Entri Populer

Selasa, 08 Maret 2011




Guru Tak Ideal

Masih terpatri di lubuk hati yang terdalam pesan dekanku nan imut di saat Wisuda Fakultas; “Sekarang tibalah saatnya kamu masuk dalam dunia yang sesungguhnya, banyak tantangan dan hambatan siap menghadang, gunakan pengetahuan yang telah kamu dapat sebaik mungkin dan jangan pernah putus asa.” Tidak salah kalimat itu. Dunia realita ini memang keras dan kejam. Tapi show must go on. Keputusan untuk kembali ke kampung halaman tercinta tak bisa diganggu gugat. Tinggal di gunung jauh dari Citra Land Mall, Hi Sum Cafe, Family Fun, Warung Tegal apalagi Bioskop Twenty One. Singkat cerita jadilah aku seorang guru SD (ha..ha.. Sarjana Sastra Inggris plus lulusan terbaik dari salah satu Universitas elit cuma jadi guru SD di isolated village. sok heroik banget). Kawan aku hanya menjalani panggilan jiwa! Kira-kira demikian kalau aku mau menguatkan sang aku. Mimpi untuk jadi kaum metropolis aliran Yupies dengan sejumlah fasilitas mewah plus-plus ku singkirkan jauh-jauh.
Berbagai aturan sekolah ku jalankan kecuali terlambat masuk sekolah. Hee..hee.. kebiasan sialan satu ini gak bisa dihilangi, kebawa waktu kuliah. Benar kata para psikolog; sesuatu yang sudah dilakukan sebanyak 99 kali berturut-turut maka akan jadi kebiasan yang sulit dirubah. Setiap pagi Sang Kepala Sekolah selalu menegaskan dan menegaskan tetap saja gak mempan. Diibaratkan mengetuk batok kelapa yang sudah keras kulitnya. Jangan pikir aku cuma sendiri, ada sainganku kalau masalah terlambat. Seorang guru, kebetulan Ijasa terakhir PGAK (Pendidikan Guru Agama Katolik) diangkat jadi PNS. Padahal dia sendiri tidak pernah punya mimpi jadi guru apalagi PNS, jauh banget. Menurutnya lebih baik pegang mesin sensor dan potong kayu di hutan dari pada jadi guru harus pegang pulpen dan menjalankan sejuta adminstrasi yang gak abis-abis. Tapi sang kepala sekolah yang sudah dimutasikan ke tempat asalnya terus membujuk agar si tukang sensor ini bisa kembali pegang bolpoin. Mengingat para pendidik generasi bangsa sangat minim di daerah terpencil ini.

Tibalah pagi yang indah meskipun bagi ku gak indah soalnya tidurku belum pulas sudah harus bangun. Kenapa ya matahari cepat banget nongkrong diatas bukit? Padahal masih ingin gentayangan di alam bidadari. Pikir-pikir masih ada tugas yang harus diselesaikan. Mengusap-usap mata jalan menuju kamar mandi, sementara di bawah sana anak-anak sekolah sudah baris lengkap dengan seragam kenegaraan “Sang Merah Hati Ayam” (maksudnya seragam merah Putih). Beberapa anak melirik melihat ku berjalan ke kamar mandi dengan wajah kusut. Pikir mereka; enak ya.. jadi guru, datang terlambat gak dipukul, kalau kita betis sampai memar.” Sang Pengamat tak henti-hentinya memperhatikan anak-anak yang datang terlambat sambil menegur nama anak-anak itu. Bagaikan kucing yang berkonsentrasi tinggi mengamati gerakan anak ayam tak berinduk. Atau jelihnya mata burung elang mengintai burung kecil yang sedang lengah. Dia bukan guru juga bukan anggota komite atau kepala UPTD atau pengawas, dia hanyalah istri Kepala sekolah. Sebagai seorang istri yang baik harus mendukung kinerja suaminya salah satunya adalah: Berteriak dari halaman rumahnya, untuk memaksa anak-anak baris yang rapi. Aturan darimana? Ah gak tahu. Yang aku tahu aku sudah terlambat.

