Entri Populer

Kamis, 30 Oktober 2008

RM I Ampun deh..

RM I


RM I? Ampun deh..


Kalau udah masuk tahap ini, rasanya seperti makan buah simalakama. Aku sendiri juga gak tahu seperti apa bentuk buah simalakama, kata pepatah makan buah simalakama dalam konteks ini berarti; kalau gak ambil pra proposal alias RM I berarti akan menjadi ajudan tetapnya Bapak Soegijapranata, patung pendek yang berdiri tegak didepan Fakultas kami. Dengan kata lain menjadi mahasiswa abadi. Kalau ngambil, tetap aja gak maju-maju banyak rintangan, seperti stress, frustrasi, depressi, insomnia, anemia, bahkan katanya bisa-bisa amnesia itu berarti menjadi tangan kanannya patung sang pahlawan nasional yang setiap saat berdiri disamping kanannya. Sama aja dapat gelar MA (Mahasiswa Abadi). Dua hal penting menurutku, pertama kemampuan intelektual menurut ku menjadi penyebab dasar diikuti poin kedua motivasi diri yang mulai kena dehidrasi sehingga RM gak selesai-selesai dan skripsi gak bisa-bisa maju sidang. Orang pintar tapi kalau mentalnya gak pernah disuntik vitamin gak bisa berkembang sesuai dengan hukum alam. Kok jadi ceramah, ya?

Pagi itu, semua wajah tidak menampilkan senyum, gak kayak kuliahnya Pak Bambang, dosen setengah “gila.” Sepanjang kuliah dia mengocok perut mahasiswa dengan gaya dan guyonannya seperti mata air yang gak kering-kering. “Andara Early”, jadi tema pokok dalam diskusi filsafatnya tentang konsep Estetika. Makhlumlah dosen ini mantan biarawan katolik yang gak mampu jadi romo. Katanya masih nafsu sama cewek. Atau kuliahnya Suster Ninfa, dosen penyabar selalu ceria gak pernah cemberut. Rasanya kalau di dekat dia adem banget. Emang kalau orang yang selalu dekat dengan Tuhan auranya lain; berwarna cerah dan indah bagai pelangi diwaktu hujan rintik-rintik. Di kepalanya terbentuk cahaya berwarna-warni bulat melingkar ala dewa-dewi Yunani kuno. Tetapi yang namanya manusia gak luput dari kekurangan, dosen asal Filipina ini sempat khilaf alias marah. Kalau ini ceritanya nanti aja. Back to the topic.. Tetap donk, kedua dosen ini menjadi warna tersendiri bagi kami.

Kali ini tidak ada pilihan lagi harus mengambil RM 1 (research method 1 / Pra proposal). Susahnya kalau mau jadi sarjana. Digembeleng habis-habis otaknya, meskipun setelah gelar SS nya disandang belum tentu pekerjaan bisa dikantongin. Angkatan kami harus berpisah. Terbagi kedalam dua jurusan. Sastra dan Linguistik. Yang Sastra di bawa koordinasi Bu Ike, ya..Bu Ike..ibu satu ini punya jam terbang cukup tinggi untuk memuaskan hasrat keterpaksaan untuk menjadi mahasiswa jurusan Sastra. Semua sudah berkumpul di selasar fakultas tercinta. Semua muka gak di setrika sama sekali. Nekuk kiri, nekuk kanan. Tatapan mata hampa. Garis kebingungan menggurat semerawut di wajah para mahasiswa ini. Tapi ada juga optimis dengan kepala selalu tegak keatas. Berbagai pikiran tersimpan menumpuk di otak laksana gudang yang menampung barang rongksoan. Kenapa bisa begini? Hari ini adalah saatnya bagi kami untuk mengajukan Novel atau Short story beserta judul sebagai materi dalam pra proposal, padahal sampai saat ini banyak diantara kami belum bisa menemukan yang tepat.

Kali ini mahasiswa yang digolong sebagai kelompok wisatawan berkumpul di tangga. Para mahasiswi ini kalau ke kampus berpenampilan seperti mau ke Mall. Di dalam tasnya lengkap berbagai bahan kecantikan. Tumben mereka sudah datang? Biasanya kalau kelas sudah mulai baru mereka datang. Bak peragawati yang melenggak-lenggok di atas catwalk. Kalau sudah begitu kami kaum lelaki mengambil profesi sebagai pengamat mode professional layaknya pertunjukan Fashion Show di F TV. Mengamati dari mereka muncul sampai dapat tempat duduk sambil geleng-geleng kepala dan pernyataan pun dimuntahkan “Luar biasa!”

Meskipun make-up cukup tebal menghiasi wajah mereka, tapi guratan keragu-ragu masih dikenali. Mereka adalah Veby, Sherly, Mona, dan Evi. Perempuan-perempuan ini menjadi warna tersendiri. Gak bisa kebayang kalau di kelas gak ada mereka. Rasanya sepi dan pingin cepat-cepat pulang. Kenapa bisa begitu? Veby sang idola dengan keindahan tubuhnya membuat mata ini gak mau berkedip sedikit pun, trus Sherly..wow.. luar biasa, Mona dan Evi mereka berdua sih gak dandan tapi cukup dengan keaslian saja bikin hati ini dag..dig..dug.. Dari pakaian mereka yang serba ketat atas dan ketat bawa sehingga setiap lekukan terlihat begitu indah. Pengamat cukup untuk mengatakan, “Uedan mantep Ee!” Meraka adalah icon sosok perempuan sesungguhnya, tentu saja secara fisik kalau intelek nanti dulu deh. Kalau di Sastra ada dua kategori mahasiswi secara fisik pertama murni perempuan dan kedua setengah perempuan setengah laki-laki. Nah untuk menemukan yang pertama itu susahnya minta ampun. Ibarat nyebur ke sawah buat menemukan ikan pari dan anjing laut. Kalau ciri kedua terpampang dimana-mana sampe bosan ngeliatnya. Keempat perempuan ini membahas tentang apalagi kalau bukan RM I.

“Novel mu apa Veb?” Mona rupanya pengin tahu.

“Aku gak pake novel, habis malas mbaca jadi pake cerpen, “Shooting an Eliphant” kan gak begitu banyak!” Sambil cengar cengir dengan gayanya yang begitu feminim.

“Lah..kamu?”

“Aku pake eh..Novel Ratu Calon Arang..gak tebal.” Sambil membetulkan letak soft lensa berwarna coklat sebagai pengganti kaca mata.

“Tapi mumet aku..aku ngerti cerita ne.. tapi bingung nentuin judul le.” Mengerut-ngerut keningya.

“Aku juga masih bingung bahas opone yo? Sambil membuka-buka lembar foto kopian berisi tentang cerita tersebut dengan huruf yang sangat kecil.

Gimana gak mumet. Foto kopiannya aja masih bersih gak ada coret-coretan alias belum pernah dibaca trus sepertinya kertas-kertas ini hasil dari proses kopi generasi ke empat atau lima jadi tulisannya gak jelas. Tampaknya mereka berpusing-pusing ria. Layaknya Shekespier yang sedang kebingungan memikirkan pertunjukan drama malam nanti karena yang hadir adalah sang ratu Inggris yang terkenal sangat egois dan otoriter. Sekali saja pertunjukannya tidak membuat sang Ratu tersenyum maka habis sudah karir nya di dunia hiburan.

Emang dikirain gampang apa ambil jurusan Sastra. Sampai disini argument Vebby tentang enak masuk di Sastra terbantahkan. Pernyataan seperti itu gugur. Ibarat pendapat kaum agamis di Dark Age, kalau matahari mengelilingi bumi dan Copernicus membantah kalau bumi yang berputar-putar mengelilingi matahari. Atau sok tahunya Colombus bahwa daratan yang didatangi setelah berputar-putar samudra nan luas adalah benua Asia. Tanah bagai surga dalam dongeng-dongeng kitab kuno. Ternyata bukan. Daratan itu adalah kumpulan orang-orang yang jauh dari peradaban kemakmuran yang kemudian dikenal dengan Amerika.. Waduh kok jadi ngelantur.. Oke.. Back to the topic.

