sekaligus hakim mengambil keputusan.

“Minggu depan quis.”

“Waduh.. bu jangan minggu depan..donk.”

“I don’t care tetap quis. Dan akan saya nilai.” Pernyataan tanpa kompromi.

“Tapi kan penjelasannya belum selesai” Semua mulai kebingungan. Gak tahu apa-apa tiba-tiba quis padahal dalam pengaturan jadwal minggu depan-depannya lagi.

“Makanya dengarin kalau dosen lagi bicara” Nada kekecewaan. Mungkin kalau aku mendiskripsikan, suasana kegundahan Bu Ninik adalah seperti berikut: Hancur hatiku remuk redam kalian semua tak berperasaan, aku tidak dihargai sama sekali.Aku sudah berjuang demi kalian,hiks..hiks..hiks.. Tapi itu gak mungkin. karena Bu Ninik bukan manusia berhati melankolis tapi berhati baja yang digunakan sebagai bahan pembuatan Luku oleh petani untuk membajak sawah.

“Bu mau tanya tentang…..” Belum selesai Si Mella berbicara tiba-tiba di selah sama si Ibu.

“Pokoknya I don’t care. Gak ada penjelasan lagi.” Sambil memasukan buku kedalam tasnya. Dan meninggalkan rungan. Tetap saja dia tersenyum.

Yang punya perasaan akan merasa jengkel dengan temannya, gak enak sama Bu Ninik. Kok quisnya awal banget. Kalau gak punya perasaan ya..berpendapat; bodoh amat. Kalau quis kan tinggal nyonto, tolong digaris bawah ini mahasiswa kategori ketiga. Sebelum meninggalkan kelas, Si Yudha bersabda kepada pujaan hatinya yang lagi kebingungan belum sempat nanya, Bu Ninik keburu kabur.

“Gak apa-apa kan masih minggu depan.”

“Minggu depan mu..Kamu tuh ribut dibelakang sampe Bu Ninik jengkel!.” Sambil wajahnya ditekuk, bibirnya maju beberapa senti.

“Kok aku toh..”Sambil menggoda idola hatinya. Kemudian mereka berdua berlalu. Selanjutnya berhamburan keluar para pedagang dan pembeli. Pasar Morphology telah bubar.