Pasang wajah cuek, seolah-olah gak salah. Berjalan menuju ruang guru. Semua anak-anak sudah masuk kelas dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tentu saja masih ada sepasang mata memandang ku tanpa ada suara, Sang Pengamat. Mau teriak suruh cepat gak mungkin, ini seorang guru. Tetap cuek dan tepat di depan ruang guru langkah kaki ku terhenti. Sepertinya para pahlawan tanpa tanda jasa sedang berdoa. Ku putar haluan pura-pura masuk ke perpustakaan dari pada berdiri seperti patung dan jadi tontonan anak-anak. Tahu sendiri kalau doa dipandu Sang Kepala Sekolah. Dijamin berdiri sampai lutut kram! Padahal Tuhan Yesus mengatakan “ Kalau berdoa jangan bertele-tele, Bapakmu yang di Surga sudah tahu sebelum kamu meminta.” Maklum manusia gak pernah puas. Termasuk berdoa juga begitu. Sudah omong ini, omong itu, omong ini lagi, itu lagi dan lagi..lagi..lagi.. Setelah mendengar kata: Amin, ku bentangkan langkah kaki ku menuju ruang guru,
“Selamat pagi!”
“Pagi” Sorak serempak dari para Pendidik yang dikategorikan disiplin.
Ku letakan tas hitam yang berisi lap top bantuan dari LPMP Provonsi Nusa Tenggara Timur. Di meja bertaplak hijau. Taplak yang pembayarannya masih kontroversial. Pikirku taplak sialan ini beserta gorden. Masa sih.. harganya sampai tujuh juta lebih? Emang Mas Jawa itu pasti udah untung besar. Otak ku masih mereka-reka untung rugi curang dan tidak, antara sesal dan ikhlas, tiba-tiba;
“Abang, tadi Kepala sekolah bilang, kamu itu sudah dua bulan tidak ke gereja.” Ibu Cici, guru PNS yang paling muda dan tergolong adik ku mengabarkan berita luar biasa ini.
Sejenak aku kaget,
“Jadi, Pak Kepsek hitung ya siapa saja yang datang ke gereja?”
“Mana aku tahu? Tanya sendiri sama Pak Kepsek.”
”Nanti kamu omomg sama Pak Kepsek buatkan daftar hadir di letakan didepan gereja.” Tanggap ku sekenanya.
Ibu Cici Cuma nyegir. Dalam hati dia pikir; rumah sudah mau gandeng dengan gedung sekolah masih terlambat. Gereja sudah di halaman rumah masih malas sembahyang. dia kembali membereskan buku-bukunya. tiba-tiba;
“Ehm...Selamat Pagi!” Ada suara dari pintu
Pandanganku secepat kilat mengarah pada sumber suara. Ternyata yang muncul adalah sosok jangkung beseragam PNS, siapa lagi kalau bukan saingan terlambatku dan selalu jadi ‘Santapan’ Kepala UPTD P&K karena selalu terlambat dan masuk sekolah tanpa ijin, Pak John.
Sudah jadi kebiasaan kalau Pak John muncul pasti suasana jadi ceriah. Ibu Cici tertawa apalagi Pak Kons; sahabatnya pasti meledeknya habis-habisan.
“Eh.. Pak John kamu pasti menghadap Kepsek hari ini. Tadi Pak Kepala ada omong, kamu sudah 2 bulan tidak ke gereja padahal Seksi Liturgi” Pak Kons angkat bicara.
“Bukan Pak John, tapi Pak Don.” Ibu Cici bantah.
“Bukan, tadi Pak Kepala bilang Seksi Liturgi le..”

“He...he..he.. ternyata Pak John bukan aku.” Aku menanggapi. Pikirku pada titik ini aman pasti Pak John dipanggil ditanya kenapa tidak ke gereja padahal kamu guru agama, kenapa kamu begitu tega, apa kata Tuhan Allah nanti kalau Guru Agama tidak memberi contoh yang baik. Dan si pendek itu bicara sambil mengelus-elus kepalanya tengok kiri-tengok kanan lihat atas bawa tanpa memandang lawan bicaranya. Dan Pak John hanya jawab;
“Iya pak..iya pak.”
Tapi salut aku sama Pak John gak pernah mengamuk. Kalau Pak John kayak Ketua BPD pasti kami sudah disidangkan dan harus denda jutaan dengan Delik; Sindiran yang Melecehkan. Memang jasa mu luar biasa Pak John membuat orang tersenyum dan merasa bahwa hidup ini begitu indah. Upah mu besar di Surga (kalau Surga ada).
Setelah menertawakan Pak John, para Pengabdi Ibu Pertiwi ini sibuk menyiapkan nilai maklum sebentar lagi mau kenaikan kelas. Waktu yang diramalkan Pak Kons tiba juga,
Sosok pendek setengah dari tinggi badan Pak John muncul di ambang pintu, sambil mengelus-ngelus kepala,
“Pak John ikut saya ke kantor sebentar.” Wajah serius.
“Saya Pak?” Pak John memastikan. Soalnya bunyi “John” dan “Don” itu tak bisa dibedakan kalau omongnya cepat dan tidak jelas. Apalagi kasus yang mau disidangkan sama. Tadi Ibu Cici dan Pak Kons sempat berdebat soal John dan Don yang terlambat dan tidak ke gereja.
Tanpa berbisik apalagi berkata, Pak John mengayunkan langkah menuju Kantor Kepsek, layaknya terdakwa yang dipanggil Jaksa penuntut umum.
Beberapa saat sang terdakwa muncul lagi ke habitatnya, ruang guru. Wajah tetap cuek dingin.
“Pak Don, dipanggil Kepala Sekolah!”
“Yang benar!” Aku ragu dengan pernyataan Pak John soalnya wajahnya kalau bercanda dan serius sama saja.
“Benar! Kamu ditunggu sekarang”
Melangkahlah aku. Ternyata pagi ini semakin tidak sempurna. John dan Don sama saja, berarti Pak Kepala tadi singgung kami berdua. Maklum kalau pemimpin kami ini bicara gak terarah loncat sana loncat sini jadi pendengar minimal harus punya IQ 150 kayak Sri Muliyani, Mentri keuangan yang sudah jadi Direktur Bank Dunia. Biar bisa tangkap seratus persen. Secara simbolis mengetuk pintu, soalnya aku yakin Sang Kepsek juga gak dengar. Berjalan terus menuju kursi tamu, kemudian di persilahkan duduk. Maka duduklah aku.
“Begini ade.. (aku gak dengar jelas lagi dia omong apa meskipun aku sudah berkonsetrasi, aku yakin ini bukan masalah pendengaranku, soalnya tadi pagi aku baru bersihkan dengan pengorek kuping)..hmm..emm..hmmomm.. gambar sekilas.”
Kata “gambar” dan “sekilas” saja yang aku tangkap. Pikiranku berspekulasi. Jangan-jangan ini terkait dengan lukisan-lukisan Buddha yang aku tempel dinding kamarku. Jadi beliau beranggapan aku sudah murtad. Ah... masa bodoh. Karena gak ada respon dia omong lagi.

“Saya beranggapan ade itu dulu masih kuliah terlalu sibuk jadi tidak ke gereja, sehingga kebiasaan itu dibawah terus. Padahal kita harus mengajak kaum muda aktif di gereja, ade pengurus OMK (Orang Muda Katolik)?” Sedikit memandang wajahku sisanya lihat keatas kesamping dan kebawah.
“Aku bukan pengurus pak, anggota.” Jawabku.
“Dulu ade pengurus?”
“Tidak pak.”
“Penolong berarti. Ade sempat aktif dan sekarang sudah tidak lagi. Sekarang kita mau merubah keadaan, dan kita harus kasih contoh.. sebenarnya saya juga mau ade bimbing anak-anak untuk sembahyang lingkungan malam hari.. saya berusaha untuk mengajak orang untuk rajin ke gereja tapi apa kata orang. Tetangganya sendiri apalagi guru bawahannya sendiri saja tidak aktif. Sehingga saya mengharapkan ade untuk aktif.. jadi saya umpamakan ade ini seperti orang yang pergi merantau kemudian pulang baju baru, jam tangan baru, sepatu baru jadi rajin setelah tidak baru lagi.. malas..”
Gawat.. emang pemimpin satu ini gak bisa mengerti orang, pake contoh yang bikin orang dongkol saja. Dia pikir aku datang ke kampung sini untuk pamer. Dia lupa kalau selama keberadaanku disini sudah banyak perubahan. Emang benar manusia untuk lihat sisi negatif itu lebih mudah. Aku sudah gak nyaman lagi.
“Maaf pak, jangan samakan saya dengan orang yang sekedar pamer. Ketidak aktifanku di OMK bukan karena bajuku sudah kusam atau jam tangan ku sudah rusak, tapi karena mereka sudah tidak mau lagi aktif. Begini pak kalau kita sudah memberi tapi orangnya sudah tidak mau menerima meskipun kita sudah bujuk tapi tetap tidak mau ya.. sudah energi yang ada bisa saya gunakan untuk orang lain.”
“Ya ..begitu saya umpakan jadi ade sama dengan dengan orang merantau begitu...”
Hi..kenapa ini kepsek gak ngerti juga..dia pake ulang lagi. Bagaimana bisa mengerti orang lain kalau sebelum orang lain bicara sudah ada kesimpulan dulu. Belum ada data-data sudah buat kesimpulan. Ini kalau dosenku yang namanya Pak Adhy sudah dibantai habis-habisan pada konsultasi skripsi.
“Begini pak! Aku muak sama sistem gereja, sakremen sepertinya dijual. Jadi kalau aku ke gereja, tidak pernah merasakan khusuknya atau kesakralan beribadat trus, mungkin aku juga punya persoalan psikologis.” Argumenku ku lontarkan biar dia anggap aku tidak waras.
“Dan satu lagi pak, ibadat bagi saya adalah ketika saya bisa berbuat baik tidak pernah menyusahkan oranglain dan ketika kehadirkan ku justru dianggap memudahkan segalah kesulitan, itulah ibadat bagiku.”
“Begini ade.. yang kita bicarakan tadi saya hanya berharap ade bisa bimbing anak-anak bersama Ibu Cici. Biar ketika kita ajak anak-anak sekolah kita sudah buat duluan. Bagaimana kita bisa ajak mereka kalau kita tidak melakukan? Pak John juga seksi liturgi dan guru agama juga sudah kelihatan jarang ke gereja.” Tanggapnya enteng.

“Saya bukan guru ideal pak, dan ini kekurangan saya, tapi cobalah bapak buka mata dan melihat dalam kekurangan pasti ada kelebihan.”
“Kalau ade tidak suka dengan sistem gereja datang kalau ada pertemuan. Ini ade juga tidak pernah ikut pertemuan di gereja jadi tidak mengerti persoalannya.”
Sudah lah pikirku iyakan saja. Dari pada omong putar-putar hanya saling mempertahankan pendapat.
“Baik pak!” Keluarlah aku menuju ke ruangan para pejuang mencerdaskan bangsa. Mungkin sang kepsek pikir semuanya sudah teratasi dengan kata iya dari mulutku. Padahal biasanya manusia itu iya..iya tapi belum tentu dilaksanakan. Yang penting aku bisa memberi semampuku. Soal iman urusan masing-masing..

Sabtu, 19 Februari 2011

SANG DOMBA

Kegelisahan Sang Domba

(don lado)


Hamparan rerumputan bagai permadani hijau tinggal lukisan usang terpampang di bilik kenangan. Kumpulan domba kini melahap tulang rumput kering dan daun-daun tua seadanya. Dimanakah hijau rerumputan yang dikisahkan para leleluhur? Kemanakah tuan bijak yang katanya selalu memperhatikan kesejahteraan hidup para domba? Tak ada yang tahu. Bagi para domba itu bukan pertanyaan mendasar. Masa lalu punya kisah sendiri. Tak perlu diingat lagi. Masa depan memiliki ketidakpastian. Semua begitu kompak berjalan melahap makanan seadanya, mengembik jika itu perlu dan siap digiring ke tempat pemangkasan bulu. Hanya demi sebua rumah megah nan indah di hari depan. Ditengah kumpulan ini, seekor domba sedang asyik bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan. Tak ada yang tahu, bahkan gembala atau tuannya sekali pun. Tidak ada yang aneh dari tingkah lakunya. Mengembik, makan, minum dan siap dicukur bulunya.

Tibalah mereka di sebua tempat peristirahatan. Dan biasanya tempat dan jam seperti ini mereka beristirahat sejenak. Mendendangkan kekaguman mereka akan sang tuan beserta gembala-gembala mereka. Sebelum melanjutkan perjalanan untuk mengisi perut dengan rerumputan.

Kita mesti lebih banyak berterimakasih.. karena para gembala telah menjaga kita.. Jangan pernah kuatir akan hari esok! Tuan kita sudah mengaturnya” Seekor domba tua berujar. Rupanya dia sudah didoktrin oleh para gembala atau mungkin sudah ada penyuapan demi perlakuan khusus yang diperoleh domba tua? Ah.. lagi-lagi tidak pasti. Yang jelas domba tua ini selalu dihormati dan menjadi orang kepercayaan para gembala.

Betul itu.. kita harus lebih banyak pasrah dengan ketotalitasan, ada rumah terindah bagai rumah para dewa disediakan oleh tuan kita.” Yang lain menambahkan.

Tidak bagi ku..” diam sesaat sambil menunduk. Kemudian menegakan kepala dan menatap setiap wajah-wajah para domba.

Sesaat.. Kumpulan domba menatap serius ke sosok yang berada paling kiri. Kata-kata pembantahan yang tak pernah didengar sebelumnya. Dan terkesan domba ini hidup dalam keragu-raguan. Domba tua memperhatikan lekat-lekat sosok muda yang berdiri tegar. Sosok ini dikenal betul, biasa dipanggil Vida. Selama ini Vida selalu mematuhi aturaan yang ditetapkan kumpulan domba. Hasrat ingin tahu lebih jauh, domba tua mengajukan pertanyaan,

Maksud kamu?”

Sadarkah Kalian, hidup kita selalu diperas. Sudah memberikan bulu, masih akan dimintakan susu lagi? Apakah ada kontribusi para gembala itu bagi kita, kaum domba?” Sambil menatap kesekeliling, sosok domba muda melanjutkan pernyataannya. Tak ada rasa takut. Kepercayaan diri yang selama ini tak pernah terbayang membalut rapi sosok domba muda ini. Kemantapan dan ketegasan kata-kata yang tersaji sangat jelas dari mulut mudanya. Cukup untuk memberikan semburan panas agar bisa bergerak dari tempat kediaman yang dianggap nyaman.

Semua mata melotot dan tersentak kaget. Ada yang seolah-olah mengiyakan namun hanya dalam hati. Takut kalau dianggap pembangkang atau mungkin merasa melawan berarti hidupnya sial terus. Tapi ada juga yang tidak bisa terima dengan pernyataan ini dan sedikit emosional.

Apa kamu bilang? Kamu tidak pikir, hidup kita butuh gembala! Tak ada seekor domba pun didunia ini yang hidup dari kemampuannya sendiri.” Salah satu dari domba kepercayaan gembala angkat bicara. Meskipun bulu nya tak bisa panjang-panjang karena terus dicukur oleh gembala.

Hidup ku bahagia dan jauh dari derita. Karena bakti ku pada gembala.. dan gembala selalu menceritakan kalau tuan kita adalah sosok yang sangat baik. Aku yakin dia memang baik hati.. aku merasakan kehadirannya selama ini” Layaknya kesaksian, dia membuktikan keyakinannya. Meskipun hal itu sangat subyektif. Hampir semua anggota kumpulan mengangguk-anggukan kepala. Dan yang lain diam saja. Mungkin takut menggelengkan kepala, kalau menganggukan, tidak yakin. Ah.. dilematis.

Iya betul itu.. kami sependapat.. tak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Gembala kita tahu apa yang terbaik buat kita.. kenapa mesti pusing.” Yang lain menambahkan.

Hai! ... Para domba anggota kumpulan jangan lagi kita dengarkan kata-kata anak muda ini. Kebenaran yang diyakini kita selama ini jangan pernah ditentang kalau tidak mau hidup menderita.” Kata-kata berbau sedikit ancaman dilontarkan dari domba tua. Selanjutnya para domba berjalan lagi menyusuri hamparan rumput kering, demi mempertahankan hidup.

Tak ada lagi yang harus dibicarakan. Gerombolan domba kini menikmati hidup mereka makan rumput kering. Piara bulu yang panjang, nanti dicukur oleh gembala dan dijual untuk hidup gembala dan kemulian sang tuan. Tapi tak seekor domba pun tahu. Mereka hanya percaya pada cerita gembala.. Sang domba, Vida terus merenung... sampai kapan domba-domba ini sadar kalau mereka hanya dimanfaatkan. Tapi harus bagaimana? Sesaat tersadar dari perenungannya.

Sudahlah aku mengerti perasaanmu..kamu harus tahu kita hanya domba bukan makluk hebat seperti manusia. Kamu hanya akan ditertawakan dikucilkan dan mungkin disingkirkan dari kelompok ini kalau kamu bersikap kontra.” Seokor domba yang selalu berada paling belakang karena tidak bisa jalan cepat mencoba menghibur sahabatnya.

Sungguhkah kita makhluk tak berdaya, sahabatku?”

Vida...Pertanyaanmu tak perlu dijawab. Kita butuh gembala untuk memimpin kita menuju hamparan rumput yang hijau seperti cerita nenek moyang kita. Kamu tidak merindukan hal ini?”

Aku ingin sekali. Tapi apakah jalan yang kita lalui ini benar? Kamu lihat gembala kita! Mereka enak-enak tidur diatas kasur empuk. Lengkap dengan fasilitas mewah lainya. Kadang terlihat berpesta. Biasanya setelah bulu-bulu kita dicukur, satu persatu menghilang dan kembali lagi setelah beberapa bulan.. Sementara mereka tidak pernah pikir kalau kita kerja keras untuk piara bulu-bulu kita demi kehidupan mereka. Bahkan sekarang.. bulu kita harus dicukur lebih banyak lagi.. Bukankah tugas gembala memperhatikan kesejahteraan para domba. Mencari padang rumput yang hijau. Membersihkan kandang, menyediahkan air minum. Tapi coba kita lihat sekarang. Hanya karena prinsip mandiri mereka biarkan kita tertatih-tatih. Jangankan membersihkan kandang menunjukan padang rumput saja tak pernah dilakukan. Mereka sibuk dibalik rumah mewah mereka. Sesekali terlihat keluar dan bicara panjang lebar tanpa bukti.. Penutup dari kata-kata mereka selalu penuh makna menggantung ular.” Vida menumpahkan kegelisahannya, yang selama ini dibungkus sangat rapi direlung hatinya.

Kadang aku pun berfikir seperti itu... tapi kita hidup dalam komunitas ini. Kebenaran sosial sudah jadi bingkai hidup kita, aku bukan orang dionisian yang mampu hidup dengan ketegaran prinsip sendiri.” Lingkan. Demikian domba ini biasa dipanggil, menengada ke langit membiru namun samar-samar ada kabut abu-abu mebentuk seluet fatamorgana. Seperti kegelisahan hati yang dilematis. Sejenak menarik nafas mendalam. Seperti memaklumi segalanya.

Perlahan-lahan, dengan langkah yang disadari. Vida, sang domba meninggalkan sahabatnya Lingkan.

Biarlah aku menyendiri sesaat sahabatku.” Vida meninggalkan Lingkan.

Pergilah! Kembalilah jika kamu tak sanggub!”

Dari kejauhan terdengar para domba mendendangkan pujian untuk kebaikan sang tuan. Ada yang begitu serius. Ini kelompok yang memasrahkan hidupnya pada sang tuan. kelompok lain memuji seadanya sambil matanya mencari rerumputan yang bisa dimakan. Ada juga yang bercengkerama dengan teman-temannya dan anggota baru dibawah lindungan pohon tak berdaun, mencerita kisah kasih hidup yang penuh komposisi warna.

Sementara dibalik rumah mewah, beberapa gembala asyik menghitung jumlah uang, hasil penjualan bulu para domba. Tak pernah tahu mereka. Ada kerisauan ditengah-tengah gerombolan domba yang mereka gembalakan. Atau sekedar merasakan derita kumpulan domba.

Sialan! Kali ini hasil penjualan bulu domba menurun... Kalau begini terus kita tidak bisa maju.. Bagimana kalau saatnya kita paksa mereka menyediakan susu atau daging segar? Kamu stuju?” Rupanya ini pertanyaan dari mulut gembala yang ditujukan kepada asistennya yang ditempatkan di peternakan ini beberapa bulan lalu. Sejenak sang asisten memikirkan..

Menurut saya.. ada tahap yang harus kita lewati.. dua bulan lagi kita mengadakan upacara selamatan dan syukuran atas bakti para domba. Nah, pada perayaan itu domba-domba yang dianggap serius kita berikan penghargaan, dan akomodasi yang nyaman. Sebagai motivasi bagi domba lain agar lebih serius lagi untuk membaktikan diri pada peternakan ini.. bagaimana?”

Diam sesaat.. mengangguk-angguk,

Betul juga ide kamu.. kita akan coba melakukan hal itu. Tapi ini juga tidak mempan kita jalankan rencana selanjutnya... saat ini kita butuh membuat gedung yang besar untuk perayaan akhir tahun mapun pertengahan tahun. Kalau bangunan ini tidak kita selesaikan, bisa-bisa kita dipulangkan.” Rupanya otoritas hidup gembala-gembala ini tergantung pada atasannya lagi. Tuan mungkin? Atau bos lain lagi? Entahlah...

Tak perlu ada pemberitahuan khusus bahwa minggu depan akan ada perayaan syukuran, karena ini sudah jadi tradisi dari tahun ke tahun. Banyak dari domba-domba yang menyiapkan diri untuk menyambut perayaan ini. Namun tidak sedikit juga yang cuek dan lebih memikirkan apa yang harus dilakukan untuk menyambung hidup di jaman yang semakin sulit ini.

Apapun yang terjadi saat-saat seperti ini mereka harus kerja ekstra keras menyongsong perayaan ini. Kawanan domba harus mengumpulkan rumput yang banyak memelihara bulu. untuk bersama-sama merayakan upacara ini. Sudah ada pemberitahuan kali ini mereka harus mengumpulkan sepuluh ikat rumput.

Dikalah istirahat untuk mengagungkan sang tuan, sebua seruan dari domba tua dikumandangkan,

Saudara-saudaraku kawanan domba yang berdiam di peternakan ini. Sebentar lagi kita akan merayakan upacara syukuran atas karya kita dan bentuk terimakasih kita kepada gembala dan tuan kita.” Suara lantang. Semua domba yang hadir berbinar-binar. Ada yang berekspresi datar-datar saja. Intinya dari seruan itu adalah mengumpulkan dan berkorban. Kemudian domba tua melanjutkan,

Kali ini ada ketegasan dari gembala kita. Siapa yang tidak mengumpulkan rumput terbaik sepuluh ikat dan memberikan bulu terbaik maka mereka tidak diperkenankan untuk masuk dalam upacara ini.”

Seruan itu menimbulkan berbagai suara-suara. Keributan pun tidak terkendali. Meskipun suara sumbang terngiang tetap saja dipantulkan kembali oleh dinding-dinding pagar tembok milik para gembala. Sang domba tua hanya bisa diam dan memaklumi. Katanya seorang pemimpin harus “bijak” mampu mengendalikan keadaan dan sabar. Ini adalah tantangan bagi seorang pemimpin. Begitu kira-kira pikir sang domba tua.

Domba-domba yang kecewa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Gembala kita sekarang tidak seperti yang dulu.” Berkata pada yang lain.

Betul kawan.. kalau gembala yang dulu, tinggal dipondok, makan seadanya, trus waktu mereka dihabiskan bersama, sering memainkan seruling klasik begitu merdu. Bahkan menyirami rumput-rumput yang kelihatan menguning. Jika ada domba yang sakit segera mereka obati.”

Ah.. sudahlah itu kan masa lalu. Tidak usah dipikirkan lagi!”

Apakah kita hanya bisa menerima kenyataan seperti ini, kawan?”

Apalagi yang harus kita lakukan kalau anak-anak kita tidak mau dipisahkan dari peternakan ini.”

Situasi yang sulit memang. Hidup secara komunal diikat oleh aturan komunal yang tak bisa dibantah. Kalau berani keluar dari rel itu artinya celaka. Bagimanapun bentuk rel dan kemanapun arah rel itu harus diikuti.

Kegelisahan Vida terus meremas hati yang masih muda. Benturan-benturan konservatif dari aturan hidup membuat pipinya memerah dan keningnya berkerut.

Seekor domba? Ya seekor domba.. Apa yang bisa diperbuat? Kecuali mengembik berbeda kalau jadi harimau atau macan bisa meraung dan menggigit. Andai aku seperti mereka. Ah... hanya bisa seaandainya.. Tibalah saat yang dinanti-nanti, upacara syukuran tahunan.

Semerbak hiasaan mewarnai aula sederhana menjadi luar biasa. Masih tak kelihatan wajah para gembala. Domba-domba yang telah berikhar untuk setia kepada peternakan ini begitu sibuk. Berlomba-lomba memberikan kemampuan terbaiknya. Sepertinya saat ini mereka ingin menunjukan kemampuan terbaik untuk sang tuan atau mencari nama besar? Sesuatu hal bisa saja mungkin. Kemudian muncullah kawanan domba begitu rapi, bulu-bulu dihias berbagai macam bunga-bunga liar. Ada tanda-tanda khusus yang terpampang didahi mereka. Ada semacam penentuan status dalam hal kesetian. Warna merah baris terdepan, diikuti warna ungu, warna hijau, dan terakhir warna hitam. Sambil mengumandangkan pujian perlahan-lahan bergerak menuju aula. Pemandangan berbeda ketika muncul beberapa domba yang tidak mengenakan atribut tertentu. Dengan penampilan seadanya berjalan menuju aula. Ditengah kumpulan tak beraturan ini ada sosok yang terus meresah, Vida tak tahu apa yang dipikirkan. Diam menunduk dan berdiri disampaing pintu aula. Upacara ini siap dimulai.

Para domba yang merasa begitu setia dan taat pada aturan memandang sinis pada domba-domba yang dianggap liar dan makluk bar-bar. Sementara domba-domba tak peduli dengan ritual dan seabrek aturan yang mengikat menertawakan kepatuhan yang berlebihan. Bagi mereka kehadiran ini hanya sebagai penuaian kehidupan bermasyarakat jika tak ingin dikucilkan. Dan ....

Saudara-saudari anggota Peternakan Tanah Terjanji, hari ini kita berkumpul ditempat ini untuk merayakan kurban satu tahun kesetian kita pada sang tuan dan atas berkat yang kita terima selama ini. Syukur kita haturkan dan sebagai karya nyata kita hari ini kita berikan kurban, hasil terbaik dari usaha kita untuk sang tuan.” Suara domba tua begitu lantang menggemah keseluruh sudut-sudut ruangan dan masuk menembus gendang telinga yang siap menada masuknya suara. Kemudian sebua pernyataan pun muncul,

Untuk itu saudara-saudari yang tidak bisa menuaikan kewajiban diharapkan agar tau diri dan tidak masuk dalam aula ini”

Sial..ternyata mereka benar-benar menerapkan aturan konyol ini. Demi sebua usaha mencari perhatian sang tuan, kasarnya cari muka tapi dikemas dengan kata-kata manis “kesetiaan” gemuru hati Vida tak terbendung.

Kamu lihat. Kamu sudah tahu keanehan ini tapi apa yang bisa kamu perbuat anak muda?” Rupanya dari tadi ada sosok yang memperhatikan Vida. Dan..

Kamu dengar pernyataan domba tua tadi? Kurban untuk sang tuan, pernahkah kamu melihat sang tuan itu. Paling-paling untuk para gembala yang leha-leha didalam rumah mewah sana. Pintarnya mereka, jual nama sang tuan untuk kehidupan mereka dan sang domba itu jadi tameng.” Sesaat Vida melirik ke sumber suara yang terdengar disampingnya, ada rasa kaget... tak diduga sosok itu dicap gila dan tidak dipedulikan. Domba betina yang sering dipanggil, Kiara.

Setelah ini akan kamu saksikan bagiamana liciknya sang gembala membuat domba tua itu dan para pasukan domba aneh yang mengenakan atribut persis domba gila itu melayang-layang diudara. Dan dengan begitu mereka semakin ikut saja apa kata para gembala. Dan kamu bisa tebak sendiri.. memuakan!” Tajam muncul dari mulut domba betina ini.

Tak banyak lagi yang bisa diperbuat..ha...ha... lebih baik dicap orang gila daripada dicap waras padahal setiap saat memperkosa nilai hidup dan cuma jadi kerbau dicocok hidung.” Domba betina ini menjauh dan keluar dari keramian dan menghilang dari padangan Vida.

Kegundahan dan kegelisahan terus mencengram nuraninya, apa yang bisa diperbuat dengan sistem komunal yang baku dan cenderung disakralkan ini? Kecuali menerima saja, bersikap cuek tapi kalau sangat prinsipil ya..tinggalkan lingkungan ini. Pandangan mata Vida kemudian mengarah pada sosok yang muncul berpakian megah, bagai pakian kebesaran para kaisar Zaman Romawi Kuno; mereka adalah para gembala. Buku besar dipegang dan disembah-sembah; sepertinya itu sabda dari sang tuan yang diagung-agungkan. Aneh memang gembala yang terkenal dengan pakian compang-camping, sebagai potret kesederhana tapi yang muncul justru para kaisar.. kontradiktif.. Dimanakah kemurnian itu? Telah hilang ditelan oleh mental kapitalis? Kemudian seorang gembala angkat bicara;

Para domba yang terkasih, Tak ada yang bisa dilakukan jika kita tidak mendapat restu dari sang tuan, untuk itu kita harus berjalan diatas sabda yang telah ditetapkan” Nada ketenangan sambil mengangkat buku besar.

Semua yang hadir didalam aula berbinar-binar dan mengangguk-angguk, seperti mendengar suara yang penuh mistis. Berbagai rentetan ritual dilakukan dan sambutan penutup dari domba tua;

Saudaraku semua yang dilindungi dalam peternakan ini, telah kita lewati sebua momen yang sangat penting dalam kehidupan kita, sebagi kumpulan domba yan setia kita juga harus tahu kewajiban kita. Untuk kali ini telah ditetapkan bagai anak domba yang sudah beberapa bulan lahir diharapkan untuk mengikuti ritual khusus agar hidupnya aman dan tenteram dan harus menyiapkan sejumlah rumput pilihan dan susu.”

Tak ada suara bantahan hanya ekspresi wajah dari kaum yang merasa tidak mampu, atau dianggap pemalas atau mungkin kurang keyakinan terhadap ritual ini.

Kenapa bisa begini? Sepertinya Peternakan Tanah Terjanji ini sedang menujuh keruntuhan. Vida berjalan meninggalkan kumpulannya dan menghilang ditengah padang rumput yang tak lagi menghijauh.