Entri Populer

Senin, 05 Mei 2008

Lado's Cave: Short Stories

Lado's Cave: Short Stories

Gallery

Lado's Cave: Gallery

Gallery

Poems

Bye Peace


Enfeebled dove watches catharsis
A faded olive tree leaf attaches on old wall
Stops shouting, stops flying, stops walking
Aphophis now on the stage
Guns on hands, bombs on shoulders, grenades in bags
Flames devours body and soul with desire

The dove still on rocker
No energy rocking back and forth more
Hawk screams on the top old building
A nice little smile on the lips
“I am retired”
Olive tree’s leaf falls
The light’s extinguished
The stage now full of dark play

Angels now have blind eyes
Weapons as god’s sticks
Blood as wine, very intoxicated
Flesh as delicious meat
The Stage will be shattered

Short Stories


Cerpen

HIMSA……

Kota sedang terbakar. orang-orang berteriak merintih dengan kepedihan, kegetiran. yang luka terus meratap ingin sembuh. Mereka yang kehilangan rumah mengadu ditengah lapangan gersang. Beratap langit, semakin hari semakin mengerut. biru damai memudar menjadi merah pekat. Api yang menjulang tinggi, menyembur dengan lahapnya memberangus semua yang dijumpai. meninggalkan kegetiran bersama bau anyir dan arwah yang merintih. Tawa kelakar dibibir mencemoh dan tak rasa dosa, rasa kasih ah…. Apa itu, rasa cinta … apalagi itu semua tak dia pedulikan. Panas mengelitik setiap deru nafasnya. Baginya inilah dia. Ia telah digariskan untuk menghabisi semua yang membangkang.. yang tidak mendengarkan apa yang telah diseruhkan. Ya.. kota yang telah menjadi kumpulan orang-orang kafir yang setiap saat mengeluarkan nafasnya yang najis. Pantas dibrangus api suci dari langit, demikan banyak yang terus berteriak ditengah-tengah kerumunan. Mereka yang menganggab dirinya paham dengan suara yang berseru dari langit ratusan tahun yang lalu dan tidak tahu kapan dibukukan dan siapa yang membukukan bagi mereka suara itu adalah yang mutlak yang wajib dilakukan apapun alasannya. Dan mereka berhak untuk menciptakan pengadilan atas nama surga. Disebrang sana banyak bibir yang tertawa sinis, sementara mulut mengangah memuntahkan kedengkian dengan teriakan, “Teruskan api..teruskan api…Api suci ..” Sambil menuangkan minyak, disedot langsung dari perut bumi. Untuk memuja langit mereka memeras bumi hingga mengering dan memberangusnya. Untuk menyenangkan sang dewa agung mereka merampas kehidupan sahabatnya. Untuk membersihkankan apa yang di sebut dosa mereka berteriak, yang suci ada ditangan kami. Api merambat terus sementara yang tadinya sekarat harus mengakhiri nafasnya.
Ditengah kegetiran ini seorang ibu berlutut dan menengada, “apakah aku diam dan melihat orang-orang itu bersorak dan menyemangati api itu sedangkan sebentar lagi aku dan seluruh keluargaku akan habis dilahapnya”
“Tolong…..tolong…anak saya ada didalam pak..tolong pak … sambil menarik baju salah seorang yang berbadan gagah berseragam putih yang menyimbolkan kesucian berdiri di tempat yang dibatasi sehingga api tidak boleh lewat disitu tanpa ada setitik ibah yang melembutkan wajahnya.
“Pak tolong anak.. saya.. dia terkunci didalam … aku tidak bisa membuka pintunya..” Merintih bersama keperihan hati, ibu ini terus memohon.
“Sudahlah ibu tua anakmu telah ditakdirkan untuk menerima nasib seperti ini. Dia akan masuk surga biarlah api itu membersihkan dosa-dosanya. Kalian kaum kafir telah membakar amarah Sang Dewa sehingga dia murkah.”
“Siapa dewa itu, kenapa dia begitu kejam.. aku tidak pernah mengenalnya. Yang aku kenal adalah cinta dan kasih yang hidup. Seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya menderita karena anak adalah cintanya.” Dengan ketegaran sang ibu menatap tajam sang pemuda yang berdiri tegak dan tersenyum sinis. Kemudian wajahnya berubah kerutan ketidakpuasan tergores di keningnya.
“Hei.. tua bangka kamu pantas mati kamu tidak mengenal sang dewa. Kamu pantas dihukum. Kamu yang menyebabkan sang dewa murkah.” Sambil merentangkan jari telunjuknya kewajah sang ibu.”
“Aku tidak pernah menghina siapapun aku selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi semua orang, aku sangat menyayangi setiap kehidupan lihat…bahkan tanganku inipun belum pernah merampas nyawa tikus sekalipun, lalu apa salahku. Lihat kalian yang menamakan diri kaum suci jangankan merampas nyawa tikus, nyawa manusia saja tidak pernah ada rasa gentar tapi justru kebanggaan yang terbesit.”
“Sudahlah ibu, kamu tidak paham tentang hukum dari surga dan tidak pernah mengerti tentang kitab suci, minggir!! Pemuda ini mendorong sang ibu hingga jatuh.
Tiba-tiba mobil pemadam kebakaran lewat dengan suara sirinenya yang terus mengaung.
“Awas minggir petugas mau lewat.” Teriak salah seorang petugas. Mungkin dia adalah komandan dari pasukannya. Selang dilepaskan dan disodorkan kearah api yang terus membarah. Lidah-lidahnya yang kelaparan melahap dengan birahinya. Tapi apa yang terjadi tiba-tiba…Api semakin kencang. Mata sang ibu terbelalak lebar.. karena api yang semakin membumbung tinggi disebabkan oleh cairan yang keluar dari selang tersebut.
Perhatian sang ibu beralih kepada petugas yang berseragam yang sebelumnya dianggab sebagai pelindung atau penyelamat kehidupan bagi keluarga dan kerabatnya yang masih tersesat didalam kobaran api, dia sedang memegang selang. Dengan membawa kekecewaan, beraduk kesedihan dan kejengkelan yang mengalir disetiap aliran darah dan nafasnya sang ibu berteriak,
“Siapa kamu sebenarnya bukankah kamu datang untuk memadamkan api ini, tetapi bukannya air yang kamu bawa tapi cairan keparat ini?” Sementara sang petugas tetap menyemprotkan cairan penambah kobaran api dengan wajah dingin.
“Hai orang yang tak punya hati nurani. kemanakah hatimu apakah kamu tidak merasakan kepedulian sedikitpun.”
“Aku hanya mengerjakan tugasku berdasarkan perintah dari atasan. Lihat keatas apakah kau kenal orang itu?” Dengan rentangan telunjuknya mengarahkan keatas sebua singgasana.
“Bukankah dia orang yang dianggab yang terberkahi. Namanya agung ditengah gemuruh kehidupan dia bagai nabi bagi para pengikutnya. Bagaimana mungkin dia begitu kejam…Oh kehidupan sungguhkah Tuhan atau Dewa itu begitu kejam lalu bagaimana dengan kasih yang ditahktakan dalam hati semua mahkluk apakah telah diambilnya.” Dalam keletihan sang ibu meratap. Langit yang membiru berubah, sekejam merah membarah dan seluruh selah-selah kehidupan telah dibius oleh kedengkian dan kemurkaan sang api. Dan dengan rasa cinta dan kasih pada anak dan sanak saudaranya yang terkurung dia memutuskan untuk berlari menuju api yang berkobar.
“Lebih baik aku pergi bersama dengan mereka yang punya hati nurani dari pada hidup bersama kedengkian yang menyayatku dan membunuhku perlahan-lahan.” Sang Ibu berlari kearah api, sambil berteriak “Kamu bisa menghanguskan ragaku tapi kasihku akan terus bersemayam disetiap nafas kehidupan hingga satu saat kau akan dipadamkan dengan kelembutannya.”
Sementara itu, dari kejauhan terdengar suara yang sedang mengumandangkan suara kasih. Tepatnya disebuah rumah yang juga bercat putih bersebelahan dengan singgasana sang nabi.
“Hai sesamaku kasihilah semua yang ada dihadapanmu Sang Dewa yang agung telah mengaruniakan kepada kita kasih itu, agar kita juga saling memberi. Jangan pernah menghakimi dan jangan pernah memfitnah hanya sang dewa yang agung yang berhak.”
Semua yang mendengar sabda ini mangut-mangut. Tiba-tiba seorang anak muda bertanya, “Yang dikarunia guru mulia, bagaimana dengan kota yang ada disana yang sedang terbakar lihat semua berubah menjadi ganas lalu bagaimana dengan kasih yang sering diseruhkan? Atau Kasih itu hanya cukup untuk kita yang ada disini? Apakah mereka tidak pantas untuk mengalami Kasih itu?” Sang pemuda berempati terhadap kondisi yang dialami oleh warga yang ada didalam kota.
Sang guru diam sesaat apa yang harus dia katakan. Kemudian, “Saudaraku kitalah yang terpilih untuk mendengarkan sabda Yang Maha Agung, ini merupakan berkah luar biasa sedangkan mereka juga ciptaan Yang Maha Agung tapi karena mereka tidak mengenal Dia Yang Maha Agung, mereka menerima hukuman.”
“Bukankah Dia Yang Maha Agung memiliki Kasih, Maha Pengampun tapi kenapa Dia tega membakar makhluk ciptaan-Nya sendiri. Kalau kita punya kasih bukankah kita perlu menolong mereka.
“Saudaraku mereka telah digariskan dan jika kita melawan sama dengan kita menentang hukum yang telah digariskan, yang perlu kita lakukan adalah berdoa semoga, mereka kaum berdosa memperoleh pengampunan dan mendapat tempat disurga.”
Sementara itu orang-orang yang ingin hidup melarikan diri pergi menuju ketempat yang aman tetapi justru ditangkap oleh orang-orang berbaju putih dengan membawa kelewang suci. Ketika ada yang berontak langsung dipenggal dan para petugas yang ada disitu yang kelihatan patuh terhadap pasukan yang berbaju putih. Tetap menyemprotkan cairan yang terus mengobarkan kemurkaan sang api. Dan anak muda ini tidak tahan melihat kondisi ini dengan berseragam seperti saudaranya yang serba putih. Dia berlari menuju kota yang sedang di musnahkan oleh barah api.
“Aku akan menunjukan sesungguhnya bagaimana kasih itu.” Dengan membawa tongkat dia menghajar salah seorang petugas yang mencoba memegang seorang gadis sehingga sang petugas babak belur. Akhirnya dia ditangkap karena dianggab main hakim sendiri. Dia diikat dengan tali yang berwarna merah karena dianggab telah murtad diarak berjalan sehingga semua orang melihat. Dari atas singgasana sang guru berkotbah,
“Dengarlah wahai umatku siapa yang membangkang akan dihukum seperti pengkhianat ini dia telah mengotori baju sucinya, sekarang lepaskan baju yang dikenakan! Dia telah murtad dan hukum dia!!! Dia telah melakukan perbuatan yang melanggar perintah dari surga” Dengan berapi-api sehingga semua yang mendengarkan berseruh,
“Buang dia ke api..buang dia ke api..buang dia keapi…” Semua bersorak dengan rona wajah yang berwarna merah angkara dan peluh yang meleleh diwajah… tidak ada kesejukan sedikitpun, sepertinya kasih yang diseruhkan adalah kasih sang api yang setiap saat siap membakar.
“Kamu dengar Anak muda pembangkang,.. suara ini adalah suara yang Maha Agung, kamu perlu di buang kalau tidak itu melawan takdirmu.” Dengan beberapa orang yang telah dibius oleh kepatuhan pada atasan tidak peduli apakah yang dilakukan baik atau tidak yang penting itu suara sang guru, mengangkat badan sang pemuda. Sepertinya mereka telah dibekali oleh ilmu belah diri. Namun kemudian.. tiba-tiba ada suara, yang menghentikan penghukuman ini.
“Tunggu sebentar sebelum kalian menghukumnya.” Suara itu adalah suara seorang yang berjubah rapi dan ditata dengan teratur. Mungkinkah dia akan menyelamatkan anak muda ini? dengan melangkah perlahan dia memberkati anak muda itu.
“Anakku pergilah kau dengan tenang semoga kamu lahir kembali disurga yang indah dan serba megah, sehingga tidak ada kebencian yang ada seperti ini, aku tidak bisa melakukan apapun tapi hal ini semoga membantumu.”
Anak muda itu dibuang keapi yang sedang menyalah sementara dibalik nyala api ada suara yang berteriak,
“Tolong…tolong….tolong…”
Dan ada sekelompok orang yang melantunkan doa atau mantra. Mungkin berharap api cepat padam atau cepat menghanguskan kota, dan disatu sisi ada orang yang terus menyemprotkan bahan bakar berharap api terus berkobar kerena menurut mereka ini kehendak dari atas, kedua kelompok ini sama-sama berseragam putih-putih seperti malaikat yang turun kebumi mengawasi peradilan Sang Dewa.
Seruling nada pujian dan permohonan terus berdendang. Sayup-sayup melantun dari kejauhan berharap belaskasihan dari langit. Menurunkan butir-butir air untuk memadamkan amarah api. Langit tidak bergeming. Merah bercampur pekat membentuk kabut tertata di hadapan langit. Semua telah terjadi. Api yang bringas dan lahir tak mampu dikalakan dengan senandung ini. biarlah semuanya pergi..
Seorang kakek tua yang berambut putih dengan berjalan perlahan-lahan dia tidak menampilkan wajah benci atau pura-pura benci tidak juga pura-pura kasih. Dengan senyum misteri bertahkta dibibir tua. Wajahnya kelihatan segar dan tenang, dengan sehelai kain yang sudah kusam dan berapa tambalan, melilit di badannya. Tongkat ditangannya, dia tidak bicara tentang hadiah atau hukuman, tidak juga melaknat dan berdoa. Dengan menatap kejadian ini sang kakek mengatakan, “Tuhan sudah dibakar habis sampai kenafasnya, dan asapnya kini memerahkan mata.” Dia pergi bersama asap yang mengepul. “Mereka tidak pernah mengerti siapa yang mereka sebut Tuhan atau Dewa sesungguhnya.” Gumamnya dalam hati.

*****
Semua orang berteriak tentang Tuhan tapi justru mereka membakar-Nya dengan kebencian.