Entri Populer

Selasa, 08 Maret 2011


Guru Tak Ideal

Masih terpatri di lubuk hati yang terdalam pesan dekanku nan imut di saat Wisuda Fakultas; “Sekarang tibalah saatnya kamu masuk dalam dunia yang sesungguhnya, banyak tantangan dan hambatan siap menghadang, gunakan pengetahuan yang telah kamu dapat sebaik mungkin dan jangan pernah putus asa.” Tidak salah kalimat itu. Dunia realita ini memang keras dan kejam. Tapi show must go on. Keputusan untuk kembali ke kampung halaman tercinta tak bisa diganggu gugat. Tinggal di gunung jauh dari Citra Land Mall, Hi Sum Cafe, Family Fun, Warung Tegal apalagi Bioskop Twenty One. Singkat cerita jadilah aku seorang guru SD (ha..ha.. Sarjana Sastra Inggris plus lulusan terbaik dari salah satu Universitas elit cuma jadi guru SD di isolated village. sok heroik banget). Kawan aku hanya menjalani panggilan jiwa! Kira-kira demikian kalau aku mau menguatkan sang aku. Mimpi untuk jadi kaum metropolis aliran Yupies dengan sejumlah fasilitas mewah plus-plus ku singkirkan jauh-jauh.
Berbagai aturan sekolah ku jalankan kecuali terlambat masuk sekolah. Hee..hee.. kebiasan sialan satu ini gak bisa dihilangi, kebawa waktu kuliah. Benar kata para psikolog; sesuatu yang sudah dilakukan sebanyak 99 kali berturut-turut maka akan jadi kebiasan yang sulit dirubah. Setiap pagi Sang Kepala Sekolah selalu menegaskan dan menegaskan tetap saja gak mempan. Diibaratkan mengetuk batok kelapa yang sudah keras kulitnya. Jangan pikir aku cuma sendiri, ada sainganku kalau masalah terlambat. Seorang guru, kebetulan Ijasa terakhir PGAK (Pendidikan Guru Agama Katolik) diangkat jadi PNS. Padahal dia sendiri tidak pernah punya mimpi jadi guru apalagi PNS, jauh banget. Menurutnya lebih baik pegang mesin sensor dan potong kayu di hutan dari pada jadi guru harus pegang pulpen dan menjalankan sejuta adminstrasi yang gak abis-abis. Tapi sang kepala sekolah yang sudah dimutasikan ke tempat asalnya terus membujuk agar si tukang sensor ini bisa kembali pegang bolpoin. Mengingat para pendidik generasi bangsa sangat minim di daerah terpencil ini.

Tibalah pagi yang indah meskipun bagi ku gak indah soalnya tidurku belum pulas sudah harus bangun. Kenapa ya matahari cepat banget nongkrong diatas bukit? Padahal masih ingin gentayangan di alam bidadari. Pikir-pikir masih ada tugas yang harus diselesaikan. Mengusap-usap mata jalan menuju kamar mandi, sementara di bawah sana anak-anak sekolah sudah baris lengkap dengan seragam kenegaraan “Sang Merah Hati Ayam” (maksudnya seragam merah Putih). Beberapa anak melirik melihat ku berjalan ke kamar mandi dengan wajah kusut. Pikir mereka; enak ya.. jadi guru, datang terlambat gak dipukul, kalau kita betis sampai memar.” Sang Pengamat tak henti-hentinya memperhatikan anak-anak yang datang terlambat sambil menegur nama anak-anak itu. Bagaikan kucing yang berkonsentrasi tinggi mengamati gerakan anak ayam tak berinduk. Atau jelihnya mata burung elang mengintai burung kecil yang sedang lengah. Dia bukan guru juga bukan anggota komite atau kepala UPTD atau pengawas, dia hanyalah istri Kepala sekolah. Sebagai seorang istri yang baik harus mendukung kinerja suaminya salah satunya adalah: Berteriak dari halaman rumahnya, untuk memaksa anak-anak baris yang rapi. Aturan darimana? Ah gak tahu. Yang aku tahu aku sudah terlambat.

Pasang wajah cuek, seolah-olah gak salah. Berjalan menuju ruang guru. Semua anak-anak sudah masuk kelas dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tentu saja masih ada sepasang mata memandang ku tanpa ada suara, Sang Pengamat. Mau teriak suruh cepat gak mungkin, ini seorang guru. Tetap cuek dan tepat di depan ruang guru langkah kaki ku terhenti. Sepertinya para pahlawan tanpa tanda jasa sedang berdoa. Ku putar haluan pura-pura masuk ke perpustakaan dari pada berdiri seperti patung dan jadi tontonan anak-anak. Tahu sendiri kalau doa dipandu Sang Kepala Sekolah. Dijamin berdiri sampai lutut kram! Padahal Tuhan Yesus mengatakan “ Kalau berdoa jangan bertele-tele, Bapakmu yang di Surga sudah tahu sebelum kamu meminta.” Maklum manusia gak pernah puas. Termasuk berdoa juga begitu. Sudah omong ini, omong itu, omong ini lagi, itu lagi dan lagi..lagi..lagi.. Setelah mendengar kata: Amin, ku bentangkan langkah kaki ku menuju ruang guru,
“Selamat pagi!”
“Pagi” Sorak serempak dari para Pendidik yang dikategorikan disiplin.
Ku letakan tas hitam yang berisi lap top bantuan dari LPMP Provonsi Nusa Tenggara Timur. Di meja bertaplak hijau. Taplak yang pembayarannya masih kontroversial. Pikirku taplak sialan ini beserta gorden. Masa sih.. harganya sampai tujuh juta lebih? Emang Mas Jawa itu pasti udah untung besar. Otak ku masih mereka-reka untung rugi curang dan tidak, antara sesal dan ikhlas, tiba-tiba;
“Abang, tadi Kepala sekolah bilang, kamu itu sudah dua bulan tidak ke gereja.” Ibu Cici, guru PNS yang paling muda dan tergolong adik ku mengabarkan berita luar biasa ini.
Sejenak aku kaget,
“Jadi, Pak Kepsek hitung ya siapa saja yang datang ke gereja?”
“Mana aku tahu? Tanya sendiri sama Pak Kepsek.”
”Nanti kamu omomg sama Pak Kepsek buatkan daftar hadir di letakan didepan gereja.” Tanggap ku sekenanya.
Ibu Cici Cuma nyegir. Dalam hati dia pikir; rumah sudah mau gandeng dengan gedung sekolah masih terlambat. Gereja sudah di halaman rumah masih malas sembahyang. dia kembali membereskan buku-bukunya. tiba-tiba;
“Ehm...Selamat Pagi!” Ada suara dari pintu
Pandanganku secepat kilat mengarah pada sumber suara. Ternyata yang muncul adalah sosok jangkung beseragam PNS, siapa lagi kalau bukan saingan terlambatku dan selalu jadi ‘Santapan’ Kepala UPTD P&K karena selalu terlambat dan masuk sekolah tanpa ijin, Pak John.
Sudah jadi kebiasaan kalau Pak John muncul pasti suasana jadi ceriah. Ibu Cici tertawa apalagi Pak Kons; sahabatnya pasti meledeknya habis-habisan.
“Eh.. Pak John kamu pasti menghadap Kepsek hari ini. Tadi Pak Kepala ada omong, kamu sudah 2 bulan tidak ke gereja padahal Seksi Liturgi” Pak Kons angkat bicara.
“Bukan Pak John, tapi Pak Don.” Ibu Cici bantah.
“Bukan, tadi Pak Kepala bilang Seksi Liturgi le..”

“He...he..he.. ternyata Pak John bukan aku.” Aku menanggapi. Pikirku pada titik ini aman pasti Pak John dipanggil ditanya kenapa tidak ke gereja padahal kamu guru agama, kenapa kamu begitu tega, apa kata Tuhan Allah nanti kalau Guru Agama tidak memberi contoh yang baik. Dan si pendek itu bicara sambil mengelus-elus kepalanya tengok kiri-tengok kanan lihat atas bawa tanpa memandang lawan bicaranya. Dan Pak John hanya jawab;
“Iya pak..iya pak.”
Tapi salut aku sama Pak John gak pernah mengamuk. Kalau Pak John kayak Ketua BPD pasti kami sudah disidangkan dan harus denda jutaan dengan Delik; Sindiran yang Melecehkan. Memang jasa mu luar biasa Pak John membuat orang tersenyum dan merasa bahwa hidup ini begitu indah. Upah mu besar di Surga (kalau Surga ada).
Setelah menertawakan Pak John, para Pengabdi Ibu Pertiwi ini sibuk menyiapkan nilai maklum sebentar lagi mau kenaikan kelas. Waktu yang diramalkan Pak Kons tiba juga,
Sosok pendek setengah dari tinggi badan Pak John muncul di ambang pintu, sambil mengelus-ngelus kepala,
“Pak John ikut saya ke kantor sebentar.” Wajah serius.
“Saya Pak?” Pak John memastikan. Soalnya bunyi “John” dan “Don” itu tak bisa dibedakan kalau omongnya cepat dan tidak jelas. Apalagi kasus yang mau disidangkan sama. Tadi Ibu Cici dan Pak Kons sempat berdebat soal John dan Don yang terlambat dan tidak ke gereja.
Tanpa berbisik apalagi berkata, Pak John mengayunkan langkah menuju Kantor Kepsek, layaknya terdakwa yang dipanggil Jaksa penuntut umum.
Beberapa saat sang terdakwa muncul lagi ke habitatnya, ruang guru. Wajah tetap cuek dingin.
“Pak Don, dipanggil Kepala Sekolah!”
“Yang benar!” Aku ragu dengan pernyataan Pak John soalnya wajahnya kalau bercanda dan serius sama saja.
“Benar! Kamu ditunggu sekarang”
Melangkahlah aku. Ternyata pagi ini semakin tidak sempurna. John dan Don sama saja, berarti Pak Kepala tadi singgung kami berdua. Maklum kalau pemimpin kami ini bicara gak terarah loncat sana loncat sini jadi pendengar minimal harus punya IQ 150 kayak Sri Muliyani, Mentri keuangan yang sudah jadi Direktur Bank Dunia. Biar bisa tangkap seratus persen. Secara simbolis mengetuk pintu, soalnya aku yakin Sang Kepsek juga gak dengar. Berjalan terus menuju kursi tamu, kemudian di persilahkan duduk. Maka duduklah aku.
“Begini ade.. (aku gak dengar jelas lagi dia omong apa meskipun aku sudah berkonsetrasi, aku yakin ini bukan masalah pendengaranku, soalnya tadi pagi aku baru bersihkan dengan pengorek kuping)..hmm..emm..hmmomm.. gambar sekilas.”
Kata “gambar” dan “sekilas” saja yang aku tangkap. Pikiranku berspekulasi. Jangan-jangan ini terkait dengan lukisan-lukisan Buddha yang aku tempel dinding kamarku. Jadi beliau beranggapan aku sudah murtad. Ah... masa bodoh. Karena gak ada respon dia omong lagi.

“Saya beranggapan ade itu dulu masih kuliah terlalu sibuk jadi tidak ke gereja, sehingga kebiasaan itu dibawah terus. Padahal kita harus mengajak kaum muda aktif di gereja, ade pengurus OMK (Orang Muda Katolik)?” Sedikit memandang wajahku sisanya lihat keatas kesamping dan kebawah.
“Aku bukan pengurus pak, anggota.” Jawabku.
“Dulu ade pengurus?”
“Tidak pak.”
“Penolong berarti. Ade sempat aktif dan sekarang sudah tidak lagi. Sekarang kita mau merubah keadaan, dan kita harus kasih contoh.. sebenarnya saya juga mau ade bimbing anak-anak untuk sembahyang lingkungan malam hari.. saya berusaha untuk mengajak orang untuk rajin ke gereja tapi apa kata orang. Tetangganya sendiri apalagi guru bawahannya sendiri saja tidak aktif. Sehingga saya mengharapkan ade untuk aktif.. jadi saya umpamakan ade ini seperti orang yang pergi merantau kemudian pulang baju baru, jam tangan baru, sepatu baru jadi rajin setelah tidak baru lagi.. malas..”
Gawat.. emang pemimpin satu ini gak bisa mengerti orang, pake contoh yang bikin orang dongkol saja. Dia pikir aku datang ke kampung sini untuk pamer. Dia lupa kalau selama keberadaanku disini sudah banyak perubahan. Emang benar manusia untuk lihat sisi negatif itu lebih mudah. Aku sudah gak nyaman lagi.
“Maaf pak, jangan samakan saya dengan orang yang sekedar pamer. Ketidak aktifanku di OMK bukan karena bajuku sudah kusam atau jam tangan ku sudah rusak, tapi karena mereka sudah tidak mau lagi aktif. Begini pak kalau kita sudah memberi tapi orangnya sudah tidak mau menerima meskipun kita sudah bujuk tapi tetap tidak mau ya.. sudah energi yang ada bisa saya gunakan untuk orang lain.”
“Ya ..begitu saya umpakan jadi ade sama dengan dengan orang merantau begitu...”
Hi..kenapa ini kepsek gak ngerti juga..dia pake ulang lagi. Bagaimana bisa mengerti orang lain kalau sebelum orang lain bicara sudah ada kesimpulan dulu. Belum ada data-data sudah buat kesimpulan. Ini kalau dosenku yang namanya Pak Adhy sudah dibantai habis-habisan pada konsultasi skripsi.
“Begini pak! Aku muak sama sistem gereja, sakremen sepertinya dijual. Jadi kalau aku ke gereja, tidak pernah merasakan khusuknya atau kesakralan beribadat trus, mungkin aku juga punya persoalan psikologis.” Argumenku ku lontarkan biar dia anggap aku tidak waras.
“Dan satu lagi pak, ibadat bagi saya adalah ketika saya bisa berbuat baik tidak pernah menyusahkan oranglain dan ketika kehadirkan ku justru dianggap memudahkan segalah kesulitan, itulah ibadat bagiku.”
“Begini ade.. yang kita bicarakan tadi saya hanya berharap ade bisa bimbing anak-anak bersama Ibu Cici. Biar ketika kita ajak anak-anak sekolah kita sudah buat duluan. Bagaimana kita bisa ajak mereka kalau kita tidak melakukan? Pak John juga seksi liturgi dan guru agama juga sudah kelihatan jarang ke gereja.” Tanggapnya enteng.

“Saya bukan guru ideal pak, dan ini kekurangan saya, tapi cobalah bapak buka mata dan melihat dalam kekurangan pasti ada kelebihan.”
“Kalau ade tidak suka dengan sistem gereja datang kalau ada pertemuan. Ini ade juga tidak pernah ikut pertemuan di gereja jadi tidak mengerti persoalannya.”
Sudah lah pikirku iyakan saja. Dari pada omong putar-putar hanya saling mempertahankan pendapat.
“Baik pak!” Keluarlah aku menuju ke ruangan para pejuang mencerdaskan bangsa. Mungkin sang kepsek pikir semuanya sudah teratasi dengan kata iya dari mulutku. Padahal biasanya manusia itu iya..iya tapi belum tentu dilaksanakan. Yang penting aku bisa memberi semampuku. Soal iman urusan masing-masing..

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Haha2.. Aku jg ngerasain susahnya 'on time' bro. :p
Aku jg baca tulisanmu yg dulu2 bro. Rasanya kaya mesin waktu aja tuh. Lewat tulisan km, aku bisa ngerasain suasana nya kaya gimana wktu kejadian itu. Keep writing bro. :) (by: agung apang)