Ada beberapa kriteria dalam menentukan materi pra proposal. Pertama cari cerpen dalam bahasa Inggris sukur-sukur kalau ada terjemahan Indonesianya. Kedua cari novel yang jumlah halamanya dibawa seratus, kalau lebih dari 100 halaman pastikan bahwa ada terjemahan Indonesiaanya. Dan ketiga cari puisi saja biar lebih gampang. Dengan beberapa kriteria ini maka hari ini, kami hadir disini. Menemui sang jendral, Bu Ike untuk mempertanggungjawabkan tugas yang telah di instruksikan. Dan kelas siap dimulai

Semua duduk menunggu giliran maju untuk berkonsultasi. Seperti mau periksa ke dokter. Harus antri. Layak nya dokter Bu Ike siap menerima pasien, dengan segala keluh kesanya. Hampir semua pasien yang hadir punya gejala; bingung menyebabkan pusing-pusing ditambah mual-mual.

Sambil menarik nafas dalam-dalam,

“Silakan maju satu-satu!” Menatap keseluruh ruangan.

Kami masih saling menatap kira-kira siapa mau jadi pahlawan hari ini. Biasa..kalau masa sulit begini gak ada yang mau maju duluan. Nunggu kalau ada penunjuk jalan. Maka Seto maju sebagai sang hero penunjuk jalan. Novel tipis berjudul Jonathan Seagul di keluarkan. Dan mendiskusikannya dengan Bu Ike. Seperti dokter ahli penyakit dalam Bu Ike begitu serius mendengarkan keluhan sang pasien. Akhirnya sang pengemar berat Jessica Simpson ini pun kembali ke tempat duduknya. Sekarang giliran para anggota mahasiswi wisatawan. Namun sebelumnya,

“Ayo siapa lagi yang belum maju?” Bu Ike sepertinya sudah menunggu pasien selanjutnya. Namun para mahasiwi ini masih berdiskusi membahas siapa yang maju duluan. Mereka gak bisa mengelak. Toh.. sekarang kami semua sudah maju. Akhirnya Mona maju.

“Silakan jelaskan pake novel apa trus apa yang mau dikaji?” Membetulkan letak kacamatanya dan duduk menyandar di punggung kursi. (ekspresi kelelahan)

“Em..novelnya ini bu, Ratu Calon Arang..(diam sebentar) saya mau membahas sisi moralitasnya..tapi sebenarnya saya masih bingung moralitas seperti apa?” Mona mengemukakan keluhannya.

Si ibu mengamati lekat-lekat sambil menganguk-angguk kepala. Dalam hati mungkin dia berfikir. Gawat… ini bukan novel sembarangan. Novel ini karya dari Pramoedya A.Toer, yang menekankan pemikiran feminism. Akhirnya seperti seorang psikater jurus-jurus ilmu sastra di jelaskan.

“Kalau kamu mau menggunakan pendekatan moralitas kamu harus pilih teorinya siapa? Seperti Emanuel Kant, dan lain-lain…..” Belum selesai si ibu bicara, Mona memotong

“Itu teorinya kayak apa bu? Terus cara analisisnya gimana?” Mengerutkan kening

“Ya teori tentang baik buruk dalam suatu masyarakat trus dihubungkan dengan kondisi yang ada di dalam novel. Tapi kamu harus banyak baca buku-buku tentang moral secara umum trus bagaimana hubungan konsep moral itu sendiri dengan sastra.”

“Emang hubungannya kayak apa?”

Bu Ike sudah mulai gak nyaman dengan pertanyaan ini. Pikirnya kalau kayak gini sama aja dengan aku yang ngerjain

“Ya..itu tugas kamu untuk membaca buku-buku itu. Kamu bisa pinjam diperpus. Nah kalau kamu udah baca baru kamu ceritakan pemahaman kamu. Sekarang tugas kamu baca lagi novelnya sama cari buku tentang moral itu.”

“Kok aku jadi pusing ya.!” Sambil memegang kepalanya.

“Pusing?” Bu Ike penasaran.

“Iya bu..aku maunya yang gampang-gampang aja. Gak perlu cari buku-buku seperti siapa tadi bu?..

“Emanuel Kant”

“Iya..ada cara lain gak selain baca buku seperti itu?”

Kali ini Bu Ike membenarkan duduknya. Susunan urat diwajahnya mulai tidak beraturan dalam hati, kalau gak mau susah gak usah kuliah aja. Memang kalau diibaratkan kami adalah mahasiswa yang lahir secara premature dan dituntut harus cepat besar. Sementara susunan saraf di otak belum sepenuhnya mencapai kematangan. Maka jadilah seperti ini. Rupanya Bu Ike mengerti dengan kesulitan mahasiswa yang sedang duduk dengan tatapan hampa di depannya.

“Baiklah Mona, kamu bisa pake pendekatan Formalistik aja.”

“Itu kayak apa bu?” Sambil mata nya melongoh. Layaknya bayi yang keheranan. Baru tahu kalau ada makhluk lain seperti bapaknya. Yang dia tahu selama ini cuma ibunya.

“Formalistik itu..em (menarik nafas dalam-dalam sambil terseyum).” Kali ini si ibu harus menjelaskan kembali teory satu ini yang pernah dipelajari oleh kami selama satu semester. Tapi disini si ibu di uji kesabarannya.

“Kamu nanti mengkaji Plot, Theme, Settings, Character, point of view, dan lain-lain.. tapi kamu harus baca tentang teori formalistic.”

“O gitu ya.. lebih mudah ya, bu?

Di tembak dengan pertanyaan seperti ini Bu Ike diam dulu. Kemudian

“Ya.. gak ada yang mudah Mon, cuma kalau formalistic kamu gak perlu menganalis psikologi, sosiologi, moral, dan lain-lain. Kamu hanya berkutat dengan novel itu.

“Aku bingung bu Formalistic itu gimana cara menerapkannya?”

Sampai disini Bu Ike harus menjelaskan kembali.. dan dia sendiri bingung harus mulai dari mana. Karena saking bingungnya. Terpaksa dia mencari perantara untuk memberikan pengertian. Tiba-tiba aku yang dipanggil.

“Donatus!”

Waduh gawat kenapa lagi? Pikirku dalam hati. Apa aku ada salah? Seperti wajah orang bloon aku mendekati bu Ike.

“Iya bu..ada apa bu?” Sedikit nyengir dan ragu-ragu juga.

“Tolong kamu jelasin ke Mona! Formalistic itu apa?”

Mampus aku ..Aku sendiri masih gak yakin dengan instruksi ini. Kenapa harus aku? Kan kami makhluk yang sama-sama tersesat dari awal. Tapi mau gimana. Aku harus mengambil tindakan. Memberikan penjelasan kepada teman ku yang sedang kebingungan. Wajah bingung ku mulai ku uraikan menjadi wajah yang penuh dengan kepercayaan diri. Ibarat salesman yang meskipun gak pernah merasakan manfaat product yang dijual harus berusaha meyakinkan pelangannya biar laku. Jurus-jurus dilancarkan. Meskipun sampai saat ini aku yakin kalau Mona tambah bingung dengan penjelasanku. Alasannya satu; orang buta menuntun orang buta. Kaum tersesat mengiring orang yang lagi buntuh jalannya. Adegan rancu ini berakhir.

Bagaimana kaum Linguistik? Kita lihat saja. Tiba-tiba kelas bubar dan keroyokan para calon ahli bahasa ini keluar. Mereka masih mendiskusikan topic-topik yang akan ditulis nanti. Kerena hujan rintik-rintik terpaksa kami semua berkumpul dulu di selasar. Dan mulailah si trouble maker asal pemalang angkat bicara tanpa peduli ada orang dibelakang.

“Sebenarnya kita bisa nentuin topiknya tapi tetap aja ditentang mentah-mentah.” Suaranya mengumandang. Kemudian entah kenapa tangannya dilempar kebelakang.

“Plok” Aku yang saat itu berdiri di belakangnya gak tau apa-apa terpaksa korban tangan gajahnya.

“Aduh.. matanya itu loh di pake! Gak lihat apa orang sebesar ini?” kalau ngomong sama orang ini gak perlu halus-halus. Percuma.

“Oh..ono menungso toh?” Tampang tanpa salahnya di pajang besar-besar sambil cengengesan dan berlanjut. Dasar…

“Sebenarnya kita bisa.. Tapi gara-gara Si Ninik tambah si kecil, Heny itu yang bikin kita jadi bingung. Tekok e sing macam-macam. Di kirain gampang apa nyari topik.” Sambil wajahnya ditekuk-tekuk. Selanjutnya kami tidak perhatikan lagi apa yang dia bicarakan. Mendengar tapi tidak nguping. Ada obyek menarik bagi kami yang cukup bikin sock si gajah gemuk ini.

Serentak kami semua tertawa. Di belakang dia persis telah berdiri dua orang dosen khusus Linguistik yang telah disebut namanya dengan tidak sopan. Tentu saja mereka dengar sangat..sangat jelas sekali. Kemudian

“Apa Yudh? Kamu habis bilang apa?” Bu Ninik berjalan kedepan sambil memegang lengannya Yudha.

“Oh ada ibu toh?” Aduh saya minta maaf bu.!” Kedua tangannya dikatupkan dan sedikit menunduk seperti seorang pendoa yang memohon kepada para dewa-dewi untuk mengabulkan permintaanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana suasana hati makhluk satu ini. Seperti pencopet yang ketahuan dan digebuk habis-habisan. Remuk redam. Belum selesai berurusan dengan Bu Ninik tiba-tiba muncul satu lagi.

“Berapa NIM kamu Yudh?” Bu Heny muncul di belakang Bu Ninik.

“Waduh..mampus ada Bu Heny toh? Aduh maaf-maaf saya gak sopan. Maaf..maaf..maaf sekali bu saya sudah gak sopan” Sambil kedua tangannya yang terkatup diangat naik turun layak orang melakukan Ciam Sie di Klenteng. Untuk mencari angka penentu nasib. Benar-benar sial nasib mu Yudh. Kira-kira begitu kalau Dewa nasib melihat makhluk satu ini. Kalau sudah begini kami semua pasti tertawa sekeras-kerasnya dan mengluarkan mantra ampuh, “Sukurin makan tuh!”

“Kamu mau lulus tahun berapa Yudh, 2010?” Bu Ninik melanjutkan

“Aduh jangan bu kalau bisa secepatnya.” Posisi tangan tetap. Gerakan tangan tetap. Ekspresi wajah seperti pengemis yang minta dikasihani. Kedua dosen ini pun berlalu masuk lagi ke ruangan sepertinya ada urusan yang lebih penting dari pada sekedar meladeni giant baby ini.

Kok ora ono sing ngomong toh?” Biasa mencari kesalahan orang lain, sambil melihat kami yang masih tertawa dengan kelakuan dia.

“Oh ngono..lihat temannya susah malah ketawa.”

“Belaskasihan sama kamu itu percuma Yudh,..makanya jangan asal nyeplas-nyeplos.” Igor angkat bicara sambil tertawa.

Seketika Agung mendekati dengan wajah serius dan memberikan ucapan selamat kepada trouble maker ini.

“Selamat bro, jadi Ajudan nya Pak Soegijapranata. Sekarang silakan berdiri di sampingnya!” Sambil menunjuk ke patung yang ada didepan kami persis.

Yudha tidak terima sambil ngomel-ngomel dan menendang pantatnya si Apank alias Agung.