
Belis
Oleh Donatus
Oleh Donatus
Malam itu cahaya lampu sangat terang. Sebua rumah dengan dinding setengah tembok. Dinding selanjutnya dari papan. Bentuk bagunan rumah ini tidak berbeda dengan rumah warga lain. Dan pada sebua rapat desa rumah inii dikategorikan sebagai keluarga menegah.. walaupun banyak warga yang bingung kok hanya rumah nya Bapak Desa dikategorikan sebagai keluarga menengah? Sudalah.. mungkin sang pemilik rumah mau memberikan semangat pada warganya bahwa jangan mau kita dibilang miskin.. sebenarnya yang berbeda adalah malam itu..tidak biasanya rumah ini diterangi lampu gas..biasanya juga pakai lampu minyak tanah kalau Orang Jawa bilang lampu teplok.. padahal mesin listrik untuk desa sudah dibeli..dengar-dengar katanya mesin itu belum lunas masih hutang puluhan juta.. Berbagai sumbangan dana untuk pembangunan desa ini harus dialokasikan untuk melunasi hutang mesin desa.. Bapak Desa yang baru dilantik ini tambah pusing. Tapi untunglah dia belum punya istri. Jadi pusingnya hanya buat program-program pembangunan desa. Ya..salah satunya bagaimana caranya untuk melunasi mesin listrik desa..
Malam semakin larut.. rumah ini sudah dipenuhi para bapak-bapak. Duduk mengelilingi meja.. bercengkerama tentang aktifitas siang tadi.. sesekali meneguk moke dan mengisap rokok berekor kuning.. menurut warga di desa Ile Beleng. Ini rokok yang paling nikmat dari yang berekor putih.. sebua kenikmatan tersendiri kalau menikmati rokok ini.. sementara para ibu-ibu dan gadis-gadis sibuk di dapur menyiapkan makan malam.. para bine anak mengurus daging.. sudah menjadi tradisi kalau ada acara seperti ini pihak yang disebut-sebut sebagai bine anak akan sibuk sekali. Ini saatnya mereka harus melayani keluarga laki-laki dari istri mereka. Mulai dari potong daging babi, kambing, ayam sampai potong ikan sekalipun dilakukan.
Malam ini merupakan saat yang menentukan bagi sepasang kekasih. Sejoli yang diam-diam berkomitmen untuk membangun rumah tangga berencana untuk mendapat restu dari orangtua. Selanjutnya memasuki Gereja untuk mohon berkat dari Tuhan. Sudah jadi tradisi bagi warga Ile Beleng. Proses pernikahan harus melewati suatu fase yaitu “Bicara Adat” saat dimana keluarga pria dan wanita bertemu untuk membicarakan soal belis. Tentu saja kalau bicara tentang belis berarti ada hubunganya dengan gading gajah. Dan malam itu….
“Malam bae1..”
“Malam bae.. kita tunggu saja satu orang lagi.” Kalau froum seperti ini ada seseorang yang menjabat sebagai moderator sekaligus pemandu acara.. dia diutus untuk mengatur kapan dimulai dan kapan harus berakhir.
Suasana semakin memanas.. minuman moke yang diteguk dari tadi sudah mulai beraksi.. meremat urat saraf.. biasanya kalau bicara pelan-pelan.. sekarang volume suara perlahan-lahan mulai meninggi.. semua ingin bicara.. memang luar biasa kerja sang moke. Dia bisa buat Susana jadi riuh dan memanas.. mungkin khasiatnya ini orang-orang di Desa Ile Beleng dan sekitarnya jadi suka minuman satu ini.
Botol kosong mulai dipinggirkan, dan botol isi keluar dari kamar.. sepertinya minuman ini sumbernya ada didalam kamar. Daging yang sudah matang disajikan. Tentu saja ini bukan lauk untuk makan tapi untuk teman sang moke..
Dua orang di pojok meja saling berbisik..kelihatannya oborolan mereka jauh lebih penting dan menentukan jalannya acara ini.. sementara yang lain terus saja bercengkerama tentang hasil kebun, ladang, juga tidak ketinggalan membahas tentang pengumuman sang humas desa tentang pencurian daun singkong dan papaya di kebun Bapak guru sekolah.
“Ah… itu paling diambil sama anak-anak sekolah itu…buat makanan babii sumbangan pendidikan.” Bapak setangah baya yang terkenal dengan leluconya, dia dipanggil Bapak Dere menanggapi, saat ada yang menyinggung soal pengumuman sang humas sore kemarin.
“Memang anak-anak itu pintar.. babi itukan di taruh di rumah si Bapak Guru jadi mereka pikir.. buat apa susah-susah cari tempat lain di kebunnya Pak Guru banyak sayuran.” Sahut Bapak Ado, lelaki yang berambut uban yang selalu terlihat ceria.
“Ha..ha…ha..iya…benar juga.”
“ Eh…Nong Laga.. tadi sore saya ambil daun singkong di Ladang mu..karena sudah terlalu sore saya terpaksa ambil, takut pulang kemalaman.” Rupanya Ibu Maria di belakang mendengar obrolan bapak-bapak ini.
“Oh.. begitu.. dengar tidak pengumuman tadi siang.. kalau yang curi daun papaya atau singkong disuruh lari keliling gereja sambil bawa barang-barang yang sudah dicuri.” Yang punya ladang menyahut dari samping rumah.
“Ha..ha..ha… berarti besok kita lihat Ona Maria lari keliling Gereja dengan bawa daun singkong. Sahut Bapak Ado.
“E…bukan cuma saya yang lari keliling gereja tapi kita semua.. soalnya daun singkongnya dimasak buat makan nanti.” Ibu Maria tidak terima.
“Ya.. sudah lah.. besok Ibu Maria yang lari dulu kita ikut dari belakang sambill bawa piring.” Bapak Dere menyelah.
“Bagaimana bisa bawa piring bukannya daun singkong?”
“Karena daun singkong sudah jadi sayur… makanya sekarang jangan dimakan dulu disimpan masing-masing bawa satu piring isinya daun singkong.”
“Ha..ha…ha….ha…” suasana semakin riuh.
Tiba-tiba Susana nampak tenang. Semua mata yang duduk diruangan mengarah sosok kurus tinggi muncul dari pintu depan.. rupanya dia tadi diberikan tugas oleh bapak tua yang duduk dipojok meja.
“Bagaimana nong2?”
“Sekitar lima belas menit lagi mereka kesini.”
Sang moderator mulai siap-siap. Mungkin dia sedang berusaha menyusun kata-kata. Bagaimana harus memulai. Tetapi.. ada yang lebih gelisa.. seorang ibu muda duduk di kamar, tak ada sepata kata pun keluar dari mulutnya.. wajah ceria berubah menjadii guratan kebimbangan, kegelisahan, kesedihan. Dia tau keluarga laki-laki yang datang nanti tidak memiliki gading. Dalam hati tidak banyak yang dia inginkan. Dia ingin anak gadis pertamannya ini bisa dipermandikan, mendapat berkat dari Tuhan selayaknya anak-anak lainnya. Untuk sampai tahap itu proses adat seperti ini harus di lewati. Dan untuk fase ini keputusan ada di tangan saudara laki-lakinya. Dia tahu betul saudara laki-laki satu-satunya. Sebelum dan sekarang sudah jadi Kepala desa. Kalau dia bilang tidak..ya.. selanjutnya tidak. Tak ada ruang untuk kompromi. Kenapa untuk bisa “masuk Gereja” keputusan adat yang menentukan? Hubungannya dengan laki-laki yang telah melahirkan putri yang lucu berumur 3 tahun ini tidak direstui oleh kedua keluarga besar Sogemaking dari dirinya dan Lewohayong dari bapak anaknya. Karena cinta dan komitmen yang sama membuat mereka siap menghadapi rintangan apapun. Kedua keluarga besar toh pada akhirnya bisa menerima karena anak gadis sudah hamil mau tidak mau harus di iyakan. Namun proses adat tidak berhenti disini. Secara kekeluargaan bisa di terima belum untuk adat, agama, dan hukum. Dan pintu gerbang untuk restu gereja dan hukum adalah adat, jelas itu tidak ada kompromi. Semua harus diterima karena ini sudah diatur secara turun temurun.
“Itu rombongan mereka sudah datang”
“Kita siapkan tempat.” Suasana kelakar berubah menjadi tenang. Semua orang yang duduk berdiri, saling geser. Menyambut tamu dari pihak laki-laki.
Lampu gas terlihat dari jauh. Iring-iringan orang-orang terlihat rapi. Semakin dekat..semakin dekat. Dan sekarang tanpa diperintah ala militer semua berdiri rapii didepan pintu. Susana hening sejenak… Tak ada suara dari luar maupun dari dalam rumah. Sedikit bisik-bisik mengambang di udara. Seseorang maju beberapa langkah. Sepertinya dia pimpinan rombongan atau mungkin juru bicara rombongan ini. Persis dii depan pintu dia berhenti.
“Malam bae..” tak ada sahutan
“Malam bae..” sekali lagi tetap..tak ada sahutan
“Malam bae..” semua yang berdiri di depan pintu dag..dig..dug.. kalau sampaii sapaan ketiga juga tidak dibalas berarti mereka tidak diterima untuk masuk…Kemudian…
“ Malam bae..” Pimpinan dari keluarga perempuan menyahut.
Seketika semua merasa lega. Rombongan dari keluarga laki-laki tersenyum lega. Seperti melepas beban karung beras dipundak dengan berat ratusan kilogram. Tapi mereka sadar ini baru awal menuju pertarungan. Kata “iya” dari keluarga perempuan adalah mantra mujarap untuk mensandingakan anak mereka di pelaminan.
Semua peserta rombongan dipersilakan masuk dan mengambil tempat duduk yang disediakan. Siri pinang disajikan selanjutnya rokok dan moke ditawarkan kepada para tamu.. Suasana tidak serenyah tadi. Tawa dan senyum sepertinya hanya sebua fatamorgana. Masing-masing pihak sedang mempersiapkan ide-ide maupun tanggapan. Setelah para tetua menyantap siri pinang, inti pertemuan ini dibuka.
“Malam bae ema, bapak, kakak arii, bine anak.3. malam hari ini kedua keluarga besar dari Lewohayong dan Sogemaking bertemu untuk membahas adat untuk anak kita Kepitang dan Ida. Dan…saya mempersilakan kepada pihak keluarga laki-laki untuk menyampaikan maksud dan tujuannya.”
“Malam bae ema, bapak.. kami datang kesini untuk mendiskusikan tentang nasib kedua anak kita… mereka sudah saling suka dan kita tidak memaksanya.. kami rasa dari pihak ema bapak juga tahu kalau semua pilihan ini mereka yang buat.. kami mengharapkan adalah mereka bisa dapat berkat di Gereja agar anak mereka bisa dibaptis. Ketua rombongan memulai. Kemudian…
“Kita semua mengharapkan seperti ini. Tapi adat harus kita terapkan. Kalau keluarga pihak laki-laki sudah bersedia duduk disini berarti ada…. Sesuatu yang telah disiapkan.” Pimpinan dari pihak perempuan menanggapi.
“Untuk sekarang ini kami belum bisa menyiapkan apa-apa…tapi suatu saat kalau ada akan kami atur.”
“Maaf.. kalau kita sampai membuat pertemuan seperti ini seharusnya pihak keluarga laki-laki harus bisa memperhitungkan.” Suasana semakin memanas raut wajah pembicara sudah memerah. Mungkin juga akibat moke. Suaranya meninggi.
“Kami mengerti..hal itu memang sangat penting, tapi itu bisa dijadikan jangka panjang. Yang penting adalah kedua anak kita ini bisa “masuk gereja.” Suara pembicara tetap pelan dan tegas
“Nah.. ini yang harus kita pahami juga.. bicara adat perkawinan itu tidak terlepas dari urusan belis.”
“Baiklah disini kami sampaikan bahwa sesungguhnya kami tidak punya gading untuk bisa diberikan kepada pihak perempuan. Untuk itu kami mohon kebijkan dari ema bapa agar bisa memberikan ijin agar anak kita berkat dulu, kami janji kalau ada gading kami akan atur.”
Tiba-tiba…..
“Tidak bisa kalau tidak ada gading sekarang ini atau pun dalam waktu dekat berarti Kepitang dan Ida tidak akan “Masuk Gereja”4. Lihat saya.. sampai sekarang saya tidak bisa bertemu dengan keluarga perempuan calon istri saya karena saya belum punya gading.. saya ditolak.. kalian harus tahu..” nada suara yang keras.. iya dia pria satu-satunya adik dari Ida. Bagi masyarakat Ile Beleng dan sekiatarnya suara anak laki-laki adalah punya pengaruh. Perempuan tidak bisa berbuat banyak. Laki-laki lah yang menentukan.
Susana menjadi hening. Kata-kata Lado seperti belatih yang menyayat seketika harapan dari kakak perempun dan calon suaminya. Bak nyala lilin redup yang berusaha menerangi ruangan tiba-tiba padam. Sebelumnya dia tidak menyangka adik laki-laki kesayangannya bisa mengeluarkan kata-kata seperti ini dihadapan keluarga calon suaminya… bulir-bulir air mata lepas dan membasahi pipi kering. Tak ada yang bisa diharapkan…Putri buah hubungan dia dan Kepitang, terlelap pulas dipangkuannya..
Anakku maafkan ibumu dan bapakmu.. karena perbuatan kami.. kamu harus menanggung. Kamu belum bisa dibaptis. Bulir-bulir air mata berubah menjadi tetesan air mata yang sangat cepat. Larah hatinya tak bisa dibendung..isak tangis pun memecah kesunyian. Semua diam sesaat larut dalam kesedihan dan kepasrahan.
Kemudian…
“Maaf bagi saya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan… kecuali pihak laki-laki bisa menyiapkan gading dalam waktu dekat…malam ini kita tetapkan kapan waktunya ada gading.. setelah itu kita bicarakan pemberkatan.”
Utusan keluarga pihak laki-laki tidak bisa membantah lagi. Pembicaran ini mengarah pada gading. Mereka sekarang ini belum memilki gading secara pasti.
Suara bisik-bisik terdengar diluar rumah.. dibalik kegelapan malam sebanarnya ada sosok yang tidak berani memperlihatkan wajahnya. Dialah calon mempelai laki-laki. Dari tadi dia mendengarkan semua pembicaraan ini. Bukan porsinya untuk berada di meja adat itu. Tapi justru masa depannya bergantung pada putusan di meja adat itu. Andaikan dia bisa bersuara. Dia akan berteriak, adat macam apa ini... Hanya jadi ajang balas dendam. Cuma jadi kesempatan untuk menuntut. Hanya jadi tameng untuk mempertahankan budaya leluhur. Kalau memang dua anak manusia sudah berjanji untuk membangun mahliga rumah tangga kenapa adat selalu menjadi hambatan. Toh yang susah senang nanti kami yang rasakan.. gelap malam ini bagai selimut hitam membalut asa yang kandas.. berapa lama lagi dia harus hidup dengan perempuan dan anaknya yang secara adat, agama, dan hukum bukan istri dan anak.. anaknya hanya bisa disebut anak bilogis dan bagaimana dengan Ida? Hanya istri biologis?
Harapan untuk mendapat mantra “iya” pupus sudah. Tidak ada lagi yang perlu dilakukan selain menuggu gading dari belis gadis marga Lewohayong. Padahal sekarang gajah sudah dilindungi sebagai bintang langkah dan menurut aturan pemerintah. Memperjual belikan bintang langkah atau bagian tubuh bintang langkah maka dikenakan sangsi hukum alias dipenjